Yup! Dan persediaan untuk sebulan penuh ludes begitu saja dalam sekejap mata.
Kuharap mereka tidak cukup bebal untuk dapat mengikuti intruksiku selanjutnya, terutama dalam proses rekonstruksi domain, aku sekarang mulai ragu apakah mereka bisa mengikuti arahanku dengan baik?
Untuk hari ini adalah waktunya istirahat. Benar, seorang bos yang baik harus bisa mengatur waktu yang efektif untuk pekerjanya, khususnya jam istirahat yang cukup vital untuk menjaga produktivitas.
"Semuanya bubar! untuk hari ini kalian istirahat dan pulihkan kesehatan serta stamina kalian," pintaku tersenyum ringan.
Tanpa tolakan, mereka mengikuti perintahku dan kembali ke tempat mereka masing-masing. Hari sudah siang menjelang sore dan tepat saja, kini memang layak untuk menyuruh mereka meringankan beban sejenak. Bagaimana denganku? Aku cukup lelah disini secara mental, sebaliknya tubuhku masih bugar dan bertenaga.
Terlalu banyak hal yang simpang-siur dalam waktu singkat yang mana membuatku harus terus-menerus menjaga ketenangan dan berpikir. Mungkin ikut mengistirahatkan pikiran ini juga merupakan ide yang bagus.
Seolah mengetahui kondisiku saat ini, Freya menawariku untuk menginap di rumahnya.
"Refal-sama, jika berkenan anda boleh beristirahat di tempat kami untuk sementara..." tawarnya gugup. Bukan tawaran yang buruk, lagipula pergi berkelintaran dari sini merupakan hal yang tak efisien.
"Baiklah, kuterima tawaranmu dengan senang hati. Maaf jika aku nanti merepotkanmu" ujarku mengisyaratkan tawa kikuk. Berbaur adalah prioritas lain.
"Eh?! Tidak apa, maksud saya... anda telah banyak berjasa kepada kami. harusnya saya yang meminta maaf karena tidak bisa memberikan sesuatu yang lebih baik" balasnya gelagapan, wajahnya cukup manis saat berekspresi hidup seperti ini.
'Kalau begitu, hiduplah dengan produktif dan bekerjalah dengan baik dibawah intruksiku!' pikirku terbesit reflek. Hampir saja aku tersenyum jahat tanpa sengaja.
"Refal-sama?" Freya memiringkan kepalanya. "Apa anda baik-baik saja?"
"Ah! Tidak, tidak ada. ayo kita pergi kalau begitu."
Gadis muda yang lugu, aku sekarang mulai merasa tak enak mencoba memanfaatkan kepolosannya. Tapi itu adalah hal yang diperlukan, dunia ini lebih keras daripada di Bumi. Aku akan memanfaatkan sumber daya apapun yang ada dengan baik, meski begitu menjunjung moral humanitas juga tak akan luput dariku.
Kami berjalan beriringan dengan tenang.
"Sebelum tinggal di kuil Ouroboros, anda berasal dari mana Refal-sama?" tanyanya mencoba menghabiskan waktu.
"Aku..." Sempat tertahan, aku mencoba sedikit mereka-reka cerita latar belakangku. "Aku datang dari benua yang jauh, aku merupakan anak bungsu keluarga vampire lesser yang hidup sederhana disana. Aku hanya ingin hidup mandiri, dan berakhir tinggal disini. kurasa tempat ini tidak buruk juga untuk membangun wilayah"
Itu semua kilah, kebohongan.
"Anda hebat, kami tidak bisa bertahan hidup lama disini setelah di usir dari suku elf utama... mereka mengusir kami karena kulit gelap kami yang di anggap kutukan dan kotoran rendah," tuturnya mulai kearah kelam.
"Ah... maaf aku malah menyinggung..."
"Tidak, tidak apa kok" Dia menoleh kearahku dengan senyuman nan tulus.
Walau mendapat diskriminasi dan ketidakadilan seperti itu, mereka disini tetap tersenyum layaknya esok hari akan ada sesuatu yang jauh lebih baik. Sayangnya realita tidak semanis itu, kau akan tamat jika tak cukup cerdas dan kuat untuk bertahan. Itu hukum mutlak dimana pun dunia tempatmu tinggal.
Mengingat tentang diskriminasi warna kulit, aku teringat kejahatan kemanusiaan yang terjadi dalam sejarah duniaku. Ini kembali membuatku muak, dunia ini juga tetap ada sistem sampah dan pemikiran orang-orang elitis yang merasa paling superior dan maha tinggi. Kurasa memang begitulah ras elf, kebanggaan dan kehormatan mereka terlalu tinggi sampai membuat mereka lupa dengan daratan.
