Aku membuka pintu rumah ini untuk memastikan ada apa di luar sana.
Sekejap setelah membukakan pintu, suara kerumunan orang yang terdengar serak dan lirih memenuhi gendang telingaku.
"Ini benar, ada seorang bangsawan asing datang kemari!" seru seseorang dari kerumunan.
"?"
Seorang Ibu muda mendekap pergelangan tanganku tiba-tiba lalu memelas, "Tuan, saya mohon bantu anak saya yang kelaparan...."
Tak berhenti disana, sesak suara dari kerumunan ini semakin menjadi. Para penduduk suku Dark elf benar-benar tidak punya harapan lagi.
"Tuan tolong beri nenekku obat, kumohon aku akan membayarmu!" pinta seorang Gadis belia dengan sekantong biji-bijian dan buah beri kering yang kemungkinan sudah busuk.
". . . ."
Aku hanya menatap mereka kosong tanpa ekspresi. Ini memuakkan, mereka berdatangan entah darimana dan sekarang meminta-minta padaku. Padahal aku juga sedang dalam krisis cukup serius saat ini.
"Semuanya tolong tenang!" Suara seruan mendadak meledak dari belakangku.
Aku sedikit menengok ke belakang lalu memintanya untuk menenangkan kerumunan ini. "Hey, gadis muda. Tolong urus orang-orangmu untuk sesaat!"
"Ba-baik Tuan, maaf atas ketidaksopanan kami," ucapnya membungkuk gugup.
Dia berlari dengan sigap ke arah kerumunan di depan rumah lalu mulai bercakap-cakap agar orang-orang ini tenang. Kupikir menyerahkan orang pribumi kepada pribumi lain adalah hal yang efektif.
'Apa aku akan menyesali hal ini setelah menolong mereka?' tanyaku membatin.
Persediaanku tidak akan cukup untuk memuaskan perut orang-orang ini, apalagi nutrisi untuk diriku sendiri. Sekarang aku harus bagaimana? Mari berpikir tenang dan analisis situasi sejauh ini.
Apa aku harus sedikit kejam disini? atau...
Setelah larut dalam pikiran dan tertahan sesaat, ekspresiku menggelap dengan mulut terperangah kecil. Sesuatu terbesit begitu saja dalam pikiran, bukan rencana brilian hanya saja kupikir ini ide yang paling efektif dalam situasi dan kondisi seperti sekarang.
Aku sedikit menyeringai, mengurai ide-ide ini ke dalam rencana yang lebih mendetail di kepalaku.
"Hey, gadis muda! kemarilah!" pintaku memanggil wanita cantik sebelumnya.
"Ya?" Dia berbalik menyahut lalu bertanya, "Apa kamu memanggilku, Tuan?"
Jarak diantara kami berdua tidaklah terlalu jauh tapi meski begitu aku memintanya agar lebih mendekat supaya yang lain tidak mendengar percakapan pribadi kami.
"Aku akan membantu warga pemukiman ini," cetusku yakin.
"Eh?" Dia tertegun tak percaya, lalu kembali membuka mulutnya yang sempat terperangah. "Tuan benar-benar akan... tapi, bagaimana kami harus membayarnya?"
Aku memandang ekspresi wanita muda itu, apa ini keraguan? Kupikir mendorongnya sedikit lagi tidak akan buruk. Setelah mendegus kecil sesaat aku kembali membuka percakapan.
"Untuk sekarang abaikan tentang bayaran dan kumpulkan orang-orangmu lalu berbarislah lebih tertib," pintaku tersenyum lembut.
Dalam situasi seperti ini, ayo kita eksekusi rencanaku.
"Ba-baiklah... tolong tunggu sebentar...," ucapnya gugup kemudian mengarahkan kerumunan Dark elf ini agar tertib.
Mereka sudah berbaris dan terbagi ke dalam beberapa jajar, barisan mereka tidak cukup rapih tapi itu tidak penting sekarang. Selama mereka mengikuti intruksi dengan baik kurasa menolong mereka tidak akan sesulit bayanganku. Kalkulasi kasar, kuperkirakan mereka berjumlah sekitar 80 orang? Dengan rasio jumlah terbanyak didominasi oleh para wanita dan anak-anak. Sisanya para pria dan lansia yang renta. Di bagian penjuru ada wanita sebelumnya.
Mereka memandang penuh perhatian kepadaku yang saat ini tengah berdiri di hadapan mereka semuanya, ini sebenarnya lumayan memalukan. Baiklah, kita mulai saja!
Pyon!
