Chereads / TEARS [SHERINA ADELIA] / Chapter 6 - Beginning

Chapter 6 - Beginning

Sherina terbangun dari tidurnya dengan napas yang tersengal-sengal, tiba-tiba saja ia memimpikan sesuatu yang dulu pernah terjadi. Ia mengusap wajahnya dan menyeka keringat yang mengucur di dahinya, mimpi yang cukup membuatnya semakin tak enak hati awal mula dari sebuah kesalahan. Setelah menenangkan diri ia meraih ponsel yang ia letakkan di nakas dan melihat jam yang ada di layar ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 2 siang, ah ternyata ia tidur cukup lama siang ini.

Sherina bangkit dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka, gadis itu berniat untuk pergi ke toko buku untuk membeli beberapa novel dan comik baru sebagai temannya. Setelah selesai ia segera turun dan mendapati Ranti tengah duduk di kursi ruang tamu, "Aku pergi dulu ke toko buku," pamitnya pada Ranti.

Ranti mengangguk, "Iya, hati-hati, Sayang."

Baru saja ia ingin melangkah tetapi suara bariton sudah menghentikannya, "Mau kemana kamu?"

"Beli buku."

"Buku apa? paling novel sama komik lagi yang kamu beli," ujar Mario, "kamu bisa tidak beli sesuatu yang lebih bermanfaat? jangan novel sama komik terus, ngabisin duit aja kamu pikir cari uang gampang?!"

"Sudah lah, Pa. Lagian cuma Novel aja, enggak papa kan?"

"Teruss, terus aja manjain anakmu ini, biar dia tumbuh jadi orang yang enggak berguna!" kata Mario yang jujur saja menyakiti hati Sherina.

"Bukan gitu maksud aku, Pa."

"Udah diem kamu!" bentak Mario pada istrinya, "dan kamu denger ya Sherina, kamu saya sekolahkan biar bisa banggain kami, kamu pikir kenapa saya kerja dari pagi sampai malam? itu buat menghidupi kamu dengan biaya yang enggak murah! jadi gunain uang mu buat hal yang lebih bermanfaat, bukan malah beli novel!"

Sherina ingin tertawa mendengar ucapan laki-laki itu, "Seperti apa? membayar wanita untuk di tiduri? itu yang papa bilang bermanfaat?" tanya gadis itu dengan penekanan diakhir katanya.

Mario mengepal tangannya geram mendengar ucapan putrinya itu, "Pa jangan!" teriak Ranti mencoba menghentikan niat Mario.

Namun, nihil nyatanya di detik berikutnya sebuah tamparan tepat mendarat di pipi kiri Sherina.Panas menjalar dari tempatnya tertampar keseluruh wajah, ini sakit, tapi tidak sebanding dengan tamparan Ranti kemarin yang mampu menembus hingga ke hatinya. Tamparan itu cukup kuat hingga membuat ujung bibir Sherina terluka, gadis itu mengusapnya saat dirasa sesuatu yang hanyir masuk ke mulutnya. Ia terkekeh melihat sedikit darah di ujung jarinya lalu memandang Mario tanpa takut.

"Lagi? tampar aja lagi, kenapa? karena aku bicara yang sebenarnya jadi papa nampar aku?"

"Jaga mulut kamu, anak gak tau diri!" hardik Mario.

"Itu karena aku tercipta dari benih manusia yang juga tidak tau diri!"

"Sherina cukup!"

"Mama juga, kenapa terus membelanya? Buka mata mama, orang ini gak pantes buat mama!" katanya sembari menunjuk ke arah Mario.

Melihat Mario yang hendak kembali menampar putrinya, Ranti pun maju berdiri di antara Sherina dan Mario, "Berhenti, Pa. Jangan tampar Sherina lagi." Mario menghentikan tangannya di udara.

"Anak ini harus di hukum!"

"Biar aku yang memberi hukuman buat Sherina."