Harga diri sampah, kebanggaan omong kosong, menelantarkan bagian rakyatmu artinya kau tidak lebih dari kotoran. Lebih buruk dari itu, brengsek!
Aku mengkerutkan alisku tenggelam dalam amarah intens.
"Refal-sama?" tanya Freya risau.
"Ah! maaf aku sedikit melamun, pembicaraan kita sampai mana tadi?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Maaf. apa saya terlalu banyak bercerita?" tanya Freya nampak kikuk.
"Tidak, maaf sebelumnya aku tidak terlalu memperhatikan. kau boleh melanjutkannya, kok"
'Sial, aku kehilangan ketenanganku sejenak tadi. Tenanglah... jangan terlalu menganggap serius segalanya, pikirkan saja ini hanya sebuah skenario yang harus ku pecahkan. Benar, mengambil keputusan dikala kau marah adalah bunuh diri!' pikirku menghapus segala distraksi.
Aku kembali kemana pikiranku seharusnya berlayar.
Freya kemudian melanjutkan.
"Seminggu yang lalu kepala suku kami telah wafat karena racun miasma di danau, dan akhirnya karena kakak adalah yang paling kompeten disini dia rencananya yang dinobatkan menjadi seorang kepala suku berikutnya. Tapi... karena penyakitnya itu semakin parah dan saya tidak tahu lagi harus bagaimana... ini berakhir menjadi semakin sulit, terutama hutan ini juga cukup terpencil dan berjarak sangat jauh dari tempat perdagangan."
". . . ."
Ceritanya membuatku mengetahui garis besar wilayah tempat ini. Baiklah, lanjutkan ceritamu agar aku bisa membuat spekulasi dan kesimpulan kasar.
"Apa kau punya peta wilayah ini? gambaran kasar juga tidak apa" tanyaku.
"Maaf, kami tidak memilikinya. kami diusir tiba-tiba dan hanya membawa persediaan dan beberapa buku peninggalan leluhur kami" ungkap Freya merasa bersalah.
Aku mengernyitkan alisku karena jengkel.
Dia terlalu banyak meminta maaf, apakah Dark Elf kurang memiliki kebanggaan diri? Kupikir diskriminasi menahun yang mereka alami membuat mental dan pola pikir mereka melemah. Sialan ras Elf bangsat, mereka mengotori pikiran anak buahku yang berharga.
'Ini tidak bisa dibiarkan, apa aku harus mendokrin ulang pola pikirnya?' pikirku memandang Freya yang masih tertunduk sambil bergumam meminta maaf.
Huh... Ini menjadi semakin menyebalkan!
*Pok!*
Aku mendadak menepukkan kedua telapak tanganku tepat di depan wajah Freya yang sontak langsung membuat dirinya tertegun. Dan dengan demikian kesadarannya kembali fokus kepadaku. Saat ini kami saling berpandangan.
"Aku tidak tahu apa yang kalian alami sebelumnya. Tapi jangan terlalu sering meminta maaf, junjung tinggi harga dirimu dan minta maaflah saat kau benar-benar harus melakukannya!"
"Itulah yang disebut sebagai ketetapan hidup kukuh."
Ekspresi Freya membatu disana, apa aku salah ucap?
Dia dengan cepat menarik wajahnya menghindari tatapan lurusku.
"... Iya" jawabnya kikuk.
Aku kemudian melanjutkan, "Kau sekarang akan menjadi bawahan kepercayaanku, lebih berbanggalah dan buang jauh-jauh sifat pesimismu!"
"Mana jawabannya?"
Setelah mendengar penegasan kedua dariku, wajahnya diangkat dan memandang lurus ke depan.
"Ba-baik, Refal sama!" teriaknya dengan raut wajah yang lebih baik.
Mengamati perubahan sikapnya itu aku mengangguk dengan senyuman yang menyungging keluar. Mungkin ini adalah perasaan puas setelah sedikit mendokrin orang-orangmu ke jalan yang lebih baik. Jangan pernah merendah!
"Oh iya, kalian punya buku 'kan?" tanyaku baru teringat.
"Ya, kami punya... tapi itu hanya peninggalan lama dan sudah disimpan di gudang—"
"Pinjamkan semuanya kepadaku!" selaku cepat.
". . . ."
