Sherina kini berada di dalam kamar mandi, ia berusaha membersihkan pakaian dan rambutnya yang tadi terkena lemparan tepung oleh Donna dan kawan-kawannya. Gadis itu berusaha untuk tetap kuat dengan ini semua, ia justru sedikit bersyukur karena Tuhan selalu memperkuat mentalnya.
Gadis itu keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang masih terlihat kotor serta rambut yang belum terlalu bersih. Seperti gadis itu memutuskan untuk membolos pelajaran siang ini, ia tidak mungkin mengikuti pelajaran dengan kondisi seperti ini, ia melangkahkan kakinya menuju rooftop.
Sherina membuka pintu rooftop dan seketika merasakan angin sepoi yang menerpa tubuhnya, ia berjalan menuju pinggir bangunan dan duduk di sana. Sembari mengayun-ayunkan kakinya gadis itu menikmati setiap hembusan angin yang terus menghempas tubuhnya, seolah-olah angin-angin itu berniat untuk menjatuhkannya dari atas sana.
Di tempat lain seseorang tengah merebahkan diri di bawah pohon di halaman sekolah, dengan tangannya yang menyilang di belakang kepala sebagai bantalan, pemuda itu membuka matanya dan tanpa sengaja melihat sesuatu dari atas rooftop. Ia memicingkan matanya mencoba memfokuskan pandangannya ke atas sana, setelah benar-benar memastikan bahwa itu adalah manusia ia menaikkan sebelah alisnya seolah berpikir kenapa gadis itu ada di sana.
Pemuda itu adalah Rama, ia bangkit dari posisinya hendak menghampiri gadis itu tetapi baru saja ia melangkah dan saat ia kembali mendongak gadis itu sudah menghilang, ia pun memutuskan untuk kembali ke kelasnya. Saat berjalan menuju kelas, ia masih memikirkan gadis yang duduk di pinggir rooftop itu, tentu saja ia penasaran terlebih sekolah ini adalah salah satu aset yang akan menjadi miliknya kelak, ia tak mau jika sekolahnya akan terkenal menjadi angker hanya karena ada seorang siswa bunuh diri karena ceroboh.
Di ujung lorong matanya menangkap perawakan seorang gadis yang beberapa waktu lalu tidak sengaja ia temui, gadis itu berjalan sendirian semakin menjauh dari pandangan matanya menuju ruang UKS. Entah apa yang membuatnya ingin mengikuti gadis itu, tetapi instingnya berkata bahwa dia harus mengikutinya, ia pun mempercepat langkahnya untuk menyusul gadis itu, dan sesuai dugaan gadis itu memasuki UKS. Rama berhenti di depan ruang UKS, ia berpikir apakah gadis itu sakit? tapi dari mana dia tadi? itu bukan arah dari kelasnya.
Pemuda itu memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan tersebut, mendaftar dan masuk ke salah satu bilik kosong tepat di samping gadis yang ia ikuti tadi, "lo sakit apa?"
Sherina yang mendengar suara seseorang membuka matanya lalu menoleh ke samping, tangannya meraih kelambu dan menariknya terlihatlah seorang pemuda yang tengah berbaring dengan posisi yang sama sepertinya. Pemuda yang menjadi salah satu alasan kenapa dirinya menjadi penuh dengan tepung siang ini. "Enggak sakit apa-apa."
"Terus kenapa di sini?"
"Istirahat." Sherina kembali menutup kelambu tersebut, tetapi menit berikutnya benda itu kembali terbuka dan kini Rama lah yang membuka kelambu tersebut. Sherina yang tadinya sudah hendak beristirahat hanya menghela napas panjang, "please, biarin gue istirahat," katanya.
"Lo tadi di rooftop?" Sherina membuka matanya, bagaimana pemuda itu bisa tau? apakah tadi Rama melihatnya? Gadis itu melirik Rama lalu berbalik memunggungi pemuda itu tanpa ingin menjawabnya, "kalau ada masalah cerita, cari solusi, bukan malah mau mengakhiri diri," lanjut Rama membuat gadis itu sedikit jengkel dengan kata-kata itu.
"Gue gak mau bunuh diri!" balas Sherina masih membelakangi Rama, "mungkin enggak untuk waktu dekat ini," lanjutnya dengan bergumam lirih tetapi masih samar terdengar di telinga Rama.
