Suasana yang tadinya tampak romantis kini tergantikan oleh ketegangan.
Ajeng, Leo, maupun Kenzo sama-sama terdiam. Leo tampak gugup karena ketahuan pacaran oleh Kenzo, Kliennya. Sedangkan Ajeng, entah apa yang sedang dia pikirkan.
Melihat akan hal itu membuat Kenzo berdehem pelan, Leo pun tersenyum canggung karena lupa menawarkan Kenzo untuk duduk.
"Pak Kenzo, mari bergabung dengan kami. Silahkan duduk," kata Leo kikuk.
Dengan santai Kenzo menggeser kursi itu, lalu duduk di samping Leo, berhadapan dengan Ajeng.
Ajeng memegang sendok dengan erat ketika melihat Kenzo berada di hadapannya.
'Kenapa dia ada di sini?' batin Ajeng.
"Pak Kenzo mau saya pesankan juga?" tawar Leo, Kenzo menjawab hanya gelengan saja.
"Pak Kenzo mau minum? Biar saya pesankan?" tawar Leo lagi.
"Tak perlu, melihat seperti ini saja aku sudah kenyang," jawab Kenzo ambigu membuat Leo mengernyit heran.
Leo ingin bertanya, namun diurungkannya. Rasanya tidak sopan jika dia bertanya seperti itu. Lagian status mereka berdua hanya sebatas rekan kerja, tidak lebih.
"Kalian mesra sekali," kata Kenzo diakhiri dengan kekehan.
"Ya begitulah, namanya juga anak muda," jawab Leo sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Ajeng, yang tadinya berisik kini berubah menjadi pendiam karena kedatangan Kenzo. Leo pun memakluminya, karena yang Leo tahu sifat Ajeng memang tertutup pada orang asing.
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak?" tanya Leo yang melihat raut wajah Ajeng berubah menjadi tegang.
Ajeng menggeleng kaku, "nggak apa-apa, aku udah kenyang," ucap Ajeng lirih.
Leo mengernyit bingung, "tadi katanya masih laper, kok tiba-tiba udah kenyang?"
"I--iya. Aku ke toilet dulu ya," kata Ajeng, dia buru-buru pergi dari sana. Melangkah begitu cepat, sampai-sampai kakinya tersandung dan hampir saja terjatuh.
"Hati-hati, Rayna!" teriak Leo dari kejauhan.
Ajeng menoleh ke belakang, dilihatnya wajah Leo yang tampak khawatir. Ajeng tersenyum lebar, lalu tanpa sengaja ekor matanya melirik ke arah Kenzo. Dilihatnya pria itu sedang tersenyum menyeringai.
Ajeng kembali berbalik, lalu berjalan dengan cepat menuju toilet.
Ajeng membasuh wajahnya berkali-kali, kemudian menatap wajahnya dari pantulan cermin, dia menghela napas panjang.
"Kenapa aku dipertemukan lagi dengannya. Mimpi apa aku semalam," erang Ajeng.
Ajeng kembali menghela napas, dia harus cepat-cepat pergi dari sini, dia takut nanti Leo akan mencarinya sampai ke sini.
Ajeng membuka pintu toilet itu sambil melamun, dia tak sadar bahwa ada seseorang berada di hadapannya.
Bruk!
"Aduh," pekik Ajeng, dia jatuh terduduk. Ajeng mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang telah menghadang jalannya.
Ajeng terkesiap ketika melihat Kenzo berada di hadapannya. Buru-buru Ajeng berdiri dan bergegas pergi dari situ. Namun sayangnya terlambat, tangan Ajeng dicekal oleh Kenzo.
"Mau ke mana, hem. Buru-buru banget," kata Kenzo dengan suara beratnya.
Ajeng menoleh ke belakang, dia menatap Kenzo dengan lama.
Ajeng akui bahwa Kenzo itu memang tampan, bahkan lebih tampan dari Lima Tahun Lalu.
"Terpesona denganku, eh?" goda Kenzo.
Ajeng tersentak kaget, kemudian dia menghempaskan tangan Kenzo dengan kasar.
"Wow, jangan galak-galak gitu dong, cantik-cantik kok galak," kata Kenzo sambil tersenyum tipis. Senyum yang jarang sekali dia perlihatkan pada orang lain.
"Ada apa? Apa kita punya urusan?" tanya Ajeng ketus.
"Wow, apakah ini sifat Ajeng yang sekarang? Kemana sifat Ajeng dulu yang lemah lembut? Apakah ini karena ajaran pacarmu itu?" kata Kenzo dengan nada mengejek.
"Tutup mulutmu, kamu tidak berhak mencampuri urusanku," jawab Ajeng emosi.
"Benarkah?"
Ajeng ingin sekali menonjok wajah tampan Kenzo yang mengeluarkan raut wajah menyebalkan itu.
