Pra dan Devi duduk di sebuah kursi taman, di kursi tersebut terdapat juga seperti payung untuk membuat tidak kepanasan di saat siang hari. Terdapat juga bunga yang berwarna warni di sebelah kursi, yang terdapat tulisan, 'Dilarang Memetik'. Karena bunga juga mahluk hidup seperti manusia.
"Pra, udah sampai. Apa yang ingin kamu katakan?" desak Devi yang membuat Pra akhirnya mengerti untuk segera bercerita tentang masalahnya.
"Jadi, gini. Tadi aku kan lagi duduk di kursi sambil bermain gitar, nah pak Sul datang. Katanyaa..." Pra sengaja membuat Devi berpikir penasaran, karena Pra sendiri memang jahil orangnya.
"Katanya kenapa, Pra? Kok nggak di lanjutin lagi?" tanya Devi dengan menggoyang goyangkan tubuh Pra.
"Nah, aku di tawari kerja di pabrik sama beliau. Entah bagiannya di mana aku belum tahu, Dev"
"Terus kamu gimana? Mau menerima tawarannya?"
"Iyaa, aku mau. Baik banget kan pak Sul sama aku, udah di bolehin tinggal di rumahnya sejak aku kecil pula. Eh udah besar juga masih di cariin kerjaan, nggak enak kalo aku menolaknya" tukas Pra dengan memandangi keramaian di taman. Ada anak-anak yang sedang berlari kesana kemari, ada juga orang yang menawarkan dagangannya.
"Jadi, aku di suruh ke sini hanya untuk mendengarkan itu, Pra? Menurutku itu bukan suatu masalah, tadi kamu bilang masalah. Kan aku jadinya penasaran ingin mendengarkan dan segera tahu masalahnya" kata Devi, lalu ia berdiam sebentar.
"Kalau aku jadi kamu juga bakalan mau menerima tawarannya, Pra. Lagi pula kan kamu belum ada pengalaman apapun tentang dunia kerja. Ya namanya manusia kan harus mencoba sesuatu yang belum di ketahui, kan? Nggak ada salahnya juga, kalau di rasa tubuhmu atau apapun itu merasa nggak cocok di sana kamu boleh keluar" kata Devi dengan melihat wajah Pra yang terlihat gelisah.
"Tapi, kan emang kita harus bisa keluar dari zona nyaman? Kalo merasa nggak cocok itu memang mungkin belum terbiasa melakukan hal itu, Dec. Bagaimana?" Pra juga menatap wajah Devi, mereka berdua saling bertatapan.
"Betul kamu, Pra. Yang tahu kekuatan dirimu ya kamu sendiri, yang menjalani kerja juga kamu sendiri. Jadi, aku hanya bisa ngasih kamu semangat dan juga mungkin motivasi. Uangnya jangan lupa di tabung ya"
"Buatt?" tanya Pra penasaran.
"Buat masa depan kita, Pra." kata Devi sangat pelan, mungkin masih malu mengatakannya.
"Oh iya, ada satu hal lagi. Itu kerjanya hanya 4 bulan saja, Dev"
Devi kaget mendengarkan itu, kenapa kok hanya bekerja selama 4 bulan? Terus 8 bulannya ngapain?, "Hah? Kok gitu sih?"
"Kan itu pabrik gula, Dev. Jadi, tebu kan ada masanya untuk di tanam dan juga di panen, nah masa tebu di tanam itu waktunya kurang lebih 8 bulan, Dev. Maka, dari itu aku hanya kerja saat tebu itu di panen" jelas Pra, Devi mengangguk mengerti penjelasannya.
"Oalah, terus 8 bulannya kamu nggak kerja di sana?" tanya Devi yang belum puas mendengar penjelasan Pra.
"Enggak, tapi aku juga akan usaha nyari kerja di tempat lain untuk mengisi nganggur 8 bulan itu, Dev"
"Oalah begituu" Devi mengangguk paham sekarang, dan tidak menanyakannya lagi.
Mereka berdua menikmati suasana yang berada di taman. Sumilir angin malam membuat Devi tak tahan akan dingin, "Pra, dingin. Kita pulang aja yuk?"
Pra juga tidak mengenakan jaketnya juga langsung mengangguk ketika Devi merengek minta pulang, "Boleh, sekarang?"
