"Waktunya untuk membuktikan bahwa diriku layak menjadi pasangan hidupmu," -Devananta Mavendra.
***
Mobil seorang Devananta Mavendra sudah memasuki kawasan perumahan elit. Perumahan yang ditinggali Anya dan keluarganya. Mobil Devan pun berhenti di depan pagar tinggi milik rumah mewah tersebut. Siapa lagi kalau bukan rumah Anya.
"Makasih pak tumpangannya. Saya permisi masuk kedalam dulu," ucap Anya dan segera keluar dari mobil Devan.
Tanpa Anya sadari, Devan mengunci pintu mobilnya secara otomatis. Sehingga dirinya tidak bisa membuka pintu mobil tersebut.
"Kok dikunci sih pak? saya keluaranya gimana?" kesal Anya.
"Kamu keluar bareng sama saya. Nanti biar saya yang jelasin ke orang tua kamu," jawab Devan.
"Saya bisa jelasin sendiri pak, saya bukan anak kecil," kesal Anya.
"Bagi saya kamu itu masih anak kecil. Sudah-sudah, ayo turun," ucap Devan.
Mereka berdua pun keluar dari mobil. Terlihat di teras, papa Anya sudah bersedekap dada sambil memicingkan mata ke arah Anya. Dirinya yang ditatap seperti itu pun hanya bisa menelan ludahnya dengan kasar.
"Gak usah takut. Ada saya yang akan bantu ngomong," ucap Devan seakan tau yang ada dipikiran Anya.
"Bapak ini cenayang ya?" tanya Anya.
"Pikir sendiri."
Devan pun meninggalkan Anya dan berjalan duluan menghampiri Papa Anya.
"Assalamualaikum om," ucap Devan sambil menyalimi tangan Fatih, Papa Anya.
"Waalaikumsallam, kamh Devan ya?" tanya Fatih sambil memicingkan matanya.
"Iya om. Kok om bisa tau?" tanya Devan bingung.
"Ya tau lah, kamu kan anak rekan kerja om. Ngomong-ngomong, kalian berdua kok bisa bareng?" tanya Devan bingung.
"Assalamualaikum pa," ucap Anya dan menyalimi tangan Devan.
"Waalaikumsallam. Muka kamu kok pucet Nya?" tanya Fatih.
"Anya gak papa kok pah, cuma kecapean aja habis kuliah," jawab Anya.
"Oh begitu, istitahat sana. Ajak nak Devan masuk juga," ucap Fatih.
"Eh gak usah om, Devan kesinu cuna mau ngantrrin Anya doang. Tadi habis dari rumah sakit," ucap Devan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Anya yang mendengar ucapan Devan pun memelototkan matanya ke arah Devan. Bisa-bisanya, dosen menyebalkan itu jujur dengan papa.
"YaAllah nak, kamu gak kenapa-napa kan?" tanya Fatih.
"Anya gak papa pah. Anya masuk dulu ya. Mari," ucap Anya dan segera berlalu dari teras dan masuk kedalam rumah.
"Devan, om berterim kasih banyak sama kamu. Coba kalau gak ada kamu nanti Anya bagaimana," ucap Fatih sambil menepuk bahu Devan.
"Santai aja om, kaya sama siapa aja," ucap Devan dengan kekehannya.
"Yaudah, Devan pulang dulu ya om. Takut dicariin sama bunda," sambung Devan.
"Hati-hati ya Dev. Kapan-kapan main kesini lagi, gak usah sungkan. Pintu rumah kami akan selalu terbuka buat kamu," ucap Fatih.
"Jangan dong om, nanti kalau ada maling gimana," ucap Devan sambil terkekeh.
"Kamu inu bisa aja," ucap Fatih.
"Assalamualaikum om," ucap Devan.
"Waalaikumsallam."
Devan pun berjalan menuju depan pintu gerbang dan segera masuk kedalam mobil. Sedangkan Fatih masuk kedalam rumah untuk mengecek keadaan sang putri.
Saat akan berjalan menuju lantai atas. Fatih bertemu dengan sang istri yang sedang membawa kopi untuk dirinya.
"Tadi ada siapa pa?" tanya Wulan, istri Fatih sekaligus Mama Anya.
"Oh tadi ada Devan. Kamu cek putri kamu sana, katanya tadi habis dari rumah sakit," ucap Fatih.
"YaAllah pah, kenapa gak bilang sih? terus sekarang keadaan Anga gimana pah?" heboh Wulan.
"Makannya aku suruh kamu cek putri kamu dikanarnya. Tanyain, nanti kalau masih gak enak badan, panggilin dokter suruh kerumah," ucap Fatih.
"Yaudah, nih kopinya. Mama mau cek putri mama dulu," ucap Wulan sambil memberikan secangkir kopi yang ada di tangannya ke Fatih.
"Wulan-Wulan, dari dulu kamu emang gak berubah ya," ucap Fatih sambil geleng-geleng kepala dan menyeruput kopi panasnya.
Wulan segera bergegas naik keatas dan berjalan menuju kamar sang putri.
Tok...tok...tok
"Anya, mama boleh masuk?" tanya Wulan dari luar.
"Ma-masuk aja mah, pintunya gak dikunci kok," jawab Anya dengan suara bergetar.