Tiba-tiba suara Midori membuatku terkejut. "?!"
"Hey... untuk saat ini diamlah dan jangan melakukan hal mencurigakan!" bisikku memintanya diam. Suaranya kembali senyap seolah merespon bisikanku.
Mendeham kecil kembali ke topik utama, aku kemudian meneriakkan perkataanku dengan lantang agar barisan paling belakang dapat mendengarnya jelas.
"Aku akan membantu desa ini dari krisis penyakit dan kelaparan!"
Mereka tertegun layaknya wanita sebelumnya, hening seketika dengan wajah mereka yang sempat terperangah kemudian mendadak berubah menjadi bentuk ekspresi sukacita. Beberapa hampir meneteskan air mata dan ada juga yang saling berpelukan karena kegembiraan. Harapan kembali merangkak naik di wajah mereka seluruhnya.
'Yah... kurasa ini normal?'
"Apa itu benar, Tuan?" tanya seorang Ibu muda meneteskan air mata penuh syukur. Di sampingnya tampak bocah kecil yang dia gandeng sejak dari awal.
"Ya," jawabku singkat. Mendengar kepastian langsung dariku membuat ekspresi mereka yakin.
"Oleh karena itu, aku butuh kerja sama kalian semuanya, boleh?" tanyaku.
"Apa itu Tuan?" tanya Wanita muda sebelumnya.
"Tolong kumpulkan beberapa air dalam bejana atau wadah apapun yang cukup bersih kemari!" pintaku. Mereka bingung dengan permintaanku yang absurd.
Mereka saling memandang satu sama lain, titik keringat keraguan muncul di pipi mereka. Sekarang bagaimana keputusannya? Setelah bertukar pandangan sebentar, mereka pun berbalas anggukan lalu menyebar ke tempatnya masing-masing.
Beberapa diantara mereka kembali dengan wadah penuh dengan air yang dirasa cukup bersih untuk dikonsumsi. Menunggu beberapa menit sampai semuanya selesai mengangkut air, sekarang kumpulan bejana berisi air sudah berjajar di depanku.
Aku membungkuk, menyembunyikan tangan kananku diantara kantong seragam militer. Aku merasakan tatapan keheranan dan mendengar beberapa bisikan keraguan. Bukan tindakan tanpa alasan, aku mengeluarkan dua botol Elixir dari penyimpanan Inventory.
Mereka kaget bukan main melihat dua item langka di genggaman tanganku.
Aku meneteskan secara merata cairan Elixir ini ke dalam genangan air di dalam bejana. Kenapa begitu? Mengambil sedikit hipotesis dari penampilan dan gerak-gerik mereka semuanya, perkiraan 80 penduduk Dark elf disini. Sebagian besar dari mereka terkena tanda-tanda busung lapar, lalu aku pula mengasumsikan beberapanya juga terkena Pneumonia tahap awal, sebut saja begitu.
Menyebarkan cairan Elixir ini ke dalam air harusnya menurunkan efek khasiat dari Elixirnya, itu memang benar dan aku sengaja melakukannya. Penyakit dari pria sebelumnya merupakan tahap kritis dan tindakan memberikan satu botol Elixir itu adalah keharusan.
Kupikir ekstrak air campuran Elixir sudah cukup untuk tindakan pengobatan awal mereka semuanya. Ditambah mereka semua belum makan selama beberapa minggu ini. Jadi, jika aku memberikan mereka makanan dikala perut mereka masih kosong itu akan berbahaya bagi pencernaannya.
Setelah selesai aku berdiri dari jongkokku lalu menunjuk bejana-bejana di depan.
"Minum air ini!" titahku.
Mereka sempat ragu dan berpikir sesaat, lalu salah satu dari mereka. Wanita cantik yang kakaknya ku tolong sebelumnya mengambil langkah pertama.
"Aku akan meminumnya!" tegasnya tanpa keraguan.
Dia mengambil salah satu bejana dan menguyup air di dalamnya, dapat kulihat matanya memejam karena kerisauan. Walaupun begitu, dirinya tetap menghabiskan dan hampir meminum setiap tetesnya tanpa sisa. Suara seseorang sehabis meminum air segar disuguhkannya diakhir tegukan.
Merasa contoh di depannya nampak aman, mereka semuanya serentak, dimulai dari orang-orang dibarisan terdepan meraih setiap bejana yang sebelumnya mereka angkut. Diminumlah air-air tersebut tanpa keraguan sedikit pun, terlihat ada yang meminumkannya perlahan ke anak-anaknya yang masih belia, lalu ada juga nenek rentan yang perlahan menyeruputnya.