"Sudahlah, kalau begini terus lebih baik aku tinggal di apartemen!" kata Mario sembari beranjak pergi.

"Tinggal saja di sana, anda jadi bisa bebas membawa siapapun ke apartemen!" ujar Sherina masih kesal, sedangkan laki-laki itu terus berjalan tanpa menoleh padanya.

"Sherina cukup! jaga bicara kamu, lebih baik kamu segera selesaikan apa yang mau kamu lakukan. Setelah itu langsung pulang!" kata Ranti, gadis itu pun berlalu keluar rumah.

Ia memilih untuk menggunakan taksi online bukan karena tak bisa mengendarai mobil atau motor, tapi ia tidak mau menggunakan benda-benda pemberian Mario. Kalau saja ponsel ini juga pemberian dari laki-laki itu ia juga pasti akan membuangnya. Tak lama ia sampai di sebuah toko buku yang cukup besar, setelah membayar taksi ia segera keluar dan masuk ke toko tersebut.

Sherina sudah mengitari beberapa rak karena masih mencari satu buku yang belum ia temukan. Setelah selesai memilih-milih buku ia pun membawanya ke kasir untuk membayar, dan pada saat itu pula ia tidak sengaja menabrak seseorang yang tengah berdiri memilih beberapa buku, alhasil itu membuat buku-buku yang ia bawa terjatuh.

"Duh, maaf-maaf saya enggak sengaja," kata Sherina sembari memunguti buku-buku itu yang dibanti oleh korbannya.

"Lain kali hati-hati," balas orang itu. Gadis itu tertegun sesaat ia merasa familiar dengan suara itu, ia mendongak dan mendapati Rama yang kini sedang ada di hadapannya.

"Elo?"

"Hai," balas Rama santai.

Sherina segera membereskan barangnya dan bangkit, "Sekali lagi gue minta maaf, permisi," ujarnya dan berlalu menuju kasir.

Tak lama kemudian, Rama menyusul gadis itu dengan membawa sebuah buku dan memberikannya pada gadis itu, Sherina yang bingung hanya memandang aneh ke arah Rama. "Lo gak mau? ini buku lo loh," katanya, gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah buku tersebut dan benar saja itu adalah buku yang tadi ia ambil.

"Ah, thanks."

Setelah membayar bukunya Sherina segera keluar dan berjalan menuju cafe yang tak jauh dari sana, tak lama Rama pun keluar dari sana saat pemuda itu melihat Sherina yang berjalan sendirian ia pun berniag untuk menyusulnya. Gadis itu terkejut saat melihat Rama yang sudah berjalan di sampingnya, alih-alih memberikan penjelqsan pemuda itu justru meringis tanpa dosa. "Lo ngapain?"

"Jalan," jawab Rama.

"Gue gak buta," balas Sherina ketus, "maksud gue lo ngapain ngikutin gue?"

"Gue gak ngikutin."

"Terus?"

"Barengan aja."

Mendengar jawaban tak memuaskan itu, Sherina hanya memutar bola matanya malas lalu gadis itu membelokkan langkahnya masuk ke cafe tujuannya masih di ikuti Rama di belakangnya. Gadis itu memesan minuman kesukaannya saat berada di tempat pemesanan, ia mulai merasa risih saat pegawai wanita yang ada di sana terus memandanginya dan Rama bergantian.

"Itu pacarnya enggak mau pesen, Mbak?" tanya salah satu pegawai tersebut membuat Sherina gelagaban.

"Pacar? dia?" Sembari menunjuk ke arah Rama yang di balas anggukan oleh pegai tersebut, "dia bukan pacar saya." Pegawai itu hanya meng oh ria membalas jawaban Sherina.

