"Ahh! Rey! Turunkan aku!" pekik Audy saking merasa terkejut.
"Tidak akan!" tolak Rey dengan nada dingin.
"Turunkan dia sekarang, Rey! Apa kau ingin terus mempermalukannya di depan semua orang?" seru Aland merasa kesal.
"Pergilah! Hal ini tidak ada hubungannya denganmu" usir Rey tegas.
"Tidak!" kekeh Aland.
Pemuda itu tidak suka melihat perlakuan kasar Rey terhadap saudara kembarnya. Sehingga ia mencoba menghalangi langkah sahabatnya tersebut. Namun, untuk menghindari kejadian atau bahaya yang tak diinginkan, Aland tidak berusaha merebut Audy dari tangan Rey. Walau ia mampu melakukannya. Bagi dirinya keselamatan Audy lebih penting dari apapun.
Di sisi lain, Rey terlihat tenang tanpa ekspresi. Ia berdiri tegap sambil memanggul tubuh Audy di atas bahu kirinya. Salah satu lengan membelit erat sepasang kaki jenjang milik kekasihnya tersebut. Karena merasa kesal diabaikan, ia sengaja membawa tubuh gadis itu seperti membopong sekarung beras.
"Rey, cepat turunkan aku! Kepalaku terasa pusing!" keluh Audy sambil menyentuh kepalanya.
Paras cantiknya memerah, karena seluruh darah terakumulasi pada kepala yang posisinya lebih rendah. Pandangan Audy memburam dan seiring waktu rasa pening melandanya. Rasa mual mulai terasa mengingat ia belum mengisi perutnya akibat pingsan tadi pagi. Kemudian Audy menggertakan gigi saking menahan emosinya pada Rey.
"Apa kau tidak mendengarnya? Turunkan dia sekarang, Rey!" seru Aland merasa cemas dan khawatir.
"Jika kau mengkhawatirkannya, Minggirlah!" tandas Rey dengan tegas.
"Baik! Aku kalah hari ini! Tolong... Turunkan dia!" pinta Aland, ia memilih menurunkan egonya demi sang adik.
"Tidak di sini!" sahut Rey cepat.
Salah satu lengannya yang bebas menjulur ke depan, bermaksud menggeser tubuh Aland ke samping. Setelah itu, tanpa menoleh ia bergegas pergi meninggalkan tempat tersebut, dengan diiringi ratusan pasang mata yang penasaran. Aland sendiri tercengang melihat kepergian Rey. Kemudian ia segera berlari mengikuti sahabatnya.
Akhirnya kerumunan itu membubarkan diri. Mereka memilih kembali ke ruangan kelas masing- masing dengan perasaan kecewa. Namun, masih ada seorang gadis yang tetap berdiri tegak di tengah lapangan. Kedua telapak tangannya terkepal erat hingga urat- urat nadi menonjol.
Tatapan tajamnya terus mengarah dimana sosok Rey dan Audy menghilang. Kebencian terlukis di kedua bola matanya. Perlahan hatinya mulai menghitam, karena isi pikirannya dipenuh dengan berbagai cara licik. Gadis itu semakin bertekad untuk segera menyingkirkan keberadaan Audy dari sisi pujaan hatinya.
"Turunkan aku! Aku bisa berjalan sendiri!" pinta Audy di sepanjang jalan.
Plak!
"Diam!" sahut Rey sambil menepuk bokong Audy.
"Ah! Memalukan!" keluh Audy dengan wajah sedih.
"Sekali lagi bersuara, aku tidak segan untuk menghukummu di sini." ancam Rey acuh tak acuh.
Audy langsung terdiam membisu mendengar perkataan Rey. Tak dapat dipungkiri wajahnya memerah menahan malu. Karena Rey menyentuh salah satu bagian tubuhnya. Rasanya saat itu juga ia ingin segera menyembunyikan dirinya ke dalam lubang kecil.
Rey terus melangkahkan kaki menuju salah satu ruangan di lantai tiga. Seolah tanpa beban ia mampu melewati anak tangga sambil memanggul tubuh Audy. Ia tidak memperdulikan puluhan pasang mata yang tengah mengamatinya dengan penasaran. Kejadian hari ini menjadi berita yang menggemparkan seluruh isi sekolah.
Nampak di kejauhan Aland kesulitan mengejar sahabatnya. Bulir keringat yang membentuk di pelipis, tengkuk, dan punggung mulai mengalir sampai membasahi seragam sekolahnya. Setiap tarikan nafasnya tidak teratur. Membuat Aland menyadari satu hal bahwa selama ini ia kurang berolahraga.
