Ajeng masih betah menunggu Leo datang, meskipun sudah satu jam lamanya, Ajeng tetap berpikir positif pada Leo. Ajeng berpikir bahwa Leo pasti ada urusan sebentar makanya datang terlambat.
Dua jam sudah wanita itu menunggu tapi tetap saja Leo tak kunjung datang. Ajeng mulai gelisah, bukan marah, melainkan dia khawatir dengan Leo, takut terjadi sesuatu dengan pria itu.
Terdengar suara bel pintu, Ajeng tersenyum tipis, sudah dia duga pasti Leo akan datang walaupun terlambat.
Ajeng membuka pintu tersebut, namun sayangnya bukan pria yang dia tunggu yang datang. Ajeng kecewa.
"Nih, aku bawakan makan siang untukmu," ucap Kenzo sambil menyodorkan makanan.
Ajeng menerima makanan itu dengan berat hati, tak lupa juga Ajeng tersenyum walaupun agak terpaksa.
"Terima kasih," jawab Ajeng.
"Sama-sama."
Kenzo duduk dikursi yang ada di teras rumah Ajeng. Pria itu memijit pelipisnya seraya memejamkan matanya. Sepertinya Kenzo tampak kelelahan.
Ajeng menatap Kenzo iba.
"Kamu kenapa?" tanya Ajeng pelan.
Kenzo menghela napas panjang.
"Lagi ada masalah di kantor, hari ini aku sibuk banget ngurusin masalah itu," jelas Kenzo dengan mata terpejam.
Ajeng kira Kenzo tidak akan memberitahukan masalah yang sedang dihadapi oleh pria itu. Menurutnya, Kenzo adalah sosok yang terbuka.
"Terus masalah udah kelar?" tanya Ajeng.
Kenzo menggeleng pelan. "Belum, orangnya kabur. Tapi tenang saja, masalah ini akan beres karena aku punya banyak mata-mata."
Ajeng mengangguk paham.
"Enak ya jadi orang kaya," celetuk Ajeng. "Kita bebas mau ngapain aja, nggak harus capek-capek kerja," lanjut wanita itu.
Kenzo membuka matanya, dia menatap Ajeng cukup lama.
"Jadi orang kaya itu nggak enak, Ajeng. Kita tidak boleh gegabah mengambil keputusan, kalau aja sampai salah sedikit saja, uang akan melayang, makanya jadi pebisnis itu harus pintar-pintar dengan koleganya. Kadang kita bisa saja tertipu dengan tampangnya, terlihat baik namun sebenarnya hatinya licik."
Ajeng terpaku. Dia terpesona ketika mendengar Kenzo menjelaskan sesuatu yang Ajeng tak paham maksudnya apa.
Kalau dilihat seperti ini Kenzo terlihat lebih keren.
"Kamu keren banget sih, masih muda tapi udah jadi Bos. Padahal kita dulu satu sekolah. Tapi nggak tau juga kan, namanya juga nasib, ada yang beruntung ada juga yang nggak."
Kenzo tersenyum tipis mendengar celotehan Ajeng. Seandainya saja Ajeng kekasihnya, Kenzo sudah mencubit bibir mungil wanita itu, Kenzo benar-benar gemas ketika melihat wanita itu berceloteh, menurutnya sangat lucu.
"Ayo dimakan makanannya, nanti keburu dingin," ucap Kenzo untuk mengalihkan pembicaraan.
"Kamu sudah makan?" tanya Ajeng.
Kenzo menatap Ajeng, kemudian menggeleng pelan.
"Ya udah, kita makan sama-sama. Kebetulan aku juga laper banget," ucap Ajeng sambil melangkah menuju kursi kosong di dekat Kenzo.
"Kenapa nggak makan?"
Ajeng menghela napas. "Ada yang janji bawain aku makanan, tapi orangnya nggak datang-datang sampe sekarang. Untung aja kamu datang bawain makanan, jadi nggak jadi kelaperan deh.
Kenzo tahu siapa orang yang dimaksud oleh Ajeng. Tapi dia tak ingin ambil pusing, seperti ini malah bagus untuknya. Ini adalah kesempatan besar untuk mendekati wanita yang dia cintai.
"Selingkuh kali," celetuk Kenzo, membuat mulut Ajeng berhenti mengunyah.
Sejujurnya Ajeng tak pernah berpikir ke sana, dia percaya dengan Leo.
Ajeng menanggapi Kenzo hanya dengan senyuman tipis. Dia tidak akan terpengaruh dengan kata-kata Kenzo walau sebenarnya dia juga ragu akan hal itu.