Saat ia hendak membayar minumannya tiba-tiba saja Rama menyela kegiatannya, pemuda itu menyodorkan sebuah kartu kredit pada pegawai itu. "Biar gue yang bayar," katanya, "sama hot cappuchino satu ya mbak, gabungin aja sama dia," lanjutnya pada kasir itu membuat Sherina tak habis pikir dengan pemuda itu.

Sherina dan Rama duduk di tempat yang cukup terbuka dengan jendela yang ada di samping mereka, terlihat jelas orang berlalu lalang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Jujur saja itu cukup mengganggu untuk Rama tetapi berbanding terbalik dengan Sherina yang justru terlihat menikmati pemandangan yang bahkan tak seindah itj untuk di pandang.

"Ngapain cari tempat yang keliatan banget sih?" tanya Rama.

"Kenapa? lagian gue gak nyuruh lo buat ikut duduk di sini kan, kalo mau pindah ya pergi aja." Bungkam, Rama tak bisa menjawabnya karena memang benar gadis itu tak pernah mengajaknya, dia saja yang mengikuti gadis itu.

Sherina mengeluarkan satu lembar uang dua puluh ribu dan meletakkannya di meja kemudia ia mendorongnya mendekat ke pemuda itu, Rama melirik uang dan gadis itu bergantian seolah bertanya-tanya 'untuk apa?', melihat Rama yang terlihat jelas bingung gadis itu pun menjelaskan maksudnya.

"Buat ganti duit lo, gue gak suka hutang budi," katanya.

"Gak ada yang perlu hutang budi, gue ikhlas traktir lo."

"Gue gak suka ditraktir, jadi mending terima uang ini."

"Oke kalo lo maksa."

Tak lama pesanan mereka datang, seorang pelayan mengantarkan pesanan keduanya dan saat pelayan itu hendak pergi Rama memanggilnya lalu memberikan uang dua puluh ribu Sherina pada pelayan itu, "Buat tips, Mas," katanya membuat Sherina membulatkan matanya.

Pemuda itu sedikit terkekeh saat melihat ekspresi terkejut dari Sherina, detik berikutnya kekehan itu menghilang saat ia sadar ada yang abeh dari wajah gadis itu. Ia melihat ada sedikit bercak darah di ujung bibir Sherina, "Bibir lo kenapa?" tanyanya sembari mengarahkan jarinya kewajah Sherina.

Mendengar itu Sherina mengarahkan tangannya untuk menyentuh ujung bibirnya, menghentikan jari Rama. "Enggak papa."

"Itu luka, gak papa gimana?"

"Bukan urusan lo juga," kata gadis itu sembari mengaduk minumannya.

Di tempat lain, tepat di seberang cafe yang dikuncungi Sherina dan Rama, seseorang melihat keberadaan mereka berdua. Orang itu memotret beberapa kali moment itu, dan bersiap untuk membuat gosip baru di sekolah. Orang itu menyunggingkan senyum miringnya saat melihat beberapa foto itu. "Lo gak bakal bahagia, Sherina."

Sherina kini sudah berada di kediamannya dan mamanya pun ternyata juga sudah menunggunya di ruang keluarga. Gadis itu berjalan mendekati wanita itu dan duduk berseberangan dengannya.

"Berapa kali mama bilang pada mu, Sherina, perlakukan papamu dengan baik," ujar mamanya memulai obrolan, "kamu tau papamu seperti apa, jadi jangan selalu memancing amarahnya."

"Aku enggak mancing amarah papa," ujar Sherina membela diri.

"Jangan bikin mama bimbang Sherina, mama sayang kamu mama juga cinta papamu, jadi mama mohon ngertiin posisi mama."

Sherina terkekeh, "Aku kurang ngerti apa selama ini ma? mama selalu ngelarang aku buat ngebela mama saat mama disakitin papa, Aku nurut, aku nggak ngebantah," kata Sherina, "udah berapa tahun aku selalu nutup telinga dan mata pura-pura enggak tahu apa-apa dan sekarang aku udah hampir lulus SMA, aku gak bisa diem liat mama terus disakitin papa," lanjutnya.

