Jupiter baru saja menyelesaikan sedikit urusannya saat ia keluar dari kamar kerja dan mengernyitkan keningnya. Ares datang ke rumahnya dan sekarang tengah berhadapan dengan Putri. Jupiter tak maju melainkan berpikir sejenak tentang Ares yang berani menatap Putri seperti itu. Apa dia sudah mendapatkan keberaniannya? Jupiter pun berjalan mendekat dan menyapa Ares.
"Ares?" panggil Jupiter sambil berjalan mendekat dan Ares langsung menaikkan pandangannya. Raut Ares langsung berubah tak enak dan ia membuang wajahnya ke arah lain. Sedangkan Putri berbalik pada Jupiter dengan senyuman manis yang polos seperti biasa.
"Tumben lo dateng ke rumah gue. Ada apa?" tanya Jupiter lalu mendekat pada Putri dan merangkul kan sebelah tangannya pada pinggang Putri.
"Uhm ... ada yang mau gue omongin. Lu ada waktu kan?" tanya Ares lagi dan Jupiter mengangguk.
"Kita ngobrol di ruang kerja gue aja." Ares mengangguk dan berjalan melewati Putri ke arah dalam tanpa menaikkan pandangannya.
"Eh, sebentar ... " Ares berhenti lalu sedikit melirik Jupiter yang bicara padanya.
"Lu mau minum apa? Kopi?" tawar Jupiter dan Ares pun mengangguk pelan saja. Jupiter tersenyum dan Putri langsung memotong.
"Biar Putri yang bikin, Kak. Nanti Putri antar ke dalam," ucap Putri sambil tersenyum.
"Tapi ... bahu kamu kan masih sakit," balas Jupiter separuh berbisik meskipun Ares masih bisa mendengar tapi ia membuang pandangannya ke arah lain dan pura-pura tidak tahu.
"Gak Kak, Putri gak apa. Kakak pergi aja!" Jupiter tersenyum sekali lagi dan mencium pipi Putri tanda berterima kasih. Ares makin memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Makasih, Sayang. You are the best!" Jupiter berbalik melepaskan rangkulannya pada Putri dan berjalan lalu merangkul Ares bersamanya.
"Come on!" Ares diam saja dibawa oleh Kakaknya ke dalam ruang kerja sampai ketika mereka berada di dalam, barulah Ares menarik lengan Jupiter dengan mata mendelik.
"Ngapain Dek Putri di rumah lo! Dia tinggal di sini? Kalian uda tinggal bareng sekarang!" sembur Ares dengan suara tertahan tapi mata membesar dan terdengar kesal. Jupiter sempat heran sesaat meski ia tak curiga.
"Kenapa sih lo? Dia kan pacar gue, ya bebas lah dia mau tinggal di sini!" balas Jupiter dengan kening mengernyit.
"Tapi kan kalian belum nikah!" Jupiter menghela napas dan berjalan melintasi ruangan itu dan duduk di salah satu sofa.
"Gue uda minta ijin sama Uncle Bryan dan Aunty Nisa, apa lagi?" Ares makin mengernyitkan keningnya. Ia berdiri di depan Jupiter dengan sikap tubuh tak suka dengan tindakan Jupiter.
"Jadi kalian udah ngapain aja?" telisik Ares dengan wajah masih tegang. Jupiter jadi menghela napas dan sedikit bengong.
"Lu kenapa sih? Ya gue gak ngapa-ngapain. Putri tinggal di kamar berbeda, tiap hari ada maid yang datang buat bersih-bersih. Emang gue mau ngapain, Ares?" Jupiter sampai menekan pada kalimat terakhirnya. Ares sampai terdiam karena sadar ia baru saja ikut campur dan tak seharusnya terjadi. Ares jadi salah tingkah dan membuang pandangannya ke arah lain. Jupiter lalu menarik lengan Ares sampai ia terduduk di sampingnya.
"Lu kenapa sih? Datang marah-marah!"
"Bukan marah, gue cuma nanya. Putri kan masih kecil!" balas Ares dengan nada lebih rendah seperti separuh menyesal.
"Dia udah 19 tahun, Ares."
"Tau, tetap aja dia belum dewasa!" bantah Ares tak mau kalah.
"Mau sampe kapan lu anggap dia anak kecil. Dia calon istri gue!"
"Memangnya lu mau nikah sama dia?" tanya Ares makin seru.
"Ya iya, sama siapa lagi? Masa gue sama lu terus!" Ares jadi makin cemberut dan kesal. Ia mendengus beberapa kali dan itu disadari oleh Jupiter.
"Udah jangan sedih, kan masih lama ... beberapa bulan lagi!" Ares makin miris dan memejamkan matanya kesal. Jupiter melihat itu sebagai tanda jika Ares tak ingin berpisah dengannya sedangkan Ares harus menahan sesak karena waktunya makin sempit dan tak mungkin.
"Apa yang lo butuh dari gue?" tanya Jupiter mengalihkan topik. Ares kemudian menoleh dengan ekspresi yang jauh lebih baik.
"Gue uda setuju sama Andy soal pakai klub lu untuk nampung barang-barang itu. Gue minta satu lantai untuk tempat orang makai barang-barang itu. Kosongin, jangan campur sama pengunjung lain!" Jupiter langsung bangun dan mengernyit.
"Lu gila! Itu kokain, Ares!" Ares mengangguk.
"Tapi ini akan jadi tempat transit terbesar dan polisi akan mudah meringkus mereka. Cuma ini kesempatan satu-satunya buat Andy untuk bergerak." Tapi Jupiter tetap menggelengkan kepalanya tak setuju.
"Res, gue gak bikin klub itu sebagai sarang pemadat. Iya gue tau ada yang makai barang haram itu tapi itu bukan dari dalam. Dan gue gak mau lo malah terlibat sama narkoba!"
"Gue gak terlibat, gue cuma bantu Andy!" Jupiter makin mendesis membuang wajahnya dengan kesal.
"Lu gak bisa percaya sepenuhnya sama Andy. Dia bukan teman kita lagi!"
"Jangan ngomong gitu, Pit. Dia saudara kita dan akan tetap jadi saudara kita sampai kapan pun!" sahut Ares bersikeras. Jupiter makin menatap Ares yang terus membela Andrew yang jelas-jelas menjadi kaki tangan Alvaro Sanchez.
"Lu masih yakin sama dia? Padahal dia uda khianatin lo berkali-kali. Kalo emang dia gak berkhianat, ngapain dia masih tetap sama kartel itu? Kenapa dia gak pulang dan klaim warisannya?" tanya Jupiter dengan nada mulai meninggi.
"Dia sedang menyamar, Jupiter ..."
"Ahhh ... lu percaya ama omong kosongnya? Dia pemadat dan polisi korup, Ares!" Ares menarik napasnya dan memegang pundak Jupiter untuk menenangkan emosinya.
"Sabar, Pit. Lu pernah bilang ke gue agar gue gak berhenti percaya sama dia. Percaya bahwa harapan itu ada. Gue yakin kalo Andy gak pernah pergi dari kita, hanya kita gak tau kenapa Alvaro Sanchez dan kenapa dia masuk kelompok itu!" Jupiter menghela napas dan tak menjawab sampai pintu diketuk dan Putri masuk membawa kopi untuk keduanya.
Ares langsung menegakkan punggungnya dan bersandar agar ia tak terlalu melihat Putri. Putri mendekat dan meletakkan cangkir itu di atas meja lalu