Disisi berlawanan, Marco dan Jason berlari menghampiri Aland. Kemudian ketiga pemuda itu segera menaiki anak tangga menuju ruang khusus yang di sediakan untuk the prince's. Hari itu secara kebetulan lift sekolah sedang diperbaiki sehingga tidak dapat dipergunakan. Mereka merasa sangat khawatir dan tak ingin melewatkan sedikitpun apa yang akan Rey lakukan pada Audy.
Akhirnya Rey berhasil melangkah kakinya sampai di lantai tiga gedung A tanpa kesulitan berarti. Kemudian ia terus berjalan ke arah kanan untuk menyusuri lorong. Tepat di sudut lorong terdapat sebuah pintu berwarna cokelat tua yang memiliki ukiran sangat rumit. Ketika Rey sampai di depan pintu tersebut, ia segera merogoh saku celana dengan salah satu tangannya.
Setelah berhasil meraih selembar cardlock, ia mengetuknya pada kotak sensor yang terdapat di bawah daun pintu. Tidak lama kemudian terdengar bunyi bip dan lampu sensor berubah menjadi hijau. Lalu Rey melangkah masuk ke dalam ruangan. Ia tidak perlu khawatir untuk menutup pintu, karena secara otomatis pintu akan terkunci dengan sendirinya.
Pemuda itu meletakkan tubuh ramping Audy di atas sebuah sofa. Lalu ia mendaratkan bokongnya pada tempat kosong yang ada di sebelah Audy. Melihat wajah cemberut sang kekasih, hati Rey perlahan melunak. Ia menjulurkan salah satu tangan ke samping untuk mengusap lembut surai indah milik Audy.
"Aku tidak sengaja membawamu masuk ke dalam masalahku, tetapi aku tidak menyesalinya. Mungkin cara seperti ini salah dan membuatmu merasa tak nyaman, aku hanya ingin... mereka mengetahui siapa kekasihku yang sebenarnya." terang Rey dengan jujur.
"Tetap saja aku tidak suka!" balas Audy sambil mengalihkan wajahnya kearah lain.
"Ketahuilah... Ini hanya permulaan untukmu, kuharap kau mampu bertahan karena bersamaku tidak akan mudah!" ungkap Rey.
"Jika aku tidak mampu, kau bisa melepaskanku." timpal Audy enteng.
"Bermimpilah! Aku tidak akan melepaskanmu! Bahkan ke neraka sekalipun aku pasti dapat menemukanmu dan akan mengikatmu, agar kau tidak bisa melarikan diri dari sisiku!" sumpah Rey tegas.
"Perkataanmu membuat bulu kudukku berdiri tegak!" cetus Audy sambil mengusap tengkuknya.
"Benarkah? Coba sini kuperiksa?" tanya Rey antusias.
"Tidak mau! Enyahlah!" sahut Audy cepat.
Gadis itu segera beranjak dari sofa yang ia tempati sebelumnya. Namun, baru berjalan selangkah, tubuhnya sudah lebih dulu tertangkap. Sebuah lengan kokoh milik Rey berhasil membelit erat perut Audy tepat waktu. Dengan sekali sentak tubuh mungil tersebut goyah dan jatuh di atas pangkuan Rey.
"Lepas Rey!" seru Audy.
"Tidak mau!" jawab Rey dengan tenang.
"Aish! Kau-" ucapan Audy terputus.
Sementara itu di luar ruangan...
"Sudah ketemu belum?" tanya Aland mulai cemas.
"Sebentar." jawab Jason sambil memasukkan salah satu tangannya ke dalam tas punggung untuk menemukan cardlock miliknya.
"Cepatlah!" celetuk Aland tidak sabar.
"Sabar bro! kenapa kau tidak menggunakan cardlock milikmu sendiri?!" sela Marco yang terlihat santai.
"Aku lupa membawanya! Dan mana kutahu Rey akan membawa Audy kemari?" kelit Aland.
"Ah! Ketemu!" ujar Jason merasa senang karena berhasil menemukan benda yang dicari.
"Syukurlah! Cepat buka pintunya!" balas Aland sambil tersenyum lega.
Tanpa menunda lebih lama Jason segera mengetuk cardlock yang ada dalam genggaman tangannya ke kotak sensor. Setelah bunyi bip terdengar, ketiga pemuda tersebut bergegas memasuki ruangan. Kemudian kedua mata Aland terbuka lebar saat melihat pemandangan di hadapannya. Namun, sebuah telapak tangan mencoba menghalangi penglihatannya.