Wulan yang mendengar suara Anya bergetar pun segera masuk untuk mengecek keadaan sang putri. Dan ternyata, dugaan Wulan benar. Wajah Anya sekarang pucat pasi dan tubuhnya bergetar hebat. Hidungnya pun juga berwarna merah.
"Ya Allah Anya, muka kamu pucat banget. Ke rumah sakit sekarang ya? atau dipanggilin dokter?" tanya Wulan yang sudah panik.
"Gak usah mah, Anya cuma masuk angin biasa kok," ucap Anya dengan suara bergemetar.
"Biasa apanya itu Anya. Badan kamu juga panas ini, itu muka juga pucet. Kalau kamu gak mau ke rumah sakit sekarang. mama panggilin dokter ke rumah aja," ucap Wulan.
"Gak usah mah, tadu Anya juga udah dari rumah sakit dianterin sama dosen Anya. Nih udah di kasih vitamin," ucap Anya sambil memberikan vitaminnya tadi.
"ANYA! KAMU BISA GAK NURUT SAMA MAMA?" tegas Wulan dengan raut wajah yang sudah kelewat panik.
"Mama, kenapa teri--" ucap Fatih terpotong.
"Anya, kamu kenapa sayang," sambung Fatih fan berjalan mendekati sang putri dengan wajah panik.
"Tuh liat anak kamu, gak mau ke rumah sakit, gak mau dipanggilin dokter. Gimana mau sembuh," kesal Wulan.
"Anya sayang, putri papa-mama. Kalau kamu gak mau ke rumah sakit gak papa, tapi papa panggilin dokter ke ruma ya," ucap Fatih dengan sangat lembut sambil mengusap pipi kanan Anya.
"Tapi pah, Anya gak papa. Anya kuat kok," ucap Anya sambil tersenyum.
"Papa tau putri papa kuat. Tapi papa gak mau lihat muka kamu yang pucet kaya begini, papa mau lihat muka kamu ceria lagi sayang," ucap Fatih selembut.
"Yaudah deh terserah papa. Tapi inget! Anya gak mau disuntik," ucap Anya.
"Iya, gak akan kok sayang. Yaudah, papa telpon dokter dulu ya," ucap Fatih dan berlalu pergi dari kamar Anya.
"Mama kebawah dulu ya. Mama mau buatin kamu bubur saya teh anget, biar agak mendingan," ucap Wulan.
"Iya ma, makasih ya," ucap Anya sambil tersenyum.
"Sama-sama. Sekarang kamu tiduran terus pakai selimutnya, biar hangat. Get well soon sayang," ucap Wulan sambil mengecup kening Anya.
Setelah bujuk-membujuk agar Anya mau dipanggil kan dokter berhasil. Kamar Anya pun sepi lagi. Hanya ada Anya disana, dirinya pun kembali untuk tidur.
***
Mobil seorang Devananta Mavendra pun memasuki pekarangan rumahnya. Terlihat di teras sudah ada ayah dan bundanya yang sedang menunggu kepulangannya.
"Assalamualaikum ayah-bunda," ucap Devan dan menyalim tangan kedua orang tuanya.
"Waalaikumsallam, cepetan masuk sana, bersihin badan. Habis makan malam, ayah mau ngomong penting sama kamu," ucap Adit, ayah Devan.
"Baik yah, yaudah Devan masuk dulu ya yah-bun," ucap Devan sambil tersenyum.
"Jangan lupa nanti Sholat Maghrib berjamaah sayang," ucap Salwa, bunda Devan.
"Siap bunda."
Devan pun segera barjalan menuju kamarnya di lantai atas. Setelah masuk, Devan segera untuk mandi. Di bawah, ayah dan bunda Devan sedang berbicara. Terlihat dari wajahnya sangat serius.
"Ayah beneran mau jodohin Devan sama anak temen ayah?" tanya Salwa.
"Iya sayang, lagian umur Devan juga udah mapan terus anak temen ayah sebentar lagi juga lulus kuliah," jawab Adit menyankinkan sang istri.
"Bunda cuma takut Devan nolak," ucap Salwa.
"Insyaallah tidak bunda, nanti kita kasih tau wajah calon mantu kita. Ngomong-ngomong bunda setuju?" tanya Adit.
"Bunda sih setuju saja, dari mukanya kelihatan dia anak baik, cantik pula," ucap Salwa sambil tersenyum.
"Tapi satu yang bunda takutin, Devan sudah punya kekasih," sambung Salwa.
"Bunda, Devan itu gak punya kekasih. Bunda tau? Devan itu menganggumi salah satu mahasiswinya," ucap Adit sambil tersenyum.
"Benarkah? siapa yah?" tanya Salwa dengan antusias.
"Perempuan yang akan dijodohkan dengan Devan. Insyaallah deh, Devan gak akan mau nolak," ucap Adit dengan kekehan.
"Nah kalau begitu bunda tenang. Yaudah ayo masuk yah, mau maghrib," ucap Salwa.
"Siap bunda cantik."
Setelah mengobrol sebentar di luar, mereka berdua pun masuk kedalam rumah, karena sebentar lagi akan masuk waktu maghrib.
Next