Ajeng terburu-buru untuk menyelesaikan pekerjaannya, hari ini dia bertekad akan pulang cepat.
Mengenai pertemuannya dengan Kenzo, Ajeng tidak pernah menduga mereka akan bertemu lagi setelah kejadian lima tahun lalu.
Sedang asik membersihkan meja, tanpa sengaja Ajeng melihat Kenzo yang sedang menatapnya dengan senyum seringainya.
Ajeng membuang wajahnya ke sembarang arah, tubuhnya sudah kelelahan dengan pekerjaan ini. Lalu, ditambah lagi dengan pertemuannya dengan Kenzo, membuat kepala Ajeng berkali-kali lipat terasa pening.
"Kamu ini kenapa? tidak enak badan?" tegur Manager Cafe itu yang tengah mengawasi gerak-gerik Ajeng.
"Tidak, Pak. Saya hanya sedikit kelelahan saja," jawab Ajeng tak enak hati.
"Kalau begitu kamu istirahat saja, biar temanmu yang lain melanjutkan pekerjaanmu."
"Tidak usah, Pak. Saya bisa menyelesaikannya," tolak Ajeng sopan.
"Baiklah, terserah kamu saja."
Manajer itu kemudian pergi meninggalkan Ajeng, membuat Ajeng bernapas lega.
"Sial! Mimpi apa aku semalam, baru kali ini pekerjaanku ditegur," gumam Ajeng lirih.
Rani yang melihat temannya gagal fokus itu pun hanya mampu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum remeh. Melihat hal itu Ajeng mendelik tajam.
"Apa lihat-lihat! Mau aku colok pake garpu, hah!"
***
Semua orang berhak jatuh cinta dan memilih siapa tempat untuk hatinya berlabuh.
Sama seperti Kenzo, dia selalu merasakan hal di luar nalar ketika mengingat sosok Ajeng.
Selalu membuat sudut bibirnya tertarik ke atas, selalu merasa jantungnya berdetak memburu, bahkan selalu membuat darahnya berdesir ketika mengingat satu nama, yaitu Ajeng Rayna.
Sebelumnya Kenzo tak pernah merasakan seperti ini terhadap seorang wanita. Tetapi ketika di depan Ajeng, tubuhnya selalu bereaksi lain. Mungkinkah ini yang dinamakan jatuh cinta?
Kenzo selalu menyangkalnya akan perihal tersebut. Jatuh cinta adalah adalah hal yang sangat mustahil dalam kamus kehidupan Kenzo.
Banyak wanita yang menginginkannya, tanpa harus mengatakan 'Aku suka kamu' wanita mana saja akan terpesona dengan ketampanan Kenzo.
Tapi sialnya, semua berubah ketika dia menempati sekolah barunya.
Kenzo terpesona dengan Ajeng. Wanita yang terlihat sederhana tanpa polesan make up. Meski begitu, Ajeng tampak terlihat manis.
Kenzo mengingat ketika Ajeng membantunya bersembunyi ketika dia terlibat tawuran di sekolah kala itu.
"Kamu bukannya murid baru itu, kan?" tanya Ajeng memastikan, tangannya sambil mengobati luka yang ada dijidat Kenzo.
"Hmmm, ngapain kamu repot-repot nolongin aku, tanpa kamu tolong aku juga bisa bebas dari mereka," ujar Kenzo dengan sedikit meringis.
"Kamu ini ya,bukannya bilang terima kasih malah ngomong kayak gitu, dasar cowok rese!" kata Ajeng dengan tangan sedikit menekan diluka tersebut.
"Aww, pelan-pelan bisa nggak sih! Sebenarnya kamu ini niat nggak nolongin aku?" keluh Kenzo.
"Otakku melarang, tapi hatiku menolak," kata Ajeng sinis.
"Cih! Sok puitis," kata Kenzo jengah.
Ajeng memutar bola matanya malas. "Bodo amat!" jawabnya galak.
Dari situlah Kenzo secara diam-diam selalu mencuri pandang pada Ajeng. Setiap apa yang Ajeng lakukan tak pernah luput dari penglihatannya.
Hingga tiba-tiba saja dia mempunyai ide gila untuk menembak Ajeng di tengah keramaian. Kenzo percaya bahwa Ajeng pasti akan menerimanya, secara dia tampan. Kenzo terlalu percaya diri.
Namun sayangnya dia ditolak mentah-mentah oleh Ajeng. Sakit? Pasti, malu? Jangan ditanya lagi.
Sejak saat itu Kenzo berniat ingin balas dendam pada Ajeng. Namun sayang, alih-alih balas dendam dia malah semakin terobsesi dengan Ajeng.
Perasaan itu sungguh sangat menyiksa Kenzo.
