Chereads / Pendekar Pedang Pencabut Nyawa / Chapter 14 - Saudara Seperguruan

Chapter 14 - Saudara Seperguruan

Tapi meskipun benar dia selalu selamat dari maut, tak urung nyalinya dibuat ciut juga. Bagaimanapun, dia adalah seorang manusia biasa. Dan selaku manusia, pasti mempunyai rasa takut.

Rasa takut adalah perasaan yang sudah dikodratkan bagi setiap makhluk ciptaan Sang Hyang Widhi. Siapapun orangnya, pasti dia mempunyai ketakutan meskipun sedikit.

Bohong kalau ada orang yang tidak punya rasa takut.

Si Golok Terbang masih memainkan Jurus Golok Terbang di Angkasa. Semakin lama jurus itu digunakan, semakin mengerikan juga setiap gempuran serangannya.

Cambuk Maut semakin terdesak. Pertarungan mereka sudah berjalan puluhan jurus. Menurut perkiraan, sekitar sepuluh sampai lima belas jurus lagi, si Cambuk Maut pasti bakal tumbang jika dirinya terus berada di posisi seperti sekarang.

"Hiatt …"

"Golok Menyambar Rembulan di Tengah Malam …"

Wutt!!! Wutt!!!

Gerakan si Golok Terbang mendadak berubah hebat. Goloknya berputar menyambar-nyambar semakin dahsyat. Golok itu seperti lidah halilintar menyambar di tengah malam. Sangat cepat. Dan sangat menakutkan.

Pada saat demikian, tiba-tiba saja ada segulung angin dahsyat yang menyambar dari arah sebelah kanan. Kecepatannya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Blarrr!!

Ledakan terdengar keras. Tiga jurus hebat berbenturan dalam waktu yang tidak pernah diduga sebelumnya. Baik si Golok Terbang Maupun si Golok Maut sama-sama terdorong mundur masing-masing empat langkah ke belakang.

Belum tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, seseorang telah menyerang si Golok Terbang dengan hebatnya.

Wutt!!! Wutt!!!

Cahaya putih keperakan menari-di tengah udara hampa. Hawa panas terasa membakar kulit. Angin serangannya amat tajam bagaikan sayatan pedang.

Ki Jaya atau si Golok Terbang tidak sempat melihat siapakah orang yang telah menyerangnya. Sebagai seorang pendekar, dia tidak ambil perduli. Siapapun dia, kalau berani mengancam jiwanya, maka dia bakal membunuhnya.

Trangg!!!

Benturan antar senjata tajam terdengar amat nyaring. Bunga api memercik melayang di udara lalu lenyap tertiup oleh angin senja.

Pertarungan mereka berhenti sesaat. Sekarang di sana sudah bertambah lagi satu orang.

Ki Jaya tersentak. Tanpa sadar siapun mundur satu langkah ke belakang. Dia kaget karena tidak menyangka kalau yang hadir di sana adalah orang itu.

Angin senja berhembus mengibarkan pakaian tiga orang tokoh tua yang ada di tempat tersebut. Rasa dingin laksana mata golok, sangat tajam menusuk tulang.

Suasana di sekitar mendadak sepi sunyi. Kicau burung dan suara binatang lainnya tak terdengar lagi. Hawa mendadak berubah. Nafsu membunuh terasa kental.

"Kiranya kau yang datang," kata Ki Jaya sambil menghela nafas.

"Apakah kau tidak menyangka kalau aku akan datang?" tanya orang tersebut.

"Sama sekali tidak. Ternyata kau tidak pernah berubah," keluh si Golok Terbang.

"Golok Ular tetaplah Golok Ular. Belum berubah dan tidak bakal berubah," jawab orang tersebut.

Yang datang memang dirinya. Si Golok Ular. Seorang tokoh tua yang dimintai pertolongan oleh si Cambuk Maut pada saat mereka berada di dekat kuburan Aki Uli, si Pendekar Tapak Bara.

Setelah bicara beberapa patah kata, akhirnya kedua orang tua itu langsung diam kembali. Mereka saling tatap sekejap. Hanya saja dari tatapan mata itu seperti mengandung makna tersendiri.

Sebenarnya, makna apa yang terkandung dalam tatapan dua pasang mata itu?

"Apakah kalian sebelumnya sudah saling kenal?" tanya si Cambuk Maut sambil memandangi dua orang itu secara bergantian.