Yah, bagaimanapun ini tetap hal yang bagus. Minum terus dan sehatlah, dengan begitu selanjutnya kalian bisa memakan makanan yang layak dariku.
Kenapa aku bertindak sejauh ini? Apakah semacam empati atau rasa iba? Kurasa bukan.
'Ini... semacam hipokrisi?' pikirku memicingkan mata.
Menghabiskan sampai kurang lebih 30 menit sampai semuanya selesai meminum air dengan campuran Elixir dariku.
Mereka kembali berbaris dengan teratur seperti sebelumnya. Aku tersenyum puas sementara tanganku mengayun lalu terarah lurus ke arah seorang wanita cantik yang kakaknya ku tolong.
"Kau kemarilah!" pintaku.
"Aku?" tanyanya memastikan menunjuk dirinya sendiri.
"Iya," balasku sementara dia mendekat sesuai permintaan. "Siapa namamu?"
"Eh? Namaku... Freya, Tuan." Dia terlihat menunduk canggung.
Begitukah, aku mengangguk kecil. Dengan ini aku tahu harus bagaimana memanggilnya.
"Freya, apa desa ini punya gerobak angkut?"
"Huh?"
***
Sebuah gerobak dari kayu jati yang diserut dan dipoles kasar sekarang sudah dibawakan kepadaku. Seluruhnya terbuat dari kayu mulai dari roda sampai bagian geroboknya. Kurasa zaman di dunia ini masih belum menemukan yang namanya karet ban.
"Apa yang akan kamu lakukan dengan benda ini, Tuan?" tanya Freya heran.
"Tentu saja untuk mengangkut barang, apalagi?" tanyaku mengangkat sebelah alis.
"Tidak. maksudku...,"
Aku tahu maksudnya, dia mungkin berpikir barang apa yang akan ku angkut di dalamnya. Atau mungkin juga apa yang coba kulakukan dengan gerobak ini. Yah, aku tidak membaca seluruh isi pikirannya tapi aku tahu maksudnya.
"Tunggu saja disini. Aku akan kembali ke tempatku untuk mengambil persediaan," ujarku memperjelas.
"Ah! begitukah...," Freya menunduk canggung, dia tidak tahu harus mengucapkan apalagi untuk berterima kasih kepadaku? Kupikir begitulah ekspresi yang kubaca dari tindakannya.
Tunggu, membaca ekspresi dan tindakan? Sejak kapan aku memiliki kemampuan macam itu?!
Sesuatu terpintas dalam pikiran.
Ah... Literation! Skill yang memungkinkanku untuk membaca, berpikir dan memahami hal-hal lebih cepat dari orang biasa kebanyakan. Ditambah intelektual bawaanku, kupikir kemampuan skill ini semakin meningkat. Namun, bahkan ini bisa pula dipakai untuk membaca orang? Maksudku... bukankah itu agak sedikit aneh?
Apakah sinergi antara otakku dan skill "Literation" ini menciptakan perpaduan yang menakjubkan? Sudahlah, tidak ingin terlalu larut dalam.
Aku kembali ke akal sehatku, sambil menenteng kayu penarik gerobak. Aku kemudian berpamitan kepada mereka semuanya disini untuk pergi sebentar.
"Apa kamu membuat tenda atau semacamnya di dekat sini?" tanya Freya.
"Tidak, aku tinggal di sebuah kuil di depan sana. Kau tidak tahu?" tanyaku heran.
Mereka seketika tersentak dengan pernyataanku. Wajah mereka tiba-tiba merosot turun berubah menjadi pucat pasi dengan titik keringat yang nampak bermunculan. Beberapa dari mereka ada yang terlihat menelan air liur dalam-dalam.
"Maksudmu... Tuan berasal dari Kuil Ouroboros?" tanya Freya tampak seolah memberanikan diri.
"Ya, begitulah. Kenapa dengan itu? Apa tempat itu angker atau semacamnya?" tanyaku datar, aku tidak tertarik dengan percakapan takhayul dan sejenisnya.
"Bukan... mungkin lebih seperti, itu adalah tempat persemayaman dewa bencana yang dipercayai suku Elf," ungkap Freya membuatku cukup tercengang.
Ahahaha, Dewa bencana? Apa itu... semacam kepercayaan kultus di dunia ini?
'Ah... mereka mulai ketakutan dan kembali ragu...' batinku.
"Tidak, itu adalah tempat tinggalku mulai sekarang. Oke, hanya itu saja!" Pernyataan singkat dariku, kemudian aku bergegas menarik gerobak meninggalkan desa ini tanpa penjelasan lebih lanjut.
