Chereads / TEARS [SHERINA ADELIA] / Chapter 3 - A Tough Day

Chapter 3 - A Tough Day

Sherina kini tengah berada di balkon kamarnya, ia masih tidak habis pikir dengan sikap mamanya yang seperti itu. Gadis itu berdiri di pinggir balkon dengan tangan sebagai tumpuan, sembari merasakan angin-angin sejuk pasca hujan, setidaknya ini bisa sedikit menenagkannya. Sherina memandang sekelilingnya melihat beberapa orang yang berlalu-lalang di jalanan, karena memang balkon kamarnya berhadapan langsung dengan jalanan. Matanya terpaku saat ia melihat seorang pemuda tengah melambaikan tangan padanya, pemuda yang tinggal tepat di samping rumahnya. Siapa lagi jika bukan Alva, pemuda itu mengembangkan senyumnya lebar pada Sherina yang sama sekali tak di balas oleh gadis itu. Jujur saja sebenarnya ia ingin menanggapi Alva tetapi ia juga tak ingin kembali memberi harapan persahabatan pada pemuda itu.

*****

Esok harinya Sherina berangkat lebih awal dari biasanya, ia hanya ingin menghindari untuk bertatap muka dengan Ranti dan Mario. Gadis itu berjalan sendirian menuju sekolahnya, langitpun terlihat masih enggan menampakkan sinarnya dan kini Sherina memilih untuk berhenti sejenak di sebuah taman kecil tak jauh dari rumahnya. Gadis itu duduk di sebuah ayunan, beberapa menit kemudian seseorang memanggil namanya dengan suara yang amat sangat familiar di telinganya. Saat tatapan mata mereka beradu Sherina segera mengalihkan pandangannya, ini masih terlalu awal untuk berurusan lagi dengan pemuda itu.

Namun, bukan Alva namanya jika ia akan pergi begitu saja, sementara Sherina terus menjaga jarak agar tidak lagi berurusan dengan Alva, pemuda itu justru semakin gencar mendekati Sherina untuk meminta penjelasan. Menit berikutnya ia sudah ikut duduk di ayunan kosong tepat di samping Sherina.

"Kata orang di taman ini angker, loh," ujar Alva membuka obrolan, "lo gak takut?"

"Biasa aja."

"Kemarin gue senyumin kenapa malah masuk kamar?"

"Gue gak mau berurusan lagi sama lo."

"Tapi gue mau," sahut Alva sembari menoleh ke arah Sherina.

Sherina menghela napas, "kenapa lo gak pernah ngerti sih, Va?"

"Gimana gue mau ngerti kalau lo aja enggak pernah ngejelasin apapun ke...."

"Karna gue gak bisa ngasih tau lo!" potong gadis itu dengan nada meninggi, ia kembali menghela napasnya, "lo cuma harus ngerti kalo kita gak bisa lagi kaya dulu," lanjutnya dengan nada lebih pelan.

Sherina beranjak dan pergi meninggalkan Alva, jujur saja ia juga tidak mau melakukan ini tapi ia harus tetap melakukannya, menahan perasaan seperti ini lebih dari 4 tahun tidak mudah. Meskipun itu waktu yang cukup lama, tapi setiap saat mereka masih bisa bertemu tanpa sengaja seperti pagi ini. Gadis itu berjalan tanpa menoleh ke belakang, sedangkan pemuda itu berada tak jauh di belakang Sherina memandangi punggung gadis yang dulu selalu manja dengannya, ia merindukan Sherina teman masa kecilnya.

Sesampainya di sekolah Sherina segera menuju kelasnya, karena hari masih terlalu pagi ia memilih untuk menuju UKS untuk sekedar merebahkan tubuhnya, dan tanpa sadar ia pun mulai terlelap. Bel masuk berbunyi cukup kencang sampai mampu membangunkan seorang gadis yang masih terbaring di brankar UKS. Mendengar bunyi nyaring itu Sherina segera bangkit dan buru-buru menuju kelasnya. Sesampainya ia di kelas bertepatan dengan seorang guru yang juga baru saja memasuki kelas, guru itu memandang Sherina remeh.

"Kenapa baru masuk?" tanya guru itu.

"Saya dari UKS, Bu," jawab Sherina pelan.

"Kenapa, sakit?"

