Chereads / TEARS [SHERINA ADELIA] / Chapter 5 - Traumatic

Chapter 5 - Traumatic

Sherina terbangun dari tidurnya, gadis itu menerjabkan mata mencoba menjernihkan penglihatannya, pandangannya berkeliaran melihat kesekelilingnya dan menemukan pemuda tengah duduk di sampingnya. Sherina membulatkan mata terkejut saat melihat Rama ada di sana duduk sembari menatapnya, alih-alih bertanya kenapa ia ada di sana gadis itu justru mencari ponselnya dan melihat jam.

Setelahnya ia beralih menatap Rama, "Lo ngapain di sini?"

"Menurut lo?" Bukannya menjawab pemuda itu justru kembali melontarkan pertanyaan yang di jawab hanya dengan angkatan bahu Sherina, Rama menyentuh pelipisnya dengan tatapan seolah-olah dirinya lelah, "lo gak bilang terimakasih gitu udah gue tolongin?" Gadis itu menaikkan sebelah alisnya bingung.

'Menolongnya dari apa?' batinnya, ia pun mencoba untuk mengingat-ingat kembali kejadian beberapa jam lalu. Saat beberapa ingatan terputar kembali di kepalanya, gadis itu menatap Rama, ia ingat kejadian 3 jam yang lalu dimana traumanya kembali terjadi.

"Udah inget?" tanya pemuda itu, Sherina mengangguk.

"Jadi lo yang bawa gue ke sini?"

"Siapa lagi? Cuma ada gue di sini," jawabnya.

"Thanks." Setelah mengatakannya, gadis itu hendak beranjak dari tempat yang lebih dulu di halangi oleh Rama.

"Mau kemana? mendingan lo istirahat dulu, ntar lo malah pingsan lagi," katanya sembari mencekal pergelangan tangan Sherina.

"Enggak perlu."

"Yaudah, kalo gitu gue panggilin temen lo ya, lo punya temen kan?" Hening, tak ada jawaban gadis itu hanya diam. Rama pun sadar bahwa dirinya sudah salah memberikan pertanyaan pada gadis itu, "ya udah, gue anterin lo ke kelas aja gimana?"

Sherina masih menatap pemuda itu aneh, pemuda itu ingin mengantarnya? yang benar saja, salah-salah justru setelah ini semakin banyak bullyan terhadapnya. Sherina melepas cekalan Rama lalu menggelengkan kepalanyanya. "Gak perlu, gue bisa sendiri." Gadis itu bangkit dari duduknya.

"Gue maksa," ujar Rama membuag gadis itu menghentikan langkahnha, lali kembali berjalan tanpa menjawab ungkapan Rama. Karena merasa diacuhkan, pemuda itu pun tetap mengikuti tak jauh di belakang Sherina. Menit berikutnya ia sedikit mempercepat langkahnya untuk menyeimbangi langkah gadis itu, ia pun kini sudah berada di sampingnya.

"Boleh gue tanya sesuatu?" Tak ada jawaban, "lo sering kena panic attack?" Mendengar pertanyaan itu Sherina melirik ke arah Rama, walaupun wajah itu terlihat datar tetapi Rama masih bisa melihat raut terkejut dari sana.

"Kenapa emang?"

"Penasaran aja."

"Jangan ganggu privasi orang," kata Sherina, lalu segera berbelok menuju kelasnya.

Ia mengetuk pintu kemudian masuk meninggalkan Rama tanpa mengucapkan sepatah katapun, pemuda itu pun berlalu kembali menuju kelasnya. Setelah meminta ijin pada guru untuk duduk, ia melihat ke tempat Donna dkk yang kini kosong. Sherina kembali mengikuti pelajaran dengan cukup tenang, ia pun mulai berpikir tentang traumanya yang masih bisa terjadi.

*****

Bel pulang sekolah berdering membuat seluruh siswa berhamburan keluar kelas, tak terkecuali Sherina yang kini masih membereskan barang-barangnya. Setelah selesai ia segera beranjak keluar kelas, tetapi baru saja ia ingin melangkah keluar kelas seseorang sudah menghadangnya, seorang pemuda yang masih sangat ingin ia hindari, Alva. Sherina memandang pemuda itu sebentar lalu kembali ingin melangkah tetapi pemuda itu terus saja menghalangi jalannya.