Kurasa mereka masih tercengang, akan kucoba jelaskan itu nanti. Untuk prioritas kali ini, mereka harus mendapat nutrisi cukup terlebih dahulu.
Aku berhenti tak jauh dari daerah pemukiman.
'Kupikir disini mereka tidak akan melihatnya?'
Mereka tidak boleh tahu tentang kemampuan Inventory-ku.
Pyon!
Mengetahui bahwa kami sudah jauh dari pemukiman, Midori berseru kepadaku seolah bertanya, 'Kenapa kau menolong mereka?' Kupikir ini hanya sekedar tebakanku.
"Yah... kau akan tahu nanti, Kawan."
Pyon?
Mengeluarkan semua persediaan selain benih dan cairan Elixir, sekarang gerobak angkut ini sudah dipenuhi oleh barang bawaan. Jika dibagi dengan adil dan merata, ini pasti cukup bagi mereka.
Aku menunggu sampai lewat 30 menit disini agar mereka tidak curiga. Tak berselang lama dari sana aku kembali lagi membawa sebuah kejutan yang menambah kegembiraan suku ini.
"Itu... makanan!" seru seorang Bocah yang menarik-narik pakaian ibunya.
Wajah mereka yang sebelumnya gelap dengan sorot mata kosong dalam sekejap berubah menjadi cukup bersinar, terutama ekspresi penuh penantian yang rasanya seakan menusuk tengkukku.
Freya berlari kecil ke arahku lagu bertanya, "Tuan, apakah ini benar-benar tidak apa? Maksudku... makanan sebanyak ini untuk kami...."
Dia mengulangi pertanyaan canggung yang sama, aku tidak menjawabnya karena jenuh. Kubalas saja dengan sedikit anggukan tanpa bantahan. 'Ya!' Itulah maksudku ingin mempersingkat.
Kemudian aku melanjutkan, "Freya, bagikan ini kepada mereka semua dengan merata, prioritaskan anak-anak dan wanita renta dulu."
Freya pun mengangguk patuh, dengan begini kupikir tidak akan ada lagi pertanyaan yang diulang. Dia membagikan persediaan makanan ini tanpa masalah.
Tatkala mengamati perilaku mereka aku sedikit kagum atau mungkin rasa iri, para Dark Elf terlihat lebih teratur dan kekeluargaan dari mereka sangat kental. Tanpa keributan, meskipun rasa lapar yang mungkin saja saat ini tengah menggerogoti mereka. Tetap saja orang-orang ini masih memprioritaskan anggota yang lebih membutuhkan.
'Coba saja manusia di duniaku seperti ini...,' batinku meratap, manusia penuh dengan ego dan keserakahan serta aku menyadari diriku juga termasuk ke dalamnya.
Ekspresi riang mereka tebarkan, setiap kali mereka tersenyum saat makan nampaklah cahaya dan kilauan harapan. Entah karena apa, aku tak sengaja tersenyum tulus memandangnya.
Aku hanya diam mengamati momen kebahagiaan ini pada akhirnya. Hingga setelah selesai mereka membuatku terkejut dengan sebuah pernyataan.
"Terima kasih, Tuan!" kata mereka serentak membungkuk hormat.
". . . ." Aku sedikit terperangah.
Freya berjalan mendekatiku lalu membungkuk, tindakannya membuatku cukup terkejut lagi. Dia menangis dan menghaturkan banyak rasa terima kasih kepadaku, aku dapat mengetahuinya bahwa ini adalah air mata tulus.
Aku hanya sedikit memalingkan pandangan tak sanggup melihat ketulusannya.
Kemudian dikala wanita muda itu menangis lirih di bawah pandanganku, aku tersenyum dan berkata dengan bijak kepadanya disertai uluran tangan.
"Kita tidak seharusnya mengambil keuntungan dari seseorang yang meminta pertolongan, bukan?"
Suatu kata yang hangat. Apa ini kebaikan? Tidak, salah! ini hanya suatu bentuk manipulatif mental.
Maaf tapi aku bukan sepenuhnya tidak mengharapkan imbalan. Bagaimanapun di dunia ini sistem saling memberi dan menerima tetap berlaku.
Aku hanya menutupi itu semua dengan kebaikan. Tapi bukan berarti aku berniat jahat kepada mereka, hanya saja jika kau bisa memanfaatkannya dengan baik, sesuatu yang disebut "Hutang Budi" merupakan kontrak lembut yang sangat mengikat hati seseorang.
