Chereads / Pendekar Pedang Pencabut Nyawa / Chapter 15 - Kemunculan Pendekar Pedang Pencabut Nyawa

Chapter 15 - Kemunculan Pendekar Pedang Pencabut Nyawa

Jurus Ular Membelit Pohon Beringin yang dikenal dengan jurus golok dahsyat sudah dikeluarkan. Golok itu mendadak berputar-putar lalu secara tiba-tiba bisa melancarkan serangan berupa tusukan yang tiada taranya.

Gerakannya sangat cepat. Jauh kebih cepat dari apa yang telah kau bayangkan sebelumnya.

Pertarungan antara suadara seperguan itu semakin memanas. Jurus-jurus yang mereka miliki merupakan jurus yang sudah dikenal olehnya masing-masing. Oleh sebab itulah, setiap jurus yang keluar adalah jurus yang dikhususkan untuk saling melengkapi satu sama lainnya.

Hal ini menjadikan pertarungan itu berjalan lebih seru lagi.

Lewat dua puluh lima jurus, Ki Jaya tidak bisa tinggal diam saja. Awalnya dia mencoba untuk menahan amarahnya agar tidak membabi buta, dia beranggapan kalau si Golok Ular tidak akan tega membunuhnya.

Tapi sungguh tak disangka, ternyata saudaranya itu benar-benar ingin melakukannya.

Wushh!!!

Jurus pamungkas milik Ki Jaya dikeluarkan lagi. Jurus yang sekarang jauh lebih hebat, malah lebih dahsyat dari jurus-jurus yang sudah dia keluarkan pada saat melawan si Cambuk Maut sebelumnya.

Golok di tangannya tiba-tiba mengeluarkan hawa teramat panas. Sekilas pandang, senjata pusaka itu seperti berubah warna menjadi merah membara.

Hawa kematian mendadak menyelimuti seluruh tubuhnya. Agaknya orang tua itu sudah nekad akan mengeluarkan seluruh kemampuannya.

"Golok Api Membakar Setan …" teriaknya dengan lantang.

Wushh!!! Wushh!!!

Cahaya merah membara bergerak ke sana kemari seperti lidah petir yang menyambar-nyambar di tengah malam. Cepat dan mengerikannya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Posisi seketika langsung berbalik. Si Golok Ular mulai terlihat terdesak dan kewalahan oleh semua serangan yang dilancarkan oleh Ki Jaya. Beberapa kali tubuhnya hampir menjadi korban keganasan dari jurus Golok Api Membakar Setan itu.

Untunglah ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tahap sempurna, sehingga dia berhasil selamat dari maut untuk sementara ini.

Gempuran Ki Jaya semakin hebat. Keadaan di sekitar arena pertarungan berubah drastis. Sekarang pertempuran itu dikuasai oleh si Golok Terbang. Pusaka tersebut terus melayang di udara lalu memberikan hujan serangan yang tiada hentinya.

Si Golok Ular kaget bukan kepalang. Dia tidak tahu kalau Ki Jaya ternyata berhasil menguasai sebuah ilmu yang tidak diketahui olehnya.

Selama menjadi saudara seperguruan, dia sangat tahu sampai di mana kemampuannya. Tak nyanya, setelah sekian lama tidak bertemu, dan kini berjumpa kembali, ternyata kekuatannya sudah meningkat pesat.

Bahkan semua jurus yang dimilikinya berhasil dikuasai dengan sempurna.

"Mau sampai kapan kau menjadi penonton tak berguna?" teriak Golok Ular kepada Cambuk Maut di tengah gempuran serangan lawan.

Si Cambuk Maut terkejut, dia baru menyadari kalau posisi rekannya itu sudah berada di ujung tanduk. Nyawanya terancam. Dan pada saat itulah, dirinya langsung menerjang masuk ke arena pertempuran.

Tarr!!! Tarr!!!

Suara cambuk yang dipecutkan di tengah udara begitu menggelegar. Alam mayapada seakan dibuat berubah oleh suara menyeramkan itu.

Liukan cambuk terus menjulur ke depan mengincar titik penting di tubuh Ki Jaya.

Tanpa tanggung, dia langsung mengeluarkan jurus cambuknya yang paling hebat.

"Cambuk Melecut Mengeringkan Lautan …"

Tarr!!!

Hawa kematian keluar dari ujung cambuk. Serangannya bertambah ganas dan hebat. Pada saat itu, si Golok Ular pun mengeluarkan jurus rahasianya juga.

"Golok Sakti Membelah Bumi …"

Wutt!!!

Sambaran golok sangat keras dan bertenaga. Permainan senjatanya mendadak berubah. Jauh lebuh cepat dan dahsyat daripada sebelumnya.