"Gue cuma mau bilang, lo boleh bunuh diri tapi enggak di sekolah ini. Gue gak mau sekolah gue terkenal angker karena lo mati di sini," ujarnya semakin membuat Sherina kesal.
"Tenang aja, gue gak tertarik mati di sini!" Kesal Sherina.
Menit berikutnya ia mendengar suara langkah kaki mulai menjauh, Rama pun tak lagi terdengar menyahuti ungkapannya. Ia membalikkan badannya, dan melihat tak ada siapapun di tempat itu, ia pun menelentangkan kembali tubuhnya dan menghela napas panjang. Ia kembali berpikir tentang ucapan Rama tentang bunuh diri, apakah dirinya terlihat sefrustasi itu sehingga ia bisa menilai bahwa dirinya akan bunuh diri di sekolah? Ah, ternyata dia pun sama saja seperti anak lainnya yang terlalu suka mengjudge seseorang.
*****
Sore pun tiba dan kini Sherina baru saja sampai di kediamannya setelah sebelumnya ia mampir ke sebuah toko buku setelah pulang sekolah. Sebenarnya ia ingin lebih berlama-lama di sana tetapi toko itu sudah akan tutup yang membuatnya dengan amat sangat terpaksa harus pulang, ia masih malas untuk bertemu Ranti dan Mario. Saat dirinya masuk ke rumahnya satu hal yang dapat ia rasakan, sepi dan dingin, ia tahu tak ada orang di rumah dan tanpa pikir panjang ia pun segera masuk dan menuju kamarnya itu berbenah diri.
Setelah selesai membersihkan dirinya ia memutuskan untuk kembali turun dan menuju dapur untuk mengambil segelas minum, tanpa sengaja matanya mengarah ke sebuah notes yang tertempel di lemari es. Ia sedikit menyunggingkan senyuman sinisnya lalu meremas notes itu dan membuangnya ke tempat sampah, setelah mengambil segelas minum ia memutuskan untuk keluar rumah sembari membaca buku baru yang sebelumnya ia beli.
Saat masih asik dengan buku bacaannya, ia sedikit terganggu dengan notifikasi ponselnya yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi. Sherina melirik ponselnya yang menyala, melihat notifikasi apa yang sedari tadi tak henti-henti berbunyi, gadis itu menaikkan sebelah alisnya saat melihat namanya di sebut dalam sebuah pesan. Ia pun meletakkan buku itu dan meraih ponselnya untuk mengcheck apa yang telah terjadi.
Matanya membulat saat melihat sebuah link yang tersebar di grup angkatannya, link tersebut berisi videonya saat di lempari tepung oleh Donna dkk. Ia semakin jengkel saat membaca caption yang bertuliskan 'akibat menjadi seorang perempuan murahan.' Gadis itu meremas ponselnya sangat kesal, apa maksud kata-kata itu, murahan? bahkan dirinya hanya menjawab seperlunya dengan kedua pemuda itu.
Sherina membaca setiap komen yang masuk di sana, ada beberapa orang yang bersimpati dengannya tetapi lebih banyak orang lagi yang menghujatnya dengan kata-kata tak pantas, tentu saja itu membuatnya marah karena kenyataannya ia bukan gadis seperti itu. Ia pun tak butuh simpati mereka yang pada akhirnya juga akan berfikiran sama seperti yang lainnya, karena pada dasarnya dunia ini di penuhi dengan manusia-manusia munafik.
Jujur saja setiap komentar yang mereka tuliskan di forum itu membuatnya sakit hati, memang benar kata orang-orang, jempol akan jauh lebih menyakitkan dari pada lidah saat menyatu dengan orang-orang bodoh yang terlalu mudah terprovokasi dengan sebuah bukti yang bahkan ia tak tahu benar atau tidak, yang mereka tahu hanya menghujat, menghujat dan menghujat.
Sherina menutup forum tersebut dan meletakkan kembali ponselnya, ia menghela napas, "Masalah baru akan segera tiba," batinnya.
Beberapa menit berikutnya ponselnya berdering dan terdapat nama Alva di layar itu, Sherina meraihnya dan menerima panggilan tersebut.
"Apa?"
