Chereads / Obsesi Cinta / Chapter 10 - Leo Diculik

Chapter 10 - Leo Diculik

"Permisi, Mbak. Mbak dipanggil sama seseorang tuh di luar. Katanya penting," ucap Lara, teman kerja Ajeng.

Ajeng mengernyit heran.

"Siapa?" tanya Ajeng.

Lara mengedikkan bahunya, "nggak tahu, katanya mau ketemu sama Mbak, penting banget."

"Aku lagi kerja, bisa dimarahin sama Bos kalau keluar tanpa izin," tutur Ajeng.

"Temuin aja sebentar," usul Rani.

"Gimana sama kerjaan aku?"

"Gampang, nanti aku yang ngurus, cepat sana," usir Rani.

Ajeng mencebikkan bibirnya kesal, mau tak mau dia pun melangkah menuju ke luar Caffe tersebut.

Kepala Ajeng celingukan ke sana ke mari untuk mencari siapa yang tengah mencarinya tadi.

"Mana sih orangnya, jangan-jangan Lara bohongin aku. Kampret tuh anak, berani-beraninya ngerjain aku," omel Ajeng.

Ketika Ajeng sudah berbalik, bahunya ditepuk oleh seseorang. Ajeng refleks menengok ke belakang.

"Siapa ya?" tanya Ajeng, pasalnya dia tak mengenali sosok pria yang ada di hadapannya.

"Nona Ajeng ya?" tanya pria itu.

"Nona?" gumam Ajeng pelan, kemudian dia tertawa.

"Nama saya Ajeng, nggak ada Nona," koreksi Ajeng.

Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Iya, maksud saya seperti itu."

"Kamu yang tadi mencariku?" tanya Ajeng.

Pria itu menganggukkan kepalanya.

"Ada apa ya, perasaan saya nggak kenal sama situ, kenapa mencari saya?" tanya Ajeng heran.

"Sebenarnya bukan saya yang mencari anda, tapi saya disuruh oleh seseorang untuk menemui anda," jawab pria itu.

"Seseorang? Siapa?" tanya Ajeng bingung.

"Leo," jawab pria itu cepat.

Mata Ajeng membulat. "Leo? Ada apa dengannya? Apa terjadi sesuatu?" tanya Ajeng, seketika dia menjadi panik.

"Iya, terjadi sesuatu dengannya, maka dari itu mari ikut saya."

"Tunggu dulu, aku harus menghubunginya untuk memastikan keadaannya seperti apa," kata Ajeng sambil memegang ponsel untuk menelpon Leo.

"Jangan! Lebih baik tidak usah dihubungi, nanti akan memakan waktu, dan kita akan kehilangan waktu itu," kata pria itu dengan raut wajah panik.

"Terus gimana dong, memangnya apa yang terjadi pada Leo, kenapa kamu nggak jujur aja," kata Ajeng mulai kesal.

"Sebaiknya anda ikut dengan saya."

Ajeng sedikit ragu untuk ikut dengan pria yang tak dikenalnya. Dia takut pria itu akan berbuat macam-macam padanya.

"Tapi--"

"Anda tidak kasihan dengan Leo?" pria itu memotong ucapan Ajeng.

"Ayo, di mana Leo sekarang," putus Ajeng.

Mendengar jawaban Ajeng, pria itu tersenyum menyeringai.

'Rencana berhasil.'

"Mari ikut saya naik mobil itu," ucap pria itu sambil menunjukkan mobil yang menurut Ajeng sangat mewah.

Tanpa berpikir panjang, Ajeng pun bergegas menuju mobil tersebut. Pria itu pun mengambil ponsel disakunya untuk menghubungi seseorang.

"Rencana kita berhasil, Bos."

"Bagus, lanjutkan sesuai rencana," ucap seseorang dari seberang sana.

Sambungan telepon pun terputus, pria itu pun menyusul Ajeng masuk ke mobil.

Selama perjalanan berlangsung, tak ada obrolan diantara mereka, Ajeng diam membisu, begitu pula pria yang ada di sebelahnya.

Yang ada dipikiran Ajeng sekarang adalah bagaimana kondisi Leo saat ini. Padahal tadi pagi ketika Leo menjemput Ajeng, Leo terlihat baik-baik saja.

Karena terlalu asik dengan pikirannya, Ajeng tak tahu jika mereka kini tengah berada di jalan yang tampak sepi.

Ajeng menatap sekitar, matanya menelisik ke sana ke mari. Ajeng tak pernah melewati jalan ini. Ajeng menatap pria itu dengan bingung.

"Sebenarnya kita mau ke mana? Kenapa kamu membawaku ke tempat yang sepi? Kamu nggak macam-macam kan?" tanya Ajeng dengan perasaan was-was.

Pria itu tersenyum tipis seraya menggeleng pelan.

"Saya tidak akan macam-macam, tempatnya memang sepi," jelas pria itu sambil mengulas senyum.

Ajeng tak percaya dengan ucapan pria itu, dia mencengkeram erat bajunya.