Sherina berdecak, "Minggir, gue mau lewat," perintahnya yang tak di gubris Alva, "Minggir gue bilang!" Ulang gadis itu sembari mendorong dada Alva. Alih-alih menyingkir, justru pemuda itu menahan pergelangan tangan Sherina yang masih di atas dadanya.

"Lepas!"

"Kenapa sih? Apa salah gue sebenernya?" tanya pemuda itu sangat terlihat jelas di raut muka Alva jika ia benar-benar bertanya-tanya dengan fakta yang selama ini ia tutupi.

"Lo gak salah tapi gue yang salah, jadi lepasin gue sekarang." Alva menggelengkan kepalanya. Sherina pun menggoyang-goyangkan tangannya mencoba untuk melepas genggaman pemuda itu, yqng justru malah semakin kuat.

"Woi!" teriak seseorang membuat Sherina dan Alva menoleh ke sumber suara, "jangan maksa cewe, Bro," lanjutnya sembari melangkah mendekati mereka kedua.

Alva melepas cekalannya dan kini memilih untuk berhadapan dengan pemuda itu, Rama. "Kalo lo cowok, lo gak bakal maksa cewek kaya tadi," kata Rama lagi.

"Lo siapanya dia? huh?"

"Gue bukan siapa-siapanya, cuma gue gak suka liat ada cowok yang kasar sama cewe." Mendengar itu membuat Alva mulai tersulut, tangannya sudah mengepal kesal bersiap untuk melayangnya tinjunya, sampai sebuah suara berhasil menghentikan aksi mereka berdua.

"Gak usah berantem kaya anak kecil, lagian masalah kaya gini gak pantes buat di berantemin," ujar gadis itu dan berjalan pergi menghiraukan Alva yang beberapa kali memanggilnya.

Ah, gadis itu lelah, ia ingin sekali untuk segera sampai di kamarnya dan merebahkan diri di kasurnya. Sesampainya di kediamannya ia melihat Ranti tengah berada di halaman rumah sembari menyirami beberapa tanaman hiasnya, Sherina hanya meliriknya sekilas lalu masuk ke dalam rumah. Ia segera masuk ke kamarnya dan merebahkan diri di atas kasur, ah, kenapa semakin hari ia merasa kehidupannya semakin berat saja.

Dimulai dari orang-orang terdekatnya hingga orang yang hanya tau sisi terluar dari kehidupannya. Gadis itu terkekeh memikirkan kata-katanya barusan, ia lupa jika tidak seorangpun yang mengetahui dirinya melebihi dirinya sendiri bahkan Ranti pun tak pernah mengerti. Gadis itu merogoh tas untuk mengambil ponselnya dan menyalakannya, dan dengan waktu yang bersamaan sebuah notif dari nomor tak di kenal muncul di layarnya. Ia membuka pesan chat itu lalu menutupnya kembali, ia tahu siapa pengirim pesan itu.

Malam pun semakin larut dan Sherina kini masih berada di halaman belakang rumahnya, langit kini begitu cerah dengan ribuan bintang dan sebuah bulan yang membantu sebagai penerang malam. Karena besok Weekend gadis itu memutuskan untuk bergadang malam ini, entah ia akan melakukan apa mungkin ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam di luar sini sembari memandangi cantiknya malam.

Ponselnya bergetar tanda sebuah pesan masuk, ia pun membuka pesan tersebut dari Alva.

Kalau ada satu bintang jatuh, apa permohonan yang paling kau inginkan?. Tulisnya dalam pesan itu.

Sherina menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan seolah mencari sesuatu yang ada di sana, ia hanya memastikan jika tak ada penguntit sedang menguntitnya, tetapi ia tak menemukan siapapun. Gadis itu memilih untuk mengabaikan pesan tersebut dan meletakkan kembali ponselnya, ia memang mengjiraukan pesan dari Alva, tetapi pertanya itu tiba-tiba saja terus melayang di pikirannya, berputar-putar seolah mencari jalan keluar. Ia pun akhirnya berpikir tentang permintaan yang mungkin bisa Tuhan kabulkan untuknya.