"Lo udah liat forum?" tanya Alva dengan nada yang terdengar sedikit panik.
"Iya."
"Gue bakal suruh anak-anak biar enggak nyebarin link itu lagi, dan nyuruh mereka buat ngehapus link itu."
"Terserah lo," ujar Sherina dengan datar lalu memutuskan panggilan tersebut.
Ia tak peduli, di hapus atau pun tidak ia yakin sudah lebih dari setengah angkatan sudah melihat video tersebut. Biarpun video itu sudah tak lagi tersebar tetapj tetap saja itu akan menjadi perbincangan mereka mulai besok, dan entah hal apa lagi yang akan menimpanya. Sherina sangat yakin mereka tak akan dengan mudah melupakan video tersebut, terlebih lagi mereka tahu betul seseorang yang ada di video itu.
Pagi pun tiba, sebenarnya Sherina malas untuk sekolah hari ini tetapi jika ia tidak sekolah maka semakin banyak yang mengira jika video semalam adalah benar. Ia pun segera bersiap, sarapan dan berangkat menuju sekolahnya, rumah itu masih sepi karna orang tuanya yang sedang pergi. Gadis itu berkali-kali menghela napasnya mencoba untuk menenangkan diri, dan sesampainya disekolah benar saja seluruh pandangan mata kini tertuju padanya. Memang benar ini bukan yang pertama kalinya terjadi, tetapi ada arti lain yang tidak biasa di setiap tatapan itu membuatnya semakin tak nyaman dan memutuskan untuk mempercepat kembali langkahnya.
Sesampainya di kelas, ia segera masuk ke ruangan itu tanpa memperdulikan tatapan mencemooh dari seisi kelas. Sherina meletakkan tasnya di atas meja mengeluarkan beberapa buku dan memasukkannya kedalam laci meja. "Awwh," ujarnya saat merasa seseuatu mengenai tangannya.
Gadis itu menarik kembali tangannya dan mendapati jarinya sudah terlumuri oleh darahnya sendiri, ia membungkukkan tubuhnya untuk melihat kedalam laci mejanya yang ternyata terdapat beberapa pecahan Cutter berserakan di dalam sana. Menit berikutnya sebuah kekehan tertangkap jelas di telinganya, ia menoleh ke arah Donna yang masih terkekeh. Gadis itu melambaikan tangannya lalu membuat gerakan tubuh seolah-olah ia sedang menangis dan diikuti tawa dari teman-temannya.
Sherina menghela napas, ia sudah menduga akan menjadi seperti ini. Walaupun ia sudah mempersiapkan diri tetapi tetap saja ini terlalu menyakitkan baginya, gadis itu berlalu keluar dari kelasnya menuju kamar mandi. Sesampainya di sana, ia segera membasuh lukanya dengan air sembari berpikir apa yang setelah ini harus ia lakukan untuk menghadapi situasi ini. Namun, bukannya solusi yang muncul dalam pikirannya justru air mata yang tiba-tiba menetes tanpa ia perintahkan. Air mata itu seolah menjadi saksi kelemahannya, saksi bahwa ternyata dirinya tidak sekuat yang ia kira.
"Kenapa gue nangis?" tanyanya pada diri sendiri, seolah dirinya pun bingung kenapa air mata itu tiba-tiba saja menetes, "Tenang, lo gak boleh nangis, lo gak boleh lemah," lanjutnya memberi semangat pada dirinya sendiri.
Sherina menyeka air matanya lalu menghela napas dalam beberapa kali agar menetralkan kembali pikirannya, ia pun membasuh mukanya agar tak terlihat sembab. Saat hendak keluar dari kamar mandi tersebut pintu itu tak hisa dibuka, beberapa kali ia mencoba untuk membukanya tetapi nihil, beberapa kali pula ia menggedor-gedor pintu itu tanpa ada sahutan seseorang. Gadis itu panik ia tidak bisa terlalu lama di tempat itu, menit berikutnya lampu kamar mandi padam membuatnya semakin panik, Sherina tidak bisa berada di tempat gelap dan sempit dalam waktu lama, gadis itu memiliki phobia dengan hal itu.
"Tolonngg...."
"Bukain pintunya, tolong...." teriaknya sembari menggedor-gedor pintu kamar mandi tetapi tak ada sahutan.