Diam-diam Kenzo melihat Ajeng yang sedang tampak melamun, pria itu tersenyum licik.
'Sebentar lagi, Kenzo,' batin Kenzo sambil tersenyum menyeringai.
Ajeng makan dengan lahap, tak lupa juga dia menyuapi Kenzo. Kenzo berharap waktu bisa diperlambat untuk hari ini, karena menurutnya ini adalah momen yang sangat langka.
***
"Kamu kenapa sih ngelamun terus?" tanya Rani heran.
"Siapa yang ngelamun sih, aku lagi fokus kerja kok," kilah Ajeng.
Rani memutar bola matanya malas.
"Aku bisa bedakan yang mana fokus dan yang mana tatapan kosong. Kamu lagi mikirin apa sih?" tanya Rani.
Ajeng menghela napas berat.
"Nggak ada yang aku pikirkan, Rani. Udah sana, lanjut kerja lagi. Nanti ditegur sama Bos, kamu mau dapat sp?" tanya Ajeng untuk menakut-nakuti Rani.
Rani mendelik tajam karena tak mendapat jawaban dari Ajeng, Rani pun kembali ke bagian kasir.
Ajeng bernapas lega ketika Rani sudah tak ada lagi di dekatnya. Hari ini moodnya benar-benar sangat buruk, semua itu karena Leo. Kenapa pria itu bisa melupakan janjinya. Baru kali ini Leo seperti itu, biasanya pria itu akan datang tepat waktu.
"Kenapa bisa?"
"Bagaimana mungkin?"
Kalimat itu selalu Ajeng gumamkan berkali-kali.
"Tuh kan ngelamun lagi, ini udah waktunya jam istirahat, yuk kita cari makan."
Lamunan Ajeng buyar karena suara Rani, Ajeng tersenyum kaku.
"Yuk," ajak Ajeng.
"Kita ke mana nih?" ajak Ajeng.
"Makan bakso aja yuk. Cuacanya cerah, kayaknya cocok deh makan yang panas campur pedas."
Ucapan Rani membuat Ajeng tersenyum kecut, Rani mengingatkan kegundahan hati Ajeng.
"Terserah kamu aja deh. Aku ngikut aja."
Ajeng dan Rani berjalan menuju penjual bakso.
"Bang, pesan bakso dua porsi ya," ujar Rani.
"Siap, Mbak. Minumnya apa nih?"
Rani menoleh ke arah Ajeng.
"Es jeruk," ucap Ajeng.
"Saya es teh, Bang," kata Rani.
"Oke, ditunggu ya."
Mereka berdua pun duduk dibangku yang sudah disediakan. Rani menatap Ajeng cukup lama.
"Kamu kenapa sih, kok hari ini beda banget."
Ajeng menghela napas. "Aku tuh sebel banget sama Leo, masa dia ngelupain janji. Kan aku jadi bete," sungut Ajeng.
Mata Rani melebar, dia baru ingat kalau semalam dia melihat Leo sedang jalan dengan wanita yang tak dia kenal. Rani menatap Ajeng ragu, haruskah Rani memberitahukan tentang Leo pada Ajeng.
"Ajeng," panggil Rani.
"Apa," jawab Ajeng cuek.
"Kemarin aku lihat Leo jalan sama wanita lain," kata Rani lirih.
Ajeng menatap Rani dengan tajam. "Jangan membual," sahut Ajeng malas.
"Serius, memangnya aku pernah bohong sama kamu."
Pikiran Ajeng sudah tidak tenang, mungkinkah Leo berkhianat padanya. Untuk memutuskan benar atau tidak, Ajeng memutuskan untuk mendatangi rumah Leo. Hari ini Leo libur bekerja, pasti Leo sedang ada di rumahnya.
Ajeng berdiri dari duduknya, lalu pergi meninggalkan Rani yang sedang meneriakinya.
Ajeng melajukan motornya dengan kecepatan sedang, hatinya berdoa semoga apa yang diucapkan Rani itu salah.
Kini Ajeng sudah berada di depan rumah Leo, Ajeng menekan tombol bel itu berkali-kali. Hingga seseorang muncul dari balik pintu.
Ajeng menahan napas ketika melihat seorang wanita cantik yang membuka pintu. Ajeng menatap wanita itu dari atas sampai bawah. Wanita itu terlihat sangat seksi.
"Cari siapa ya?" tanya wanita itu.
Ajeng bungkam, mata wanita itu berkaca-kaca.
Bersambung.