Di tempat lain seorang pemuda tengah berdiri di balik jendela dengan teleskop yang di arahkannya di area belakang kediaman seseorang, pemuda itu meletakkan sebelah matanya ke lensa teleskop dan mulai melihat seorang gadis yang duduk sendiri di halaman itu, pemuda itu adalah Alva. Tak lama setelah ia melihat gadis itu, ia beralih meraih ponselnya dan mengirim sebuah pesan pada seseorang dengan harapan gadis itu akan merespon pesannya yang sudah kesekian kali tanpa balasan.

Setelah mengirim pesan tersebut, ia kembali meletakkan ponselnya dan menunggu balasan yang sedari lama dinantinya, tetapi nihil masih sama seperti hari-hari sebelumnya gadis itu tidak sekali pun mau membalas pesannya. Hal yang selalu membuatnya bingung adalah, kenapa gadis itu terus menjauh darinya bahkan ia pernah pergi keluar negeri selama satu tahun yang pada akhirnya ia kembali ke Indonesia. Harusnya dulu ia senang karena teman masa kecilnya kembali, tetapi saat melihat gadis itu semakin mengacuhkannya itu membuatnya menjadi tak karuan.

Ia selali berpikir, dimana letak kesalahannya selama ini? apa yang ia lakukan sampai-sampai gadis itu menghindarinya sampai detik ini.

Saat malam semakin menuju dini hari dan angin malam semakin dingin menembus tubuhnya, ia memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Selama 3 jam lebih ia berada di luar sana tanpa melakukan apa-apa, gadis itu justru memenuhi isi kepalanya dengan berbagai pertanyaan. Saat ia hendak melangkah menaiki tangga, seseorang memanggilnya membuatnya berhenti, Sherina menoleh dan mendapati Ranti sudah berdiri di belakangnya.

"Dari mana sayang?"

"Dari luar," jawabnya lalu hendak melanjutkan langkahnya.

"Sherina," panggil wanita itu lagi, "maafkan mama karena menamparmu kemarin," lanjutnya.

"Enggak papa, aku ngerti." Gadis itu melangkah menaiki satu persatu tangga.

Sesampainya di kamarnya ia langsung merebahkan diri di kasurnya, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Untuk kesekian kalinya gadis itu menghela napas panjang sembari menutup mata, saat itu pula ia kembali mengingat Ranti yang menamparnya ia pun segera membuka matanya. Sherina bangkit dari tempatnya dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya, setelahnya ia berniat untuk tidur.

*****

Keesokan paginya, gadis itu bangun sedikit lebih siang. Setelah membersihkan diri ia keluar dari kamarnya dan melihat Ranti tengah duduk di kursi meja makan, gadis menarik kusi yang berhadapan dengan Ranti dan mendudukinya. Ia meraih selembar roti dan sebuah apel lalu memakannya.

"Kamu mau makan apa hari ini?"

"Apa aja terserah," jawabnya masih fokus dengan makanannya.

"Hari ini papamu pulang, mama harap kamu mau bersikap baik dengannya," kata Ranti membuat Sherina menghentikan kegiatannya, seketika gadis itu kehilangan nafsu makan.

"Aku selesai," ujarnya dan meletakkan kembali buah apil yang sebelumnya ada di tangannya, ia beranjak dari duduknya.

"Sherina, bagaimanapun juga dia adalah papamu, kamu harus tetap bersikap baik dan sopan dengannya." Kata-kata itu menghentikan langkahnya, ah, di sudah muak dengan ungkapan itu sampai kapan ia harus bersikap baik dengan laki-laki itu.

"Kita lihat nanti," balasnya seadanya, ia pun berlalu pergi keluar rumahnya.

Pagi ini langit tak begitu cerah, ada beberapa gumpalan awan pekat di atas sana sepertinya hari ini akan turun hujan, "Padahal semalem cerah banget," gumamnya.

Sherina terus melangkah sampai ke sebuah taman yang beberapa hari lalu ia kunjungi, taman itu kini sedikit lebih ramai dari sebelumnya banyak anak kecil dan beberapa orang tua di sana. Ia duduk di bangku telat di bawah pohon, memandangi setiap orang yang ada di tempat itu seolah-olah ia sedang membaca setiap gerak-gerik mereka.

