"Ajeng!" Teriak Kenzo yang sedang berdiri di tengah lapangan basket.
Suasana lapangan tersebut sangat ramai, dan banyak pula siswa lainnya berbisik-bisik karena baru saja mendengar teriakan Kenzo.
Ajeng yang merasa terpanggil pun langsung mendekat.
"Iya? Kenzo panggil Ajeng?" Tanya Ajeng dengan wajah bingung.
Kenzo hanya mengangguk sambil tersenyum manis, memperlihatkan lesung pipinya yang
membuat kaum hawa langsung berteriak histeris.
"Ada apa ya, apa Ajeng buat salah?" Tanya Ajeng dengan dahi berkerut.
Tiba-tiba saja Kenzo berlutut di depan Ajeng, Ajeng langsung mundur selangkah karena
terkejut dengan tindakan Kenzo yang secara tiba-tiba. Sementara siswa yang lainnya
menganga tak percaya dengan tingkah Kenzo.
"Kenzo, apa yang kamu lakukan, cepat bangun. Malu dilihatin banyak orang," ujar Ajeng dengan suara ditekan agar tak ada yang mendengar ucapannya.
Kenzo menggeleng pelan, lalu menghela napas untuk menutupi kegugupannya.
"Ada yang ingin gue katakan, gue harap elo mau nerima gue."
"Kalau Kenzo mau ngomong, ngomong aja, jangan seperti ini. Ajeng malu," jawabnya pelan sambil melirik ke kanan dan kiri yang tengah banyak siswa sedang menonton mereka.
"Gue suka sama elo," ucap Kenzo pada akhirnya. "Gue ... Jatuh cinta sama elo, Ajeng. Gue selalu perhatiin elo dari jauh. Maukah elo jadi pacar gue?"
Ajeng yang mendengarnya langsung syok. Dia menggeleng pelan, kemudian tertawa kecil.
"Kenzo bercanda ya, ini cuma prank kan? Iya kan?" tanya Ajeng dengan kekehan.
"Gue serius, gue cinta sama elo," ucap Kenzo lagi, matanya menatap Ajeng dengan sendu.
"Nggak lucu, Kenzo. Kalau mau prank kenapa harus Ajeng? Masih banyak perempuan lain."
"GUE SERIUS, GUE CINTA SAMA ELO, AJENG!" Teriak Kenzo, matanya menyorot tajam ke arah Ajeng.
Ajeng langsung mundur beberapa langkah, menatap Kenzo dengan tatapan tak percaya.
"Kenapa harus Ajeng?" tanyanya dengan suara lirih.
Kenzo langsung berdiri, kemudian dia berjalan mendekat ke arah Ajeng.
"Gue nggak tau, rasa itu tiba-tiba muncul di sini," kata Kenzo yang sedang menunjuk dadanya.
Ajeng langsung menunduk, kemudian menggeleng pelan.
"Maaf," cicit Ajeng.
Brak!
Kenzo tiba-tiba saja menggebrak meja ketika mengingat kejadian lima tahun lalu, tangannya mengepal erat serta rahangnya mengeras.
Tak lama kemudian dia menutup matanya sambil memijit pelipisnya dengan pelan.
"Shit!"
Kenzo membuka laci meja kerjanya, kemudian menatap foto seorang gadis yang tengah
tersenyum manis, tanpa sadar sudut bibirnya terangkat.
'Sudah cukup lima tahun ini, Baby,' gumamnya dalam hati dengan senyum seringainya.
Tok... Tok... Tok...
"Masuk!"
Sekretaris Kenzo datang dengan langkah tergesa-gesa, sesampainya di hadapan Kenzo, wanita itu membungkuk.
"Ada apa, Ana?" tanya Kenzo to the point.
"Maaf, Pak. Jam satu siang akan ada meeting dengan Client dari CG group, apakah akan Bapak batalkan?" tanya wanita itu.
"Siapa yang akan kutemui?"
"Asistennya, Pak," jawab Ana sambil menunduk.
"Siapkan berkas-berkasnya, dan kita akan meeting di Cafe Cinta jam satu siang."
"Siap, Pak. Kalau begitu saya permisi," pamit Ana, namun tak ditanggapi oleh Kenzo.
Ketika pintu ruangan ditutup, Kenzo langsung tersenyum miring.
"Permainan akan segera dimulai, Baby."
***
"Maaf, saya terlambat," ucap Leo yang baru saja datang.
Kenzo melirik jam yang ada ditangannya, kemudian menatap Leo dengan sinis.
"Harusnya kalau sudah dipercaya jangan disia-siakan, siapa tahu nanti jabatanmu akan direbut," kata Kenzo sambil melipatkan kedua tangannya di dada.
"Sekali lagi saya minta maaf."
Tanpa Leo sadari apa yang Kenzo ucapkan tadi ada makna yang tersirat di dalamnya. Namun sayangnya, Leo tak menyadari akan hal tersebut.
Obrolan mereka kini sedang berlangsung dengan serius, membahas tentang kerjasama diantara mereka.
Obrolan mereka terhenti ketika ada seseorang yang datang menghampiri mereka, dia adalah Ajeng.
"Silahkan dinikmati," ucap Ajeng yang telah meletakkan pesanan Kenzo di atas meja.