"Tolong turunkan aku di sini," pinta Ajeng lirih.

Pria itu menoleh sejenak, kemudian dia kembali fokus menyetir.

"Maaf, saya tidak bisa."

"Sebenarnya kamu siapa? Kamu ingin menipuku ya? Kamu ingin menculikku kan, kamu salah orang. Aku ini bukan anak orang kaya," kata Ajeng dengan mata berkaca-kaca.

Pria itu tertawa pelan ketika mendengar ucapan Ajeng.

"Saya tidak salah orang, Nona Ajeng Rayna," kata pria itu dengan tegas.

Mata Ajeng membulat ketika pria itu menyebut nama lengkapnya.

"Kamu tahu dari mana nama lengkapku?" tanya Ajeng.

Pria itu tak menjawab pertanyaan Ajeng.

'Apa yang sebenarnya terjadi, dia tahu nama lengkapku, apa jangan-jangan dia benar, terjadi sesuatu dengan Leo?' batin Ajeng bertanya-tanya.

Ajeng berpikir bahwa pria itu mengetahui namanya dari Leo. Tapi Ajeng bingung dengan semua ini, apa Leo sedang memberikan kejutan untuknya?

Membayangkan tentang itu membuat Ajeng tersenyum-senyum sendiri.

Diam-diam pria itu melirik Ajeng karena wanita itu tak lagi berceloteh. Pria itu tersenyum menyeringai ketika melihat Ajeng sedang senyum-senyum sendiri.

Mobil itu kini sudah berada di depan rumah yang sangat megah.

Ajeng meneliti rumah itu dengan takjub, kemudian dia mengernyit heran.

'Kenapa ada rumah di sini, tadi aku tidak melihat ada perumahan di jalanan sepi, apa jangan-jangan dugaanku benar. Atau jangan-jangan Leo diculik terus aku disuruh menebusnya?' batin Ajeng.

Ajeng kembali mencengkeram ujung bajunya dengan erat.

"Mari kita turun, Nona," kata pria itu.

Ajeng diam saja, dia tak merubah posisinya sedikitpun.

"Nona, mari kita keluar," ujar pria itu lagi.

Ajeng menatap pria itu dengan takut-takut.

"Bisakah kamu duluan yang keluar?"

Pria itu memicingkan matanya.

"Ada apa?"

Ajeng tersenyum kaku, percayalah, hatinya saat ini sedang tak karuan.

"Sebenarnya aku malu untuk mengatakannya, tetapi kamu sepertinya sangat ingin tahu," kata Ajeng, dia menghela napas pelan, "sebenarnya tali braku lepas, aku ingin memperbaikinya, bisakah kamu keluar--"

"Aku akan keluar," potong pria itu cepat, dengan terburu-buru, pria itu pun akhirnya keluar dengan wajah memerah.

Ajeng menghela napas lega, cepat-cepat dia keluarkan ponselnya untuk menghubungi teman-temannya agar bisa membantunya.

Ajeng menghubungi Rani, akan tetapi tak diangkat oleh Rani.

"Ayo dong, Rani, angkat teleponku, aku sedang dalam bahaya," gumam Ajeng sembari menggigiti kuku tangannya. Matanya terus menatap pria itu, dia takut jika sampai ketahuan oleh pria itu.

Ajeng mengerang frustrasi karena tak satupun panggilan yang diangkat oleh Rani. Ajeng berpikir sejenak, siapa lagi yang akan dia hubungi, tiba-tiba saja nama Leo terlintas dipikirannya, tanpa berlama-lama Ajeng menghubungi nomor tersebut.

"Halo."

Ajeng menghela napas lega.

"Halo, Leo. Kamu di mana?" tanya Ajeng dengan suara setengah berbisik.

"Aku sedang kerja, Rayna. Ada apa denganmu? Kenapa bicaranya seperti orang berbisik?" tanya Leo dari ujung sana.

Ajeng menahan napas, matanya membulat sempurna.

'Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?' batin Ajeng.

"Leo, aku--"

Belum selesai Ajeng berkata, ponsel tersebut sudah dirampas oleh pria itu.

"Halo, Rayna, halo," panggil Leo.

Pria itu menatap Ajeng dengan tatapan yang sulit diartikan. Pria itu mematikan sambungan teleponnya.

Tanpa berkata-kata, pria itu memegang tangan Ajeng dengan sedikit keras, pria itu berjalan dengan langkah lebar membuat Ajeng kewalahan.

Dibukanya pintu rumah itu, kemudian pria itu mendorong tubuh Ajeng, Ajeng memekik kecil. Tak lama pintu itu kembali tertutup.

"Tolong! Apa yang kamu lakukan, keluarkan aku dari sini!" teriak Ajeng sambil menggedor-gedor pintu itu.

"Kau sudah datang rupanya."

Ajeng langsung terdiam, dia menoleh ke belakang. Seketika matanya melotot.

"Kamu!"

Bersambung.