Sedangkan di sisi pintu yang lain, empat siswi tengah tertawa girang mendengar Sherina berteriak meminta pertolongan. Ini bahkan di luar dari ekspektasi mereka kalau bahwa gadis itu takut kegelapan. Gedor-gedoran dan teriakan yang tadinya kencang kini perlahan menghilang, gadis itu sudah sangat lemas kepanikannya tak bisa di biarkan begitu saja.
"Kalian sadar gak sih suaranya makin ilang?" tanya Selvy.
"Iya, sekarang malah gak ada suaranya," timpal Putri.
"Don, jangan-jangan dia mati."
"Mana mungkin bisa sampai mati sih, orang gini doang," ujar Donna yang sebenarnya sedikit takut.
"Gue pernah denger sih bisa," balas Selvy.
"Kita liat aja yuk," ajak Anggi yang di setujui ketiganya.
Putri pun membuka pintu tersebut dan mendapati Sherina yang sudah terbaring pingsan tak jauh dari pintu membuat ke empat siswi itu panik seketika. Mereka mendekati gadis itu perlahan, Anggi mencoba untuk membangunkannya tetapi Sherina tak kunjung bangun.
"Gimana nih?"
"Kita pergi aja yuk, gue gak mau malah kita yang kena masalah," ujar Selvy.
"Yuk, ntar juga dia bangun sendiri," kata Donna lalu pergi meninggalkan Sherina yang masih terbaring pingsan itu.
Beberapa saat sebelumnya, seorang pemuda memasuki kelas yang bukan wilayahnya, pemuda itu mencari seseorang yang ternyata tak terlihat di sana. "Lo liat Sherina gak?"
"Tadi gue liat dia jalan mau ke kamar mandi deh kayaknya," jawab seorang siswa.
"Thanks." Setelah mendapat informasi keberadaan gadis itu ia segera pergi menuju kamar mandi, ia pun melihat Donna dkk tengah berjalan terburu-buru keluar dari kamar mandi.
"Kalian liat Sherina gak?" tanya Alva pada ke empat gadis itu.
"Dia di ka~"
"Kantin," potong Donna menghentikan ucapan Anggi. Ada tatapan curiga yang dipancarkan oleh Alva.
"Kantin?"
"Iya, kantin."
"Oke, thanks." Pemuda itu berjalan memutar untuk menuju kantin seperti informasi yang di berikan Donna.
Donna menghela napas saat Alva percaya begitu saja ucapannya barusan, gadis itu beralih menatap tajam Anggi, "Lo tuh ya, mau kita kena masalah?"
"Sorry, Don."
Di tempat lain Rama yang baru saja menerima kabar tentang video Sherina yang di bully itu segera bergegas menuju kelas gadis itu, tetapi nihil gadis yang ia cari tidak terlihat di kelas itu. Beberapa kali ia bertanya pada teman-temannya tetapi tak ada yang mengetahui keberadaannya, sampai saat ia tak sengaja melewati kamar mandi perempuan yang tak jauh dari kelas Sherina, ia melihat sesuatu dari pintu yang terbuka sebagian. Tanpa ragu pemuda itu membukanya pintu kamar mandi dan mendapati Sherina yang tergeletak di lantai. Rama yang terkejut mencoba untuk membangunkan gadis itu tetapi tak sedikitpun ada respon, ia pun memutuskan untuk menggendongnya untuk membawa ke UKS.
Sepanjang perjalanan ia terus di pandangi karena menggendong Sherina yang tengah pingsan, ada yang memuji dan banyak pula yang berpikir buruk tentang Sherina tak terkecuali Donna. Setelah sampai di sana, Rama segera membaringkan gadis itu di brankar dan memanggil perawat sekolahnya untuk memeriksa keadaan gadis itu. Ia merasa aneh, kenapa bisa gadis itu pingsan di kamar mandi dengan keadaan penuh dengan keringat dan badannya pun cukup dingin.
"Gimana, Sus?"
"Dia enggak apa-apa, sepertinya hanya shok," ujar perawat itu, "kamu menemukannya di mana?"
"Dikamar mandi, Sus."
"Sepertinya dia terkena panic attack yang menyebabkannya pingsan," kata perawat itu dan berlalu pergi.
Rama berjalan mendekati tempat tidir Sherina, "Panic attack?"