"Sebenarnya kamu mau apa sih? Bukannya yang punya urusan itu Leo ya, bukan aku?"
"Tentu saja kita ada urusan," kata Kenzo.
"Apa?"
Kenzo tak menjawab, tetapi dia mendekat ke arah Ajeng, Ajeng yang melihat gelagat Kenzo pun seketika mundur.
"Kamu mau apa? Jangan macam-macam ya, aku akan teriak," ancam Ajeng ketakutan.
"Yang aku inginkan adalah kamu," bisik Kenzo tepat ditelinga Ajeng. Ajeng refleks memejamkan matanya ketika mendengar bisikan Kenzo.
"Apa maksudmu?" tanya Ajeng lirih.
Kenzo menarik dagu Ajeng, kini mereka berdua saling bertatapan satu sama lain.
"Aku mau kamu," jawab Kenzo lagi.
Ajeng mendorong tubuh Kenzo dengan keras, hingga Kenzo terjatuh.
"Dasar sinting," maki Ajeng.
Kenzo yang mendengarnya hanya terkekeh kecil. Ajeng siap untuk pergi, namun baru tiga langkah dia berjalan, tangannya ditarik lagi oleh Kenzo membuat Ajeng mendengkus kesal.
"Kamu nih apa-apaan sih. Main tarik-tarik aja, aku bukan kucing ya," kata Ajeng jengah.
Kenzo mengerutkan keningnya, "yang bilang kamu kucing siapa?" tanya Kenzo heran.
"Kamu ini benar-benar rese ya. Percuma mempunyai wajah tampan tapi otaknya minim."
"Kamu mengakui kalau aku tampan?"
Ajeng mengerang frustrasi, "Kenzo, lepasin tanganku," kata Ajeng jengah.
"Tidak akan," Lagi-lagi Kenzo tersenyum menyeringai membuat Ajeng ingin sekali menabok wajah mengesalkan itu.
Ajeng memutar otak supaya bisa terlepas dari Kenzo. Tiba-tiba dia tersenyum kecil ketika mendapat ide brilian.
"Leo, sejak kapan kamu ada di situ," kata Ajeng sambil melihat ke arah Kenzo. Bukan, lebih tepatnya melihat di belakang Kenzo untuk meyakinkan Kenzo bahwa benar-benar ada orang lain di sana.
Kenzo langsung melepaskan tangan Ajeng, kemudian menoleh ke belakang. Dahi Kenzo mengernyit karena tak melihat seorang pun di sana. Kenzo kembali menatap Ajeng, namun sayangnya Ajeng sudah tak ada di sana. Dilihatnya Ajeng sudah menjauh dari pandangannya sambil menjulurkan lidahnya pada Kenzo.
Kenzo tertawa pelan, bisa-bisanya dia tertipu dengan Ajeng. Menurutnya dikerjai seseorang benar-benar sangat memuakkan, apalagi mendapat juluran lidah dari Ajeng. Bukankah berarti Ajeng mengejek Kenzo?
Kenzo lagi-lagi tertawa ketika melihat Ajeng hilang dari pandangannya.
"Lucu sekali, harusnya setiap hari kamu bertingkah seperti itu di hadapanku," gumam Kenzo lirih.
Kenzo berdehem sejenak, kemudian berjalan dengan santai sambil bersiul pelan. Tiba-tiba saja suasana hatinya menjadi senang.
Dari arah kejauhan, Kenzo melihat Leo yang tampak khawatir pada Ajeng. Kenzo tersenyum miris, haruskah dia merusak hubungan mereka, haruskah Kenzo merelakan Ajeng karena melihat ketulusan Leo pada Ajeng? Lalu bagaimana dengan dirinya? Dia juga berhak bahagia.
Kenzo menggeleng pelan, merutuki kebodohannya karena telah berpikir yang tidak-tidak. Ajeng adalah miliknya, dari dulu, kini hingga selamanya.
"Leo, aku mau pulang."
Samar-samar Kenzo mendengar pembicaraan mereka berdua.
"Kamu mau pulang? Tunggu sebentar lagi ya, kita tunggu Pak Kenzo dulu, nggak enak kalau kita tinggal."
Ajeng mencebikkan bibirnya, "kan ada ponsel, apa gunanya ponsel? Tinggal kamu bilang kalau ada keperluan mendadak."
Leo berpikir sejenak, kemudian mengangguk pelan.
"Ya udah, ayo kita pulang," ajak Leo.
Mata Ajeng berbinar, Ajeng mendekati Leo lalu mencium pipi Leo sekilas. Leo tersenyum tipis, sudah terbiasa dengan kelakuan Ajeng yang seperti itu.
Berbeda dengan Kenzo, wajahnya memerah dan tangannya terkepal erat melihat adegan tersebut
Brak!
Bersambung.