"Saya akan meminjamkannya setelah sampai di dalam rumah" balasnya mengangguk serius.
Dalam hal dan bidang apapun itu, koleksi pengetahuan dan informasi adalah sesuatu yang vital. Kau kurang informasi maka berakhir menjadi kekalahan. Segala sesuatunya dimulai dari informasi, dan dari situlah segala pengetahuan, ide, rencana dan strategi tercipta. Buku macam apa yang dunia fantasi ini punya? Trik lelucon semacam sihir 'kah? Atau ilmu pengetahuan langka nan ajaib?
Sambil tersenyum menanti, hatiku mulai tak sabar.
***
Percakapan kami berakhir cukup cepat, lagipula rumahnya hanya beberapa meter dari tempat kami berdiri sebelumnya. Tentu saja dengan sedikit percakapan ini akan membuatnya semakin tak terasa.
"Tolong tunggu sebentar, saya akan ke tempat penyimpanan dulu untuk mengambil buku-bukunya"
"Ya, aku akan menunggu" balasku singkat.
Aku duduk dikursi kusam dari kayu jati, mungkin karena keadaan sekitaran hutan yang dipenuhi jati. Tempat ini sebagian besar... atau mungkin hampir semuanya terbuat dari kayu.
Tak selang lama setelah kepergiaan Freya ke ruangan lain, Kakaknya datang dengan wajah ling-lung dari arah kamar. Mata kami saling bersinggungan. Mungkin ini pertama kalinya pertemuan kami dikala dia sadar. Apa aku harus mengucapkan 'Halo'?
"Hal—"
"Siapa kau?!" Tiba-tiba dia menyentakku dengan pose waspada. Titik keringat muncul di wajah garangnya.
Mari maklumi ini dan biarkan aku menjelaskan, "Aku—"
Sebelum aku sempat mengucapkan beberapa patah kata, Pria ini dengan cepat menerjang ke arahku bagai badai hendak menghadang. Ini sontak membuatku terkejut, dengan sigap aku berdiri memasang kuda-kuda pertahanan. Dan tatkala pukulan tajamnya hendak mengenai wajahku, aku mengelak sambil mengayunkan tanganku memegangi pangkal tangannya. Kemudian membanting badan gagahnya ke lantai dengan posisi tertelungkup dan tangannya terlipat di pinggul sambil ku tahan.
Suara bantingan cukup keras disana.
"Akh...!!" jeritnya kesakitan.
Ini adalah sikap pertahanan diri. Maaf aku reflek membalas, kawan.
"Lepaskan aku brengsek! apa yang dilakukan seorang vampire disini?!" teriaknya menusuk gendang telinga.
Karena jengkel aku sedikit memelintir tangannya yang saat ini ku tahan.
"Akh...!! Itu sakit! hentikan sekarang juga!!" jeritnya meronta kesakitan.
Tubuhnya masih sangat lemah, jika dia sekarang dalam kondisi primanya kurasa akan terjadi pertarungan cukup sengit diantara kami berdua.
"Sekarang kawan... boleh kita berbicara lebih dingin?" bisikku menggertak seketika membuatnya diam membeku.
"Kakak?!" teriak Freya memandang kami berdua sambil membawa beberapa tumpuk buku tua di pangkuan tangannya.
Dia meletakkan buku-buku itu terlebih dahulu lalu bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi disini, Refal-sama? dan juga... apa anda bisa melepaskan kakakku untuk sementara..."
Wajah risau itu menusuk langsung kepadaku. Aku melepaskannya karena dirasa ancaman sudah tidak ada.
"Yah, kau benar. maaf atas kekasaranku" ungkapku kembali berdiri.
Sekarang dua pria dengan kepala dingin sudah duduk tenang di kursi kayu.
". . . ."
"Kakak... kenapa kau berakhir seperti tadi?" tanya Freya khawatir sekaligus marah.
"Aku mencurigainya sebagai orang jahat!" tegas Pria itu.
'Ahahahaha, apa wajahku terlihat seperti orang jahat? atau karena aku seorang Vampire?' batinku tertawa kikuk.
"Jangan tidak sopan seperti itu! beliau ini adalah penyelamatmu, penyelamat suku kita!" jerit teguran Freya langsung menusuk kakaknya.
"Dia yang... maksudku benarkah itu Freya?!" tanya Pria itu tertegun bukan main.
"Iya kak Ghein!" tegas Freya.
'Oho~ jadi namanya Ghein, nama yang layak untuk seorang pejuang kompeten sepertinya' pikirku sempat kagum.