"Saya sedikit tidak enak badan, Bu."

"Ck, kalau memang sakit tidur saja di rumahmu, jangan menyusahkan orang yang ada di sekolah!" ujar guru itu lalu masuk kedalam kelas diikuti Sherina di belakangnya.

Gadis itu pun berjalan menuju kursinya dan duduk di sana, pembelajaran pun dimulai. Pagi ini adalah pembelajaran Sejarah lebih dulu dan salah satu pembelajaran yang tak terlalu Sherina sukai, terlebih lagi dengan guru yang mengajar mata pelajaran itu. Guru yang suka bergosip, entah itu sesama guru atau bahkan murid-muridnya sendiri. Sherina kadang heran, kenapa sekolahan ini menerima guru seperti itu, apakah mereka kekurangan guru yang lebih bermoral?

Sherina meraih tasnya, merogoh benda tersebut mencoba menemukan sesuatu yang ia cari, raut mukanya terlihat bingung dan panik menjadi satu. Donna dkk yang melihat Sherina kebingungan hanya tertawa senang, karena setelah ini ia yakin akan ada sedikit hiburan di kelas itu. Anggi salah seorang teman Donna mengangkat tangannya dan memanggil guru itu.

"Bu, permisi bukannya minggu lalu ibu memberi kita tugas ya? Tidak di kumpulkan?" tanya gadis itu. Guru itu yang sebelumnya terlihat lupa segera menyetujui pernyataan Anggi dan menyuruh semua anak ayang ada di kelas itu untuk mengumpulkan tugas mereka.

Satu persatu anak maju dan meletakkan buku mereka di meja guru, terkecuali Sherina yang masih mencari bukunya tersebut. Gadis itu merasa aneh, ia yakin betul bahwa sudah memasukkan buku tersebut, dan juga sangat aneh jika salah satu dari kelompok Donna menanyakan sebuah tugas. Saat sudah tak ada lagi yang berjalan maju guru itu menghitung ulang jumlah buku tersebut, Sherina sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi ia yakin setidaknya ia akan berada di luar kelas selama jam mata pelajaran berlangsung.

"Jumlah buku ada 24, masih ada satu anak yang belum mengumpulkan tugas?" tanya guru itu, "siapa? angkat tangan," lanjutnya.

Sherina menghela napas lalu mengangkat tangannya pelan, "Saya bu," ujarnya. Seluruh pandanganpun beralih kearahnya.

"Kamu lagi Sherina! sudah telat masuk kelas, tidak mengumpulkan tugas! Kamu niat sekolah atau tidak sebenarnya?"

"Maaf bu, tapi tadi saya sudah bawa tapi buku saya tiba-tiba hilang," ujar gadis itu mencoba menjelasnya.

"Jangan banyam alesan kamu, klasik sekali. Lagian mana bisa buku hilang sendiri tanda ada ambil? kamu sudah salah tapi masih saja banyak alasan!" sarkas guru itu, "sekarang juga kamu keluar, dan berdiri di depan kelas sampai jam pelajaran saya selesai!" lanjutnya.

"Tapi bu,"

"Apa? kamu membantah? mau saya kasih lebih hukuman kamu?"

"Tidak, Bu," ujar Sherina lalu beranjak dari duduknya keluar kelas.

Saat gadis itu melewati bangku Donna, ia melihat gadis itu tengah tertawa menatapnya sembari menunjukkan buku yang ia cari sedari tadi. Sherina semakin membulatkan matanya saat melihat Donna mencoba untuk menggunting bukunya itu, tidak ada yang bisa ia lakukan, melawanpun tak ada guna karena kekuatannya tak pernah sepadan dengan gadis itu. Donna melakukan gerakan isyarat dengan meletakkan telaoak tangannya didepan mulut sembari bergumam 'ups' lalu kembali tertawa.

Sherina dengan pasrah kini sudah berada di depan kelas, hanya duduk tanpa melakukan apapun. Matanya memandang kearah lapangan basket yang di sana terdapat beberapa siswa yang sedang melakukan olahraga, sangat kebetulan kelasnya berhadapan dengan lapangan basket. Itu adalah kelas Alva, ia bisa melihat pemuda itu tengah berlaru sembari memantulkan bola yang ia bawa, Alva benar ia tidak berubah hanya Sherina yang berubah.

