***
Namun walaupun begitu kotor dan menjijikkannya makanan yang dia makan, dia tetap dengan lapang dada memakannya, dia membuang jauh-jauh kemampuan mengecap lidahnya, dia tidak perduli rasanya, dia tidak menghiraukan berapa kali dia menahan rasa ingin muntahnya, semua itu dia lakukan dengan bahagia asalkan putri yang sangat dia sayangi tidak tertidur sembari menahan sakit perut karena kelaparan lagi, dia sudah sangat kenyang dengan hal itu.
Namun karena waktu istirahat telah selesai, yang ditandai oleh suara keras dari lonceng pabrik, Naisah akan kembali bekerja sambil mengunyah makanan yang belum sempat dia telan karena saking terburu-buru kembali ke tugasnya,karena jika ada pekerja yang terlambat atau meninggalkan pekerjaannya maka dia akan dihukum dengan cara tidak memberikan upah sepeserpun untuk hari ini, hal inilah yang membuat semua pekerja dengan terpaksa harus selalu bekerja, karena tidak ada yang bisa membantu mereka kecuali diri mereka sendiri.
Waktu terus berjalan, detik demi detik, dan jam demi jam berlalu, matahari mulai tenggelam meninggalkan keagungannya, keagungan yang menyisakan kesunyian dan kehampaan.
Lonceng raksasapun berdentang pertanda kerja paksa hari ini telah berakhir dan semua budak di bolehkan untuk pulang, setelah mendengar lonceng tersebut, Naisah akan segera melemparkan apapun yang sedang dia pegang dan langsung berlari kearah hutan tempat dimana dia menitipkan putri manisnya.
Dia meyakini bahwa saat ini malaikat kecilnya sedang duduk di atas jendela sambil bernyanyi pelan, dia bahkan telah tau pasti lagu apa yang akan putri manisnya nyanyikan setelah matahari tenggelam, semakin dia mengingatnya semakin pula dia berlari sekencang-kencangnya karena dia sangat tidak ingin ketinggalan orkestra suci dari surga ini.
Selama perjalanan dia tidak akan menghiraukan apapun yang ada di depannya dan apa yang sedang dia pijak di bawah kakinya, dia akan menerjang apapun itu asalkan dia berada di kursi paling depan pertunjukan indah itu.
Setelah dia sampai di depan rumah pohon, dia akan menaiki tangga-tangganya dengan berlahan agar Saroh putri nya tidak tersadar dan langsung memeluknya, dia hanya akan berdiri di sana sabar menunggu orkestra suci ini akan segera dimulai sembari dia sesekali melihat kearah matahari terbenam yang di apit oleh dua bukit, satu bukitnya di tumbuhi banyak pohon sedangkan bukit yang lain hanya bukit batu raksasa saja, tidak ada satu jenispun tanaman yang dapat tumbuh di bukit batu ini kecuali lumut-lumut liar saja.
Dengan bahagia dia akan menunggu sampai matahari telah tenggelam setengahnya di antara ke dua gunung tersebut, dan setelah hal itu pun terjadi, ketika matahari telah meninggalkan kehangatan bagi mereka berdua,sang malaikat kecil pun bernyayi dengan indahnya, tulus dan iklas dari hatinya yang putih bersih polos.
Dengan seketika Naisah yang mendengarkannya akan merasa bagaikan di surga, dia hanya bisa terduduk lemas menikmati pertunjukan ini sembari ikut bernyanyi di dalam hatinya, semua lirik-lirik indah itu telah terukir dan terlikis sangat indah dalam hatinya. Di antara batas siang dan malam yang suram, mereka bernyayi bersama.
"Di bawah langit yang rendah,di atas pohon yang tinggi, ku ingin menangkapmu, ku belai dan ciumimu, menari pelan bersamamu.
Kau bersinar terangiku, kau tinggalkanku sendiri dengan senyum hangatmu yang ciumiku penuh rindu.
Ku tau kau pergi agar esok ada dirimu yang kutunggu, sinariku dan ciumiku penuh rindu."
Mataharipun tenggelam dan malam hari datang tanpa di undang, Naisah dengan segera menghapus air matanya, menjangkau lampu kaca berbahan bakar minyak tanah yang tergantung di bawah rumah pohonnya, dia menggantungnya disana karena merasa benda itu berbahaya jika ada di dalam rumah, dia menyalakan lampu itu dengan korek api dari kantongnya, setelah ada penerangan dia akan membuka pintu rumah pohon dengan pelan agar Saroh tidak terkejut.
Saroh yang melihat ibunya pun akan melompat dari jendela dan memeluk ibunya dengan sangat erat karena malam itu cukup menakutkan bagi anak sekecil dia, selagi dalam pelukan dengan penuh kerinduan Saroh pasti akan berkata,
"Aku telah menunggumu begitu lama ibu, aku mencintaimu, aku tidak butuh matahari untuk bermain, aku hanya membutuhkanmu."
Mendengar kata-kata putrinya ini,untuk kesekian kalinya Naisah hanya bisa membalasnya dengan anggukan, senyuman, pelukan, dan ciuman hangat penuh cinta yang tulus dan suci melebihi ribuan lagu cinta.
Setelah Naisah telah puas mendapati berlian mungilnya dalam keadaan baik-baik saja, dia akan duduk membelakangi Saroh sembari menepuk-nepuk bahunya sebagai isyarat agar Saroh naik ke atas gendongannya, dengan rasa bahagia Saroh akan tersenyum dan melompat kegendongan hangat ibunya, gendongan seorang wanita rapuh yang lebih nyaman dari bantal bulu domba ataupun kain sutra, gendongan wanita kurus yang dapat membawanya ke alam mimpi, jauh semakin jauh kedalam kehangatan jiwa yang berjalan dalam dinginnya malam.