Gadis itu merogoh sakunya dan mengeluarkan benda pipih dari dalam sana, gadis itu menekan-nekannya beberapa kali ia menaikkan alisnya tanda aneh. Menit berikutnya sebuah notifikasi pesan masuk berbunyi ia pun memilih untuk mengabaikannya, dan tanpa ia sadari seorang pemuda berjalan menghampirinya pemuda itu berhenti tepat di samping Sherina. "Kalau gak mau bales, setidaknya baca chat gue," kata pemuda itu membuat Sherina terkejut, gadis itu menoleh dan melihat Alva yang sudah duduk di sampingnya.

"Udah berapa kali gue bilang, jangan ganggu gue lagi."

"Gue cuma pengen tahu satu alesan aja."

"Gue gak bisa bilang."

"Kalau gitu gue bakal terus ganggu lo terus," ucap pemuda itu.

"Please jangan semakin mempersulit gue, Va."

"Gue gak mempersulit lo, gue cuma mau tau satu alesan kenapa lo terus jauhin gue kaya gini."

Ia tau hal seperti ini akan terjadi dan mau tidak mau ia harus menjawabnya, Sherina menghela napasnya, "Lo mau satu alesan kan?" Alva mengangguk sedangkan Sherina menoleh kearah pemuda itu, " karena gue benci sama lo, puas!" lanjutnya.

Bagai di sambar petir mendengar gadis itu mengatakan hal yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. Sherina membencinya, kenapa? ah, alasan itu masih tidak sedikitpun membungkus rasa penasarannya, justru malah membuatnya semakin besar. Gadis itu beranjak dari tempatnya ia berjalan menuju sebuah supermarket yang ada di dekat sana.

Sherina merutuki dirinya sendiri, kenapa tadi ia harus menatap mata pemida itu bahkan ia tahu jika Alva cukup pandai mengetahui kebohongan seseorang hanya melalui tatapan mata. Ia hanya berharap jika pemuda itu bisa menerima alasan yang di beri olehnya. Sedangkan masih di tempat yang sama, Alva memandang kepergian gadis itu melihat punggung itu melangkah semakin menjauh. Ia masih tak percaya jika gadis itu membencinya, sangat terlihat di mata Sherina bahwa itu tidak benar.

"Kayaknya gue harus cari tahu sendiri," gumamnya.

*****

Sherina sudah sampai di kediamannya baru saja kakinya melangkah masuk ke halaman ia sudah melihat mobil Mario yang terparkir di depan sana. Sepertinya hari-hari menyebalkan yang lainnya akan segera di mulai kembali, ia masuk ke rumahnya mendapati Mario tengah duduk di ruang keluarga sembari menonton televisi. Laki-laki itu menoleh saat sadar jika anaknya itu sudah kembali, ia pun mematikan televisi tersebut lalu bangkit.

"Dari mana kamu? Masih pagi udah keluyuran!" tegur Mario.

"Bukan urusan anda kan."

"Kamu benar-benar mulai kurang ajar ya sekarang!"

"Bukan aku yang kurang ajar, tapi anda yang enggak pantes dapet hormat dari sana."

Emosi Mario mulai membara laki-laki itu mempererat kepalannya. "Sherina, mama sudah bilang bersikap baiklah pada papamu," ujar seseorang yang baru saja menuruni tangga.

"Urus anakmu! ajari dia sopan-santun agar tidak kurang ajar pada orang yang lebih tua!" ujar Mario dengan nada meninggi lalu pergi menuju ruang kerjanya.

"Saya sudah bilang, anda tidak pantas mendapat hormat saya!"

"Sherina cukup! kenapa kamu jadi seperti ini sih? Mama gak pernah didik kamu seperti itu."

"Memang bukan mama yang ngajarin aku kaya gitu, tapi keadaan," balas gadis itu, "aku tahu mana hal yang harus aku lawan dan aku pertahankan, bukan seperti mama yang mau terus-terus terinjak dengan laki-laki seperti dia!" Gadis itu berkata sembari berkaca-kaca, "permisi," lanjutnya kemudian masuk menuju kamarnya.

Ia mengusap airmatanya yang tiba-tiba jatuh, ia tahu kata-katanya akan menyakiti Ranti tapi apa yang harus ia lakukan untuk membuka pikiran mamanya itu agar mau terlepas dari laki-laki tidak tau diri itu. Sherina menghela napas, masih sepagi ini tetapi semua orang yang ia temui sudah sangat menghancurkan moodnya, dimulai dari Alva, Ranti dan Mario entah apa lagi yang akan terjadi setelah ini, yang jelas hari-harinya akan semakin berat.