Yang Kenzo inginkan adalah Ajeng mencintainya.
Yang Kenzo inginkan adalah Ajeng selalu bersamanya.
Dan yang Kenzo inginkan adalah Ajeng menjadi miliknya selamanya.
Dari dulu sampai sekarang nyatanya perasaan itu belum hilang.
***
Ajeng berjalan dengan sedikit terburu-buru, pasalnya sedari tadi dia merasa ada yang sedang mengikutinya.
Dengan tangan bergetar dia mengambil kunci rumahnya yang ada di dalam tas. Beberapa kali dia mencoba membuka pintu itu tak berhasil karena kegugupannya.
Klik ...
Fyuh!
Ajeng bernapas lega karena pintu rumah sudah terbuka, dengan tergesa dia segera menutup pintu kemudian dikuncinya.
"Siapa yang mengikutiku? Rampokkah?" Ajeng menerka-nerka.
Ajeng sedikit mengintip dari celah jendela, takut ada seseorang yang mengikutinya sampai halaman rumahnya.
"Tidak ada siapa-siapa, apa cuma perasaan aku aja kali ya."
Ajeng menggelengkan kepalanya, efek karena kelelahan, dia sampai berpikir yang tidak-tidak.
Yang dia pikirkan sekarang adalah mandi lalu istirahat, tubuhnya benar-benar sangat lelah.
Sementara dari luar rumah, seseorang itu tersenyum menyeringai.
"Mulai sekarang hidupmu tak akan tenang, Baby. Sebelum kamu menjadi milikku."
Ya, dia adalah Kenzo.
***
"Aku besok ada kerjaan di luar kota. Kamu tidak apa-apa kan kalau aku tinggal sendiri?" tanya Leo cemas dari seberang telepon.
Ajeng terkekeh pelan.
"Memangnya aku anak kecil yang harus dijagain setiap hari? Come on, Leo ku sayang, Ajengmu ini sudah besar. Apa yang kamu khawatirkan?"
"Aku benar-benar khawatir, Rayna."
Lagi-lagi Ajeng terkekeh.
"Berapa hari?" tanya Ajeng.
"Emmm ... Sekitar semingguan mungkin," jawab Leo ragu.
Ajeng menyipitkan matanya," kok mungkin?" tanyanya lagi.
"Tergantung pekerjaannya juga, kalau ada kendala pastinya akan lama. Kenapa? tidak kuat nahan rindu, eh?" goda Leo.
"CK! Bukan begitu, jawabanmu kurang meyakinkan," kata Ajeng curiga. "Kamu di sana nggak macem-macem kan?"
"Aku di sana kerja, Rayna. Berhentilah berpikir negatif," decak Leo kesal.
"Ya ... siapa tahu kan."
"Rayna ... Rayna. Dengar yah, yang ada dihatiku itu cuma kamu, nggak ada yang lain. Aku cari uang yang banyak supaya kita bisa nikah, biar bisa hidup bersama. Please, pikiran jelekmu tolong dihilangkan, oke."
Ajeng tersenyum-senyum sendiri mendengar penuturan Leo. Setiap Leo berbicara tentang pernikahan, membuat hati Ajeng berbunga-bunga.
"Halo, Rayna. Kamu dengar kan apa yang aku bilang barusan?"
"Dengar kok," kata Ajeng dengan wajah tersipu.
Leo yang menyadari suara Ajeng pun tersenyum tipis. Seandainya saja Ajeng ada di hadapannya, pasti sudah dia cubit pipi chubby nya itu. Menurutnya, Ajeng itu sangat menggemaskan. Makanya dia selalu bertekad untuk cepat-cepat menghalalkannya. Supaya dia bisa bebas semaunya terhadap Ajeng.
Meskipun mereka berpacaran selama bertahun-tahun, Leo selalu menjaga Ajeng. Bukan karena dia tak normal, dia sama seperti pria pada umumnya. Namun rasa sayangnya yang tulus itu, dia merasa Ajeng layak untuk dijaga, bukan dirusak.
"Leo, kok diam sih. Lagi tidur ya."
Aish! Suara comel Ajeng kembali terdengar ditelinga Leo, membuat Leo tersenyum tipis.
"Kenapa? Belum pergi aja udah kangen," ledek Leo.
"Nyebelin banget sih, kalau nggak mau ngomong matiin aja," kata Ajeng sewot.
Bukannya membujuk seperti pria pada umumnya, Leo malah berkata sebaliknya.
"Ya udah, matiin aja. Selamat ma--"
Tut!
Ajeng mematikan sambungan teleponnya sebelum Leo selesai dengan kata-katanya. Mulutnya sambil komat-kamit tak jelas.
"Dasar cowok nyebelin!" umpat Ajeng.
Bersambung.