"Kamu pernah pura-pura tidak tahu, maka tetap lakukan itu sampai mama benar-benar menyerah sayang."

Mendengat itu Sherina hanya menggelengkan kepalanya perlahan, "Enggak, aku gak akan diem lagi dan aku gak akan pura-pura enggak tahu apa-apa," balas Sherina lalu bangkit dari duduknya, "Maaf ma, tapi aku udah capek liat mama nangis setiap malem di kamar," lanjutnya kemudian berlalu menuju kamarnya.

Ah, lagi-lagi mamanya itu meminta dirinya agar pura-pura tidak peduli, mana mungkin ia bisa melakukannya sekarang. Sudah cukup lama ia menahan agar bisa melawan papanya itu, dan saat ia sudah mampu kenapa justru mamanya melarangnya dengan alasan cinta. Ia merasa mamanya benar-benar bodoh dengan perasaannya sendiri, memang benar kata orang, Cinta dan Bodoh itu beda tipis hingga tak terlihat.

*****

Pagi pun tiba, dan kini Sherina baru saja tiba di sekolahnya. Gadis itu berjalan melewati koridor yang sudah cukup lumayan ramai oleh siswa-siswi, beberapa dari mereka bergerumbul menggunjingkan sesuatu. Sherina menghentikan langkahnya penasaran saat melihat mading yang baru ia lewati terlihat ramai oleh murid-murid, gadis itu menjinjitkan kakinya mencoba melihat sesuatu di papan itu dan saat matanya berhasil menangkap sesuatu itu membulatkan matanya. Bagaimana bisa fotonya bersama Rama kemarin bisa ada di sana, parahnya lagi sudah berbentuk artikel.

Gadis itu mencoba untuk masuk ke tengah-tengah kerumunan memecah barisan manusia yang menghalangi jalannya untuk bisa melepas artikel tersebut. Saat ada kesempatan ia segera melepas artikel itu dan merobeknya, seketika itu juga sorakan-sorakan dan ejekan terlontar dari mulut manusia yang ada di sana.

"Gue gak nyangka cewek kaya Sherina ternyata murahan juga."

"Bisa di pake nih?"

"Berapa perjam?" Samar-samar ia mendengar beberapa ucapan-ucapan tak mengenakkan hati itu. Ia mencoba untuk berkata bahwa artikel itu bohong, tetapi jangannya berteriak kata-katanya pun kini seolah tenggelam termakan makian dari semua orang. Gadis itu menutup kedua telinga dan matanya, ia tak tahan mendengar cacian mereka, kenapa mereka semua sampai seperti ini padahal hal itu pun belum tentu benar, kenapa hal ini harus terjadi pada dirinya.

"Woi minggir lo semua!" teriak seseorang membuat seluruh orang yang tadinya mengerumuninya kini berpaling ke sumber suara. Sherina pun membuka telinga dan matanya, di sana Rama tengah berjalan mendekati tempatnya berdiri dengan membuat sebuah kantong berwarna hitam.

"Siapa yang nyuruh kalian kayak gini?" tanya pemuda itu, "lagian jangan jadi orang goblok yang mudah kehasut sama berita-berita gak jelas kaya gini!" lanjutnya sembari menuang isi kantong hitam tersebut yang ternyata adalah selembaran-selembaran artikel yang sudah ia temukan pagi ini, "lain kali cari faktanya baru kalian boleh ngata-ngatain orang!"

Setelah menyelesaikan kalimatnya pemuda itu menarik pergelangan tangan Sherina untuk menuju kelasnya. Anehnya gadis itu tak menolak ajakan Rama membuat pemuda itu tersenyum tipis, entah karena dirinya yang masih cukup syok atau lainnya, yang jelas ia tak bisa menolak tarikan pemuda itu hari ini. Rama mengantarkan Sherina hingga ke depan kelasnya, dan tentu saja itu membuat beberapa siswi histeris ingin di posisi Sherina untuk saat itu saja.