"Mohon maaf atas kelancangan kakak, Refal-sama..." ungkap Freya tulus sambil memegangi kepala Ghein agar ikut membungkuk.
Aku tertawa geli melihat kedua bersaudara ini. Mereka akur atau juga tidak? Ahahaha, kini aku teringat adik perempuanku di Bumi. Bukan perasaan emosional tertentu, aku hanya sedikit teringat saja.
"Tidak, ini hanya kesalahpahaman. yang lebih penting apa aku boleh minta bukunya?"
Aku tidak peduli dengan kejadian sebelumnya. Toh itu cuman salah paham belaka, selama aku tidak terluka maka tidak masalah.
Mereka tertegun menatap reaksi datarku. "Kenapa?"
"Tidak... apa anda benar-benar tidak keberatan dengan perlakuan kasar kakakku—"
Aku memotong, "Tidak sama sekali. lagipula aku juga salah karena membanting orang yang baru mendingan dari sakitnya. Sekarang tolong berikan bukunya kepadaku."
Tanganku mengulur nampak agak mendesak.
Mereka saling bertatapan heran. Apa mereka berpikir aku rendah hati atau semacamnya? Maka itu adalah sebuah kesalahpahaman lainnya. Sederhanya aku hanya tidak peduli, itu saja.
Freya berdiri dari duduknya dan mengakhiri diskusi penyelesaian masalah ini.
"Maaf saya membuat anda terganggu, silahkan ini beberapa bukunya... yang lainnya ada di gudang jika anda selesai dengan ini saya akan membawakan yang lainnya" jelas Freya meraih tumpukan buku yang sebelumnya sempat dia letakkan.
"Oho~ akhirnya!" seruku girang. Kini tindakanku merupakan murni emosional tulus.
Aku cinta buku dan pengetahuan, aku akui itu tak terelakkan. Mereka kawanku sejak kecil, dan aku bangga memeluk mereka setiap selesai membaca sambil tersenyum puas.
Disini ada 6 buku tua, warna kertas menguning dengan tepiannya yang terkikis akibat terlalu lama dikubur dalam tumpukan debu. Meski begitu, tulisan judul dan isi pengetahuan di dalamnya masihlah jelas dan layak tuk dibaca.
'Alkimia kuno, ditulis oleh Mirpa?' Itulah judul dari buku yang ku pegang pertama, warna dari sampulnya adalah merah maroon dengan judul dan bordernya coklat keemasan. Menambah kesan buku kuno dan klasik.
Keduanya memperhatikanku dalam tenang. Aku mengabaikannya dan tetap fokus dengan bacaan.
Hingga aku menyadari tatapan menusuk mereka, aku melirik sedikit dan menemukan raut wajah kaget bukan kepalang. Kenapa sampai sebegitunya?
Aku menyadari sampai disana, mereka tidak percaya dengan kecepatan membacaku. Karena aku selesai membaca buku tebal dengan kisaran jumlah 400.000 kata dalam waktu 5 menit. Rekor terbaru yang kutorehkan sejauh ini, mungkin karena skill "Literation" kecepatan dan pemahamanku meningkat.
Meski tahu mereka terperangah di depan mataku, aku tetap acuh.
'Hm... aku hampir memahami 80% dari total informasi di dalam bukunya...' pikirku, dan tanpa sadar jemariku sudah naik diantara dagu.
Tingkat efisiensi belajarku memanglah meningkat. Namun, tekanan secara mental juga sama besarnya. Membuat mentalku semakin lelah dan disaat bersamaan membuatku semakin bergairah karena pengetahuan.
Keilmuwan alkimia, sebuah teknik perpaduan antara teori ilmiah dengan magis. Menciptakan keajaiban dengan perpaduan ilmu pengetahuan dan sihir dimana membuatnya semakin tidak jauh dari kebenaran. Di duniaku dulu ini hanya sekedar teori, apa di dunia ini bisa dibuktikan?
Dibanding tatapan terkejut mereka, aku lebih tertarik dengan isi kajian Alkemia. Kupikir mempelajari hal baru ini akan sangat menarik, teori dan praktek di dalamnya tidak jauh berbeda dengan mata ilmu pengetahuan Kimia.
'Aku tidak sabar kembali bereksperimen...' pikirku menyeru menjadi tak sabaran.
Dan masih disana, pandangan kakak-beradik ini masih belum lepas dariku.
◈◈◈
See ya next chapter!