"Rayna," panggil Leo pelan.
Ajeng langsung mendongak, kemudian dahinya mengernyit heran.
"Ngapain?" tanyanya.
"Kerja," jawabnya singkat, namun senyumnya tak luntur karena melihat Ajeng.
"Kerja?" tanya Ajeng lagi, kemudian dia menatap teman Leo yang tengah menatap Ajeng dengan tatapan yang menurut Ajeng sangat aneh.
"Ah ya, kalau begitu saya permisi. Silahkan dinikmati," Ajeng yang berniat akan pergi tapi
tangannya dicekal oleh Leo.
"Kenapa?" tanyanya tanpa suara.
"Nanti aku jemput."
Ajeng langsung melepas cekalan tangannya dari Leo. Kemudian dia mengacungkan
jempolnya, lalu Ajeng pergi meninggalkan meja Leo dengan sedikit cepat.
"Tatapan itu, aku seperti pernah merasakannya. Tapi di mana?" gumam Ajeng, kemudian dia menggeleng pelan untuk melupakan tatapan lelaki itu.
Leo terus menatap Ajeng dengan tatapan memuja, Kenzo akui tatapan Leo menyiratkan ketulusan.
"Ehem!" Kenzo berdehem dengan sedikit keras.
Leo yang sedari tadi terus menatap Ajeng kini menoleh ke arah Kenzo.
"Ah maaf, bisa kita lanjutkan?" tanya Leo dengan sedikit canggung.
"Tentu."
Obrolan mereka pun berlanjut menjadi serius, Kenzo sedikit tak fokus karena sedari tadi
matanya terus melirik ke arah Ajeng. Namun sialnya hal tersebut diketahui oleh Leo.
"Jadi bagaimana, Pak?" tanya Leo pada akhirnya.
"Deal," ucap Kenzo tanpa ragu sambil mengulurkan tangannya.
Leo mengernyit heran, dia hanya menatap tangan Kenzo dengan wajah bingung. Namun tak lama kemudian dia pun menjabat tangan Kenzo.
"Terimakasih atas kerjasamanya, Pak."
"Boleh saya bertanya?"
"Silahkan, Pak."
"Pelayan tadi siapa anda?"
Leo tersenyum tipis, "dia Kekasih saya, Pak," ucapnya dengan bangga.
Diam-diam Kenzo mengepalkan tangannya.
"Kekasih? Pelayan? Jadi anda menjalin hubungan dengan seorang Pelayan?" tanya Kenzo dengan nada remeh.
"Karena cinta tak pandang kasta, usia maupun fisik. Dan yang paling penting kami berdua
saling mencintai," ucap Leo dengan lugas tanpa beban.
Lagi-lagi Kenzo mengepalkan tangannya.
Leo melirik Kenzo yang tengah terdiam karena jawabannya tadi, kemudian mengedikkan
bahunya. Leo melirik jam ditangannya.
"Baiklah, karena kita sudah sepakat, saya pamit undur diri, Pak. Ada pekerjaan lain yang harus saya kerjakan," pamitnya pada Kenzo.
"Silahkan," jawabnya singkat.
Setelah mendapat persetujuan, Leo akhirnya pergi meninggalkan Cafe tersebut. Namun
sebelum pergi, Leo menyempatkan untuk menemui Ajeng yang tengah berada di tempat kasir tersebut.
"Jangan lupa makan ya. Aku pergi dulu," kata Leo sambil mengacak-acak rambut Ajeng yang tampak serius dengan pekerjaannya.
"Aish, Leo. Rambutku jadi berantakan," rengek Ajeng, namun Leo hanya terkekeh kemudian
pergi dari hadapan Ajeng.
Kenzo yang melihat interaksi keduanya pun merasa marah, dia mengusap wajahnya dengan kasar.
"Brengsek kau Leo," geram Kenzo dengan tangan terkepal.
Kenzo terus saja mengamati gerak-gerik Ajeng hingga Ajeng hilang dari pandangannya.
Tiba-tiba saja kaki Kenzo bergerak begitu saja untuk mengikuti Ajeng pergi. Kenzo melihat
Ajeng tengah menuju toilet, Kenzo pun tersenyum licik.
Ajeng yang telah keluar dari toilet pun terlonjak kaget karena tiba-tiba saja ada lelaki asing yang tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Ajeng tersenyum canggung, kemudian dia pergi meninggalkan lelaki itu, namun baru dua langkah tiba-tiba saja tangannya dicekal, sehingga Ajeng terhuyung hingga menabrak dada lelaki tersebut.
"Aw," ringisnya pelan, kemudian dia mendongak menatap wajah lelaki itu, "maaf."
Kenzo langsung menubrukan tubuh Ajeng ke dinding, membuat Ajeng terpekik kaget.
"Apa kabar? Apakah hari-harimu bahagia setelah lima tahun lalu kau menolakku, hem."
Seketika suara Ajeng tercekat, dengan tangan bergetar Ajeng mendorong tubuh Kenzo.
"Si-siapa kamu?"
Kenzo terkekeh pelan, kemudian mengangkat dagu Ajeng dengan pelan. Kini Ajeng sudah
mengetahui siapa pemilik tatapan itu.
"Ke-Kenzo ...," ucapnya dengan suara tercekat.
Bersambung.