Baik si Golok Terbang maupun si Golok Ular, keduanya masih terdiam. Mereka tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Seolah ada sesuatu hal yang memang sedang disembunyikan.

"Kau saja yang menjawab," kata si Golok Ular kepada Ki Jaya.

"Baiklah,"

Ki Jaya menghela nafas berat. Setelah menghembuskannya beberapa kali, barulah orang tua itu mulai bicara.

"Bukan saja sudah saling kenal, bahkan sejak dulu kami sudah sering bersama. Berlatih bersama, melewati suka dan duka bersama, malah mengembara bersama pula," kata Ki Jaya menjawab pertanyaan si Cambuk Maut.

Orang itu mengerut kening. Kenapa mereka seperti sangat dekat? Apakah mereka mempunyai suatu hubungan yang istimewa?

"Apakah kalian seorang teman, atau sahabat?"

"Bukan. Bahkan lebih daripada itu,"

"Lalu apa? Katakan dengan jelas!!!" kata si Cambuk Kilat sedikit membentak.

"Sebenarnya, kami adalah saudara seperguruan. Hanya saja karena suatu persoalan, terpaksa kami berpisah lalu memilih jalan yang saling berlawanan. Dadi yang tadinya dekat seperti urat nadi leher, sekarang malah sangat jauh ibarat langit dan bumi," jelas Ki Jaya.

Nada suaranya dalam. Dalam ucapan itu seperti ada penyesalan yang tiada terkira. Entah sebenarnya apa, siapapun tidak ada yang mengetahuinya secara pasti.

Sebaliknya, si Cambuk Maut justru malah merasa gembira. Wajahnya mendadak bersinar cerah, secerah cahaya mentari di pagi hari.

"Hahaha …, kalau begitu bagus lah. Dua saudara seperguruan yang dulunya selalu bersama, sekarang malah berpisah. Aku sangat yakin kalau di antara kalian pasti mempunyai sebuah dendam kesumat sedalam lautan. Kalau begitu, kenapa tidak segera selesaikan saja dendam kalian itu? Sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk melakukannya," ujar si Cambuk Maut memanas-manasi dua orang tua tersebut.

Suaranya bagaikan Raja iblis yang bicara di depan anak buahnya. Dia amat senang. Malah rasa senang itu tidak bisa diibaratkan dengan kata-kata.

"Memang benar. Bahkan alasan kenapa aku sangat semangat ingin membantuku adalah karena hal itu. Dendam di antara kita sudah cukup lama dipendam. Oleh karena itulah, saat ini aku ingin menuntaskannya hingga ke akar," tegas si Golok Ular.

Suaranya kereng. Persis seperti seekor banteng yang sedang menahan amarahnya.

"Apakah kau yakin ingin menuntaskan masalah di antara lewat sebuah pertarungan?" tanya Ki Jaya dengan serius.

"Kenapa tidak? Selain pertarungan, kau pikir ada sesuatu yang pantas untuk menuntaskannya?"

"Baik, baik sekali. Kalau begitu silahkan kita selesaikan sekarang juga," tegas Ki Jaya.

Emosinya terpancing juga. Sebagai seorang manusia, sudah pasti dirinya bisa marah.

Sesabar dan setabah apapun seseorang, selama dia masih merupakan manusia, maka orang itu pasti bisa marah. Hal ini tidak perlu diragukan lagi, sebab merupakan sebuah kepastian.

Wushh!!! Wushh!!!

Dua bayangan manusia tiba-tiba melesat dengan sangat cepat dari arah yang berlawanan. Keduanya tampak bersemangat sekali.

Demi membereskan sebuah dendam, benarkah seseorang selalu mempunyai semangat yang sangat tinggi seperti itu?

Trangg!!!

Bunga api memercik tinggi ke atas. Dua golok yang sama tajam dan sama istimewa telah beradu dengan kerasnya. Tubuh si Golok Terbang dan si Golok Ular juga sama-sama bergetar dibuatnya.

Wutt!!!

Angin kencang berhembus. Bertepatan pada saat itu, keduanya mundur beberapa langkah ke belakang.

Setelah itu, dua orang saudara seperguruan itu langsung melancarkan serangannya secara bersamaan.

Si Golok Ular mulai memainkan jurus-jurusnya yang lincah dan cepat. Golok yang amat keras itu seperti mendadak lemas layaknya sebuah tali yang serba guna.