Dua orang tokoh dunia persilatan itu semakin gencar menyerang Ki Jaya. Sekarang jalan keluar orang tua tersebut sudah tertutup rapat. Sedikitpun tiada celah untuknya melepaskan diri.

Pada saat demikian, sesuatu diluar dugaan semua orang terjadi.

Wushh!!!

Hawa sakti tiba-tiba melesat dari sisi sebelah kiri dalam kecepatan tinggi. Ketiganya tidak pernah menyangka akan hal ini.

Blarr!!!

Hawa sakti tadi membentur dua batang pohon besar hingga hancur berantakan. Kiranya sebelum serangan mendadak itu tiba, ternyata ketiga orang tersebut telah melompat mundur ke belakang hampir secara bersamaan.

Akibatnya pertarungan hebat itu langsung berhenti. Ketiga tokoh tua tersebut saling pandang satu sama lain. Semuanya merasa bingung siapakah pelaku yang sudah menyerangnya barusan.

Wushh!!!

Segulung angin cukup kencang berhembus. Debu mengepul tinggi sehingga menutupi pandangan semua orang.

Begitu debu tersebut lenyap terbawa angin, di tengah-tengah mereka ternyata sudah berdiri seseorang. Seorang pria tampan yang usianya masih teramat muda. Mungkin baru sekitar dua puluh dua sampai dua puluh tiga tahunan.

Raka Kamandaka.

Ya, orang yang melakukannya memang dia. Sang Pendekar Pedang Pencabut Nyawa.

Saat ini pemuda tersebut masih berdiri dengan tenang. Dia tidak bicara sepatah katapun. Pakaiannya yang serba putih itu berkibar tertiup angin senja. Rambutnya yang panjang riap-riapan. Sepasang matanya memandang jauh ke depan sana.

"Ka-kau …" kata Ki Jaya sambil terbelalak kaget karena tidak menyangka akan kedatangannya.

"Ya, ini aku Ki. Jangan kaget, aku datang untuk membantumu," katanya dengan suara tenang dan kalem.

Ki Jaya menghela nafas sambil tertawa dipaksakan. Dia merasa senang karena akan mendapat bantuan darinya. Namun dia juga merasa kaget, kenapa pemuda itu bisa tahu kalau dirinya ada di sini?

Sementara itu, si Cambuk Maut dan si Golok Ular mengerutkan keningnya sambil memandangi pemuda serba putih itu. Kedua orang tua tersebut merasa tidak asing dengan pemuda di hadapannya saat ini.

Hanya saja setelah diingat beberapa lama pun, mereka tetap tidak mengetahui dengan jelas siapakah pemuda serba putih itu.

"Heh bocah tengik, mau apa kau kemari?" tanya si Cambuk Maut.

Suaranya kereng. Sorot matanya juga menampilkan kemarah yang tiada terkira.

"Mau apa lagi? Tentunya aku mau membantu Ki Jaya menghadapi kalian berdua," jawab Raka dengan enteng.

Si Cambuk Maut tersenyum dingin. Di matanya, pemuda itu tidak ada apa-apanya. Malahan dia menduga kalau ucapan Raka hanyalah isapan jempol belaka.

"Kau jangan membual. Lebih baik lekas pergi dari sini sebelum kesabaranku habis,"

"Aku tidak akan pergi sebelum masalah ini selesai,"

"Masalah ini baru akan selesai jika sudah ada korban yang jatuh,"

"Aku tahu. Dan korban yang dimaksud bukan lain adalah kalian sendiri,"

"Bangsat. Kau pikir kau siapa heh?"

Amarah si Cambuk Maut kembali berkobar dengan hebat. Sekali tangan kanannya bergerak, cambuk pusaka miliknya langsung dipecutkan lagi ke depan.

Segulung angin berhembus kencang menerjang ke arah Raka Kamandaka. Hanya sesaat saja cambuk itu telah tiba. Arah sasarannya adalah leher. Sepertinya dia berniat untuk membelit Pendekar Pedang Pencabut Nyawa.

Crapp!!!

Gerakan cambuk mendadak terhenti sebelum pusaka itu mengenai sasarannya. Tangan kiri Raka Kamandaka ternyata sudah berhasil memegangnya.

Si Cambuk Maut tersentak kaget. Dia tidak pernah menyangka dengan kejadian ini. Orang itu berusaha menarik cambuknya dengan sekuat tenaga.

Tapi sayang sekali, hasilnya nihil. Cambuk itu tidak tertarik sama sekali. Sekalinya tertarik, tubuhnya lantas terjengkang ke belakang.