"Ya sekarang to, Pra. Kan bilangku dingin sekarang, kamu gimana sih?"
Pra segera bangkit dari tempat duduknya, begitu pun dengan Devi. Tapi, pandangan Devi mengarah ke arah orang yang menjual manisan.
Pra yang melihat itu dan menatap wajah Devi yang terlihat sangat ingin membeli dan memakannya, "Mau beli?" kata Pra pelan.
"Enggak deh, nanti malah batuk"
"Kalau mau beli juga nggak papa, berdoa saja enggak batuk. Jadi, sebelum memakan mengucapkan doa terlebih dahulu..." ledek Pra.
Devi menanggapinya dengan serius, "Berdoanya gimana, Pra?"
"Hadeh, kok malah tanya berdoanya gimana sih? Kan gue cuman bercanda" batin Pra yang juga sedang memikirkan doanya.
"Pra? Kok bengong?" tanya Devi yang syok tiba-tiba Pra mematung.
"Begini doanya, 'Ya allah, aku memakan makanan dari hasil ciptaanmu. Semoga saja engkau berkenan tidak memberikanku penyakit' Nah, gitu doanya..."
Devi bingung, mau tertawa tapi takut menyinggung perasaan Pra. Alhasil dia juga seperti mematung untuk memikirkannya.
"Paham?" tanya Pra yang melihat Devi diam di tempat, "Apa kurang jelas? Kalo kurang jelas nanti di rumah aku tulis deh, jadi kamu bisa langsung baca sebelum makan manisannya"
"Boleh" jawab Devi singkat.
"Ya allah, kenapaa dia selalu mengucapkan boleh? Padahal aku hanya bersendau gurau saja, kalo gini aku juga yang bakalan repot" batin Pra yang terus menerus beradu dengan pikirannya sendiri.
"Yaudah, ayo beli dulu. Kamu juga mau, Pra?" tawar Devi dengan senyum di wajahnya.
"Nggak ah, aku lagi mengurangi makanan manis" itu adalah alasan Pra agar uang yang di kantongnya cukup untuk membeli. Karena Pra sendiri juga belum tahu harga 1 manisan itu berapa.
"Nanti kamu gak boleh nyesel lho, soalnya nggak boleh nyicip punyaku" kata Devi.
Pra menelan ludahnya sendiri, tak apalah demi kekasihnya senang ia rela hanya melihatnya saja.
Mereka berdua mulai berjalan menuju orang yang menawarkan manisan itu, tanpa pikir panjang Devi langsung memesannya. Tanpa di duga-duga Pra sebelumnya, Devi ternyata memesan 2 manisan dan membayarnya memakai uangnya sendiri.
Pra mulai panik ketika tau Devi memesan 2 tapi tidak tahu kalo yang ingin membayar Devi, "Lho, kok pesan 2? Kan aku sudah bilang enggak"
"Iya, mikirlah Pra. Mana tega aku makan, tetapi kamunya enggak" jawab Devi dengan tegas, tegasnya sampai membuat Pra panik dan kebingungan ketika mau membayarnya.
"T-tapii...."
"Tapi apa, Pra?"
Pra menghela napas gusar, dan mencoba berkata jujur ke Devi, "Dev, aku jujur hanya membawa uang 10 ribu. Nyuruh kamu memesan 1 itu tujuannya agar uangnya pas, kalo 2 gini kurang bagaimana?"
"Udah, kali ini aku yang traktir. Nanti kalo kamu udah dapat gaji dari kerja, baru traktir aku"
Seketika panik Pra mulai menghilang, ia sangat beruntung mendapatkan kekasih seperti Devi ini. Dulu Pra mengenal Devi hanya lewat temannya, ketika melihat Devi pertama kalinya Pra mulai tertarik dan mencoba mengajaknya berkenalan. Perkiraan Pra salah, ia mengira Devi yang cuek, judes, dan juga galak sirna begitu saja ketika Devi juga menyalami tangan Pra.
Ketika mengingat moment itu Pra selalu berdegup kencang hatinya, karena juga baru pertama kalinya berkenalan dengan cewek. Pra enggan berkenalan dengan cewek karena, pertama wajahnya jelek, dan yang kedua karena Pra tidak mempunyai uang yang banyak. Dari sana Pra selalu merasa minder kalau di tolak.