Dalam perjalanan pulang, sesekali Saroh yang sudah mengantuk akan bertanya kepada ibunya,
"Ibu, kenapa ayah selalu memukuliku kalau aku bernyayi? apakah laki-laki membenci nyayian ibu? apakah ada benda yang belum pernah kulihat ibu? apakah ada suara yang belum pernah kudengar?" Dia akan selalu bertanya akan hal yang belum dia tau sampai dia lelah dan tertidur dalam gendongan ibunya.
Melalui perjalanan yang dingin,akhirnya mereka sampai di rumah. Naisah akan mengintip jendela dan membuka pintu serta masuk pelan-pelan kedalam rumah agar suaminya yang pastinya sedang mabuk tidak menyadari kepulangan mereka, karena jika sampai suaminya tau maka dia akan memukuli mereka meski tanpa alasan, dan Naisah sama sekali tidak ingin akan hal itu, dia tidak sudi jika tangan kotor suaminya sampai menyakiti malaikat kecilnya.
Melalui dinding-dinding dia mengintip pelan ke arah kursi tempat suaminya tertidur saking mabuknya, setelah memastikan dan yakin bahwa suaminya memang benar-benar tertidur dan tidak menyadari mereka, dia memberanikan diri berjalan mengendap-endap mengantarkan putrinya kekamar mereka, meletakkannya pelan di atas tempat tidur dan menyelimutinya dengan hati-hati agar dia tidak kedinginan dan terbangun dan bersuara yang dapat membuat ayahnya terbangun.
Dengan pelan dia akan mengendap-endap berjalan ke arah dapur untuk menyiapkan bahan-bahan makanan untuk memasak bubur gandum dan sayur, dan mengambil roti dari lemari penyimpanan, roti itu adalah roti yang keras dan sedikit banyaknya telah berjamur, dengan hati-hati dia menguliti bagian luar roti itu untuk membuang bagian berjamurnya, setelah itu dia menyalakan tungku api untuk memasak bubur gandum. Dengan sigap dan pelan dia memotong-motong sayuran dan memasukkannya ke dalam bubur yang dia masak, memasukkan sedikit garam dan madu agar rasanya tidak terlalu hambar dan bisa dimakan.
Setelah bubur telah matang, dia akan menyiapkan setengahnya untuk suaminya dan sisanya untuk dirinya dan putrinya, dia memindahkannya ke dalam dua mangkok, satu mangkok besar dia letakkan di atas meja di depan suaminya dengan pelan tanpa suara, dan mangkok lainnya dia bawa ke kamar untuk dimakan bersama putrinya.
Di depan tempat tidur dia akan menunduk dan membangunkan putrinya dengan pelan dan berbisik, "Ssstttt!.." agar Saroh tidak bersuara, Saroh yang mengetahui alasannya pun akan duduk dengan pelan dan hati-hati agar tempat tidur tua nya tidak bersuara.
Dengan penuh kasih sayang Naisah akan menyuapi bubur kepada Saroh, meniupnya pelan memberikan setiap sendoknya dengan cinta dan kekaguman, tanpa henti rasa cintanya semakin bertambah dan semakin besar, melihat putrinya melahap setiap sendok yang dia berikan dan memakannya dengan senyuman telah membuatnya kembali hidup dan beryukur kepada tuhan bahwa dia diberi kesempatan mencintai seseorang yang suci seperti putrinya.
Namun ketika mereka telah mendengar suara ayahnya yang sudah terbangun dan menyantap makanan didepannya dengan rakus, mereka berdua juga akan dengan terburu-buru menyantap makanannya yang masih hangat.
Melihat wajah ibunya yang sedang menahan kepanasan di mulutnya membuat Saroh tersenyum menahan tawa, ibunya yang tau bahwa dia sedang di tertawai pun ikut tertawa tanpa suara dan menutup bibirnya dengan jari telunjuknya sambir berbisik, "Ssttt!..," Saroh yang juga menahan tawapun menunduk merasa bahagia mengiakan permintaan ibunya.
Setelah buburnya telah habis, mereka berdua akan menutupu diri mereka dengan selimut dan pura-pura tertidur, didalam selimut itu mereka saling berpelukan sembari mengunyah roti yang masih belum mereka habiskan sambil sesekali saling berbalas senyum sampai dinginnya malam membawa mereka terlelap dalam mimpi indah.
Sedangkan ayahnya yang telah selesai makan melemparkan mangkoknya sembarangan, berjalan sempoyongan ke arah kamar untuk memastikan istrinya telah tertidur atau belum, jika dia sudah melihat mereka berdua di kamar dan sudah tertidur, dia hanya akan mengoceh tidak jelas dan memukuli kepalanya ke dinding sambil tertawa, ketika perutnya tidak tahan lagi akan banyaknya alkohol yang telah dia minum, dia akan memuntahkan kembali semua makanan yang baru dia makan keluar jendela rumahnya. Sungguh pria yang sangat merepotkan.
Begitulah keseharian hidup keluarga ini, tidak jauh berbeda dengan kondisi keluarga penduduk yang lain,namun satu hal yang tetap membuat Naisah kuat menjalaninya. Meski dunia menjadi neraka, setiap orang yang memiliki cinta dalam hatinya akan tetap berjuang hidup demi mereka yang dicintainya.
***