Menit berikutnya tiba-tiba saja pandangannya terhalangi oleh seseorang, gadis itu mengangkat kepalanya memandang orang yang berdiri di hadapannya sembari menyodorkan sebotol minuman. Pemuda itu tersenyum cukup manis dengan satu lesung pipit yang menghiasi pipi kanannya.

"Gue liat dari tadi lo disini, enggak ada kelas?" tanya pemuda itu.

"Kelas gue di sini," balasnya.

"Dihukum?" tanyanya lagi yang tak di balas oleh Sherina, "masih pagi udah di hukum aja. Btw, lo enggak mau terima minuman dari gue?"

"Enggak, makasih," balas Sherina.

Pemuda itu mengangguk paham, "OK, kalau gitu gue boleh ikut duduk?"

"Duduk aja." Tanpa perinyah lagi pemuda ktu segera duduk di samping Sherina.

"Lo liatin siapa sih?" tanya pemuda itu mengikuti arah pandangan gadis itu, "Alva?"

Mendengar nama Alva di sebut Sherina segera memalingkan pandangannya mencoba memandang ke arah lainnya, "Enggak."

"Bohong. Hemm, ya emang gue akuin kalo Alva emang ganteng, tapi masih gantengan gue kemana-mana, sih," ujar pria itu membuat Sherina merasa aneh.

"Lo siapa sih?" tanya Sherina yang semakin bingung dengan pemuda yang tiba-tiba saja duduk di sampingnya itu. Mendengar pertanyaan gadis itu membuat pria itu sedikit terkejut.

"Lo gak kenal gue?" tanya pemuda itu yang di balas hanya dengan gelengan kepala dari Sherina, "serius? becanda kali," lanjutnya mencoba meyakinkan Sherina, tetapi alih-alih jawaban memuaskan yang ia dengar, gadis itu justru hanya diam tanpa membalas pertanyaan pemuda itu.

"Oke, gue itu Ram...."

"Sherina!" panggil seseorang membuat Sherina dan pemuda itu menoleh ke sumber suara, saat melihat guru yang mengajar di kelasnya ada di sana gadis itu segera bangkit dari duduknya, "saya perintahin kamu berdiri di depan kelas, bukan malah duduk sambil ngobrol!" ujar guru itu.

"Maaf, Bu."

"Maaf bu, jangan marahin Sherina karena saya yang ngajak dia ngobrol," ujar pemuda itu.

"Eh, Rama ternyata, kamu ngapain di sini?"

"Lagi istirahat aja bu. Jadi bu, Sherina enggak salah," ujarnya lagi, membuat gadis itu memandangnya heran.

"Baiklah kalau begitu, saya akan kembali mengajar." Guru itu kembali masuk ke kelas tanpa kembali memarahi Sherina. Gadis itu menatap pemuda yang sebelumnya di panggil Rama itu dengan tatapan heran, bingung yang susah dijelaskan.

Pemuda itu tersenyum, lalu mengulurkan tangannya, "Kenalin gue Rama," ujar nya lalu sedikit mendekat ke arah Sherina, "anak pemilik sekolah," bisik pemuda itu membuat Sherina membulatkan mata seketika.

Jadi ini anak pemilik sekolah yang selalu di bicarakan para siswi di kelasnya, entah kenapa aura pemuda itu tidak terlihat seperti yang selalu ia dengar. Rama menjauhkan diri dari Sherina, ia tersenyum dan berlalu pergi meninggalkan gadis itu. Melihat pemuda itu pergi ia hanya menatapnya dengan bingung, kenapa pemuda itu harus tersenyum kepadanya?

Sedangkan di seberang sana, seorang pemuda melihat jauh lurus didepan nya, seorang pemuda dan gadis yang ia kenal. Ia juga sangat mengenal pemuda yang kini tengah mendekatkan wajahnya ke araha Sherina. Ia kesal, kenapa gadis itu mau didekati salah seorang teman sekelasnya sedangkan saat diringa mencoba mendekatinya ia justru memilih untuk menjauh. Ada apa sebenarnya dengan gadis itu?