Aku sedikit mengakuinya bahwa diriku termasuk sosiopat, tidak heran kenapa sekarang aku tergolong ke dalam "Boss" dan bukan "Hero".
Aku melihat keadaan sekitar tribe yang mengenaskan ini. Jika dibiarkan lebih lama lagi mungkin para Dark elf ini akan binasa. Itu akan sangat merugikan, jika disaat ada sekelompok sumber daya manusia(mengacu pada dark elf) yang bisa kau manfaatkan kenapa harus dibiarkan mati?
Aku tidak merasa jahat, lagipula aku akan membayar mereka sesuai dengan jasa yang diberikan.
Mari kita mulai dengan membangunkan peradaban di wilayah yang tanpa harapan ini.
Semoga pengetahuan dan pengalamanku dapat berguna disini.
"Tuanku boleh saya tahu nama anda?" tanya Freya membuatku kembali pada percakapan.
Mereka memanggilku dengan honorifik hormat, apa aku akan menolak dipanggil seperti itu? Tentu saja tidak. Bukan karena kesombongan, melainkan karena sebuah alasan strategis. Biarkan mereka menghormatiku sebagai pemimpin mereka demi menjaga moral mereka sebagai pengikut. Ini hal penting dan tentu saja wibawa juga berpengaruh disini.
"Panggil saja aku Refal," balasku tersenyum simpul.
Aku mencoba sebisa mungkin memberikan tekanan keakraban kepada mereka semua. Ini sedikit aneh, sewaktu di Bumi aku tidak bisa melakukan percakapan seperti ini sebelumnya. Kenapa sekarang bisa? apa mungkin karena aku sekarang memiliki tujuan yang pasti?
Sepertinya aku merupakan orang yang membutuhkan topik tertentu dalam percakapan. Dan ironisnya aku baru menyadari sifatku ini setelah masuk dunia lain? Pfft... realita memang kejam. Semoga aku mendapatkan karma baikku di tempat ini.
Aku melanjutkan, kini dengan sebuah tawaran yang cukup menggiurkan.
"Apa kalian mau bekerja di bawah naunganku? Tentu saja aku akan memberikan imbalan yang sesuai," tawarku lembut.
Disaat seseorang tersudut dan kau memberikan kesepakatan yang menggiurkan maka mereka akan merespon seperti makhluk buas kelaparan. Dan yang pertama kali mereka pikirkan terhadap dirimu, orang yang memberi pertolongan adalah rasa terima kasih terdalam, emosi yang sangat rentan dan mudah dimanipulasi.
Mata mereka berkilauan, suara serak mereka menampakkan semangat dan antusiasme. Saat aku selesai dengan penawarannya mereka mengangkat tangan tanpa keraguan.
"R-refal-sama, tolong biarkan aku bekerja dibawah naunganmu!"
"A-aku juga, aku akan melakukan yang terbaik!"
"Biarkan aku juga!"
"Tolong terima aku juga Refal-sama!"
Gadis muda yang sempat menangis sebelumnya berdiri, mengusap air matanya lalu mengucapkan tekadnya di depanku. "Tolong terima diriku sebagai kaki tanganmu Refal-sama, saya akan setia kepada anda seumur hidupku!"
Sesuatu yang sejauh ini sudah ku prediksi, jika aku menyelamatkan satu-satunya anggota keluarganya, kakaknya. Respon hutang budi dan penawaran kesetiaan seperti ini pasti akan muncul. Aku hanya bisa tersenyum di dalam hati. Sekali lagi aku tidak berniat jahat apapun kepada orang-orang ini, hanya saja jika aku tidak melakukan ini akan ada kemungkinan pengkhianatan ke depannya jadi rencana pencegahan harus dimulai dari awal.
'Aku sudah memikirkan rencana manipulatif ini sejak awal!' batinku tersenyum puas.
Aku tidak ingin ada yang namanya Backstabber. Aku pernah merasakannya dulu dan itu menyakitkan, terutama jika itu orang terdekatmu.
Sebut aku kompulsif atau apapun itu, orang paling cerdik dan waspadalah yang selalu berdiri paling akhir.
Aku tersenyum tulus kali ini. Aku mencintai mereka yang dengan mudahnya dapat dimanipulasi dengan kebaikan.
"Kalau begitu, pekerjaan pertama kalian adalah membantuku memperbaiki wilayah mati ini!" pintaku.
"Dimengerti!"
[Dark Elf X87 telah bergabung dengan Troops anda!]
◈◈◈
See ya next chapter!