Sherina melihat kesekeliling kelas dan benar saja tatapan itu tertuju padanya terlebih lagi Donna yang menatapnya dengan penuh kebencian. Gadis itu melirik Rama kemudanian memberikan sedikit kode agar pemuda itu pergi, pemuda itu pun melangkah pergi. Sherina masuk ke kelasnya dan duduk di bangkunya sendiri.

"Wah wah wah, si cupu sekarang udah bisa godain cowo-cowo nih," kata Donna yang kini berjalan mendekatinya, "lo ngasih bagian mana sama mereka berdua? atas atau bawah? atau malah dua-duanya?" lanjutnya, kini gadis itu sudah berada di samping Sherina dengan melipat kedua tangannya di depan dada.

Sherina hanya diam bukan berarti dia tidak marah, tetapi ia hanya malas berdebat dengan Donna yang jelas-jelas saja ia tak akan mau mengalah. Biarpun nanti dirinya bisa memojokkan gadis itu tetapi Donna pasti akan semakin menyiksanya di sekolah. "Cih, murahan!" cibir gadis itu.

Sherina mengalihkan pandangannya ke arah Donna, "Gue enggak murahan."

Donna tersenyum, "Wahh, udah berani ngomong ternyata sekarang guys," katanya berbicara dengan teman-temannya.

"Di bayar berapa juta lo sama mereka berdua?" tanya Selvy diiringi tawa dari ke empatnya.

"Gue gak murahan dan gue gak dibayar siapapun!" bentak Sherina sembari bangkit dan menggebrak mejanya membuat seisi kelas itu hening. Untuk pertama kalinya Sherina bisa membentak geng Donna, alih-alih mundur justru Donna menyunggingkan senyum sinis dan semakin mendekat ke arah Sherina yang kini sudah berdiri.

Sherina baru sadar apa yang diperbuatnya akan semakin memperburuk keadaannya, ia sedikit menundukkan kepalanya. Donna sedikit memiringkan kepalanya dan mencoba melihat raut muka gadis itu, lalu terkekeh. "Kenapa nunduk, baru nyadar?" tanya Donna.

Donna menghela napasnya, "Jangan kira dengan lo deket sama Alva dan Rama, lo bisa lepas dari gue," ujarnya sembari seolah-oleh membereskan pakaian dan rambut Sherina lalu meletakkan tangannya di pundak gadis itu, ia mendekatkan kepalanya di telinga Sherina dan mulai berbisik, "selama lo masih ada di sekolah ini dan gue masih ngawasin lo, lo gak bisa lepas dari gue, ngerti?" bisiknya pelan dan lembut, ia menjauhkan kepalanya menyunggingkan senyuman yang menurut Sherina menakutkan lalu menepuk pipi gadis itu pelan.

Keempat gadis itu berlalu, tetapi baru beberapa langkah Donna berhenti dan berbalik menghadap Sherina, "Oiya, jangan lupa istirahat makan siang gue tunggu lo di lapangan basket," katanya, "harus dateng ya, cantik," lanjutnya dengan nada yang seolah mengejek, mereka pun benar-benar pergi.

Sherina mendudukkan tubuhnya, ia mengusap wajahnya kasar gadis itu merutuki kecerobohannya hingga membuat masalahnya semakin menjadi-jadi. Belum selesai masalah keluarganya, muncul Alva dan Rama yang menjadi bahan permasalah, dan kini masih ada lagi. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan Donna lakukan padanya nanti siang, ia bahkan tak ingin membayangkannya.

Setelah kepergian Donna dkk, seisi kelas mulai kembali menggunjing, entah itu tentang Sherina yang berani membentak Donna, atau tentang skandal gadis itu dengan anak pemilik sekolah, yang jelas keduanya sama-sama membuat Sherina akan gila.