Di tempat lain pula, tepatnya di kelas Sherina. Seorang gadis tengah mengintip di balik jendela dengan kesal, ia menghempaskan tubuhnya duduk di atas kursi. Ia kesal, bisa-bisanya gadis cupu seperti Sherina mendekati Rama anak pemilik sekolah. Tangannya menggenggam erat, ia harus memberi gadis itu pelajaran.

*****

Jam istirahat tiba, seluruh siswa berhamburàn keluar kelas sedangkan Sherina memilih untuk tetap di kelasnya. Setelah kelas itu benar-benar kosong dan hanya tersisa Sherina dan juga Donna dkk, teman-teman gadis itu segera menutup pintu dan jendela kelas mereka membuat Sherina bingung. Donna berjalan menghampiri Sherina dan berdiri tepat di sampingnya sembari mwnyilangkan tangan di depan dada.

"Lo ngomongin apa sama Rama?" tanya Donna.

"Enggam ngomongin apa-apa," jawab Sherina apa adanya.

"Jangan bohong! lo pasti ganjen kan sama Rama, ngaku lo!" ujar Donna.

"Ganjen? gue aja enggak kenal sama dia," balasnya.

Mendengar jawaban Sherina membuat Donna terkekeh, gadis itu mencekal kedua pipi Sherina dengan jarinya kesal, "Jangan pura-pura polos, lo bilang lo gak kenal sama Rama? Alesan tau gak!" ujar Donna lalu menghempat cekalannya.

"Inget ya, gue peringatin sekali ini aja, jangan deketin Rama dan gak usah sok kenal sama dia! ngerti!" ujarnya dan berlalu pergi dari kelas itu di ikuti anak buahnya.

Sherina memandang kepergian keempat gadia itu, ia menghela napas panjang lalu menyandarkan diri ke kursinya. Ia memejamkan matanya mencoba merelaxkan kembali pikirannya, sepertinya hari-harinya akan semakin suram. Gadis itu memasang headset di telinganya dan memutar sebuah lagu untuk menenangkan diri masih dengan dirinya yang bersandar di punggung kursi, hari ini masih belum terlewati setengah hari tetapi ia sudah merasa sangat lelah. Berurusan dengan beberapa orang yang sama sekali tak pernah ingin ia temui, ah, memang takdir kadang senang membuat manusia tertawa.

Ini sudah satu tahun setelah kepindahannya, tetapi bullyan-bullyan itu tak sedikitpun berkurang. Setiap hari ia harus membawa beberapa seragam ganti untuk berjaga-jaga kejadian seperti kemarin terjadi. Jujur saja ia lelah, tetapi mau bagaimana lagi? ini adalah tahun ke tiganya di jenjang SMA jadi tidak mungkin ia kembali berpindah sekolah, lagi pun ia yakin di sekolahnya yang baru nanti ia akan di perlakukan hal yang sama deperti saat ini.

Sherina membuka matanya dan terkejut saat melihat Alva sudah duduk di bangku tepat di depannya, gadis itu melepas headsetnya dan memasukkan kembali ke dalam tas. "Lo ngapain di sini?"

"Tadi ngobrolin apa sama Rama?" tanya pemuda itu. Ah, gadis itu heran ada apa dengan orang-orang ini, kenapa dari tadi mereka terus bertanha tentang apa yang ia obrolkan dengan si anak pemilik sekolah itu? apakah sepenting itu untuk mereka?

"Enggak ngomongin apa-apa," jawab Sherina.

"Gue heran, kenapa lo diem aja pas di deketin dia tapi lo selalu ngejauh pas gue deketin?"

"Gue udah sering jawab pertanyaan itu."

"Apa? karena lo gak mau berurusan sama gue lagi? Tapi kenapa, She, apa salah gue?" Sherina hanya diam tak menjawab pertanyaan Alva.

'Lo gak salah apa-apa, Va. Gue yang salah hadir di kehidupan lo,' batinnya. Iya, ia hanya bisa mengucapkannya dalam hati. Alih-alih mengutarakan apa yang ingin ia katakan, gadis itu justru berlalu meninggalkan Alva. Ia berjalan keluar kelas dan tampa di sangka seseorang melemparkan balon yang berisi beberapa air dan tepung.

"Hahaha, mangkannya jangan ganjen jadi cewek! Tadi pagi Rama, sekarang Alvi, emang dasar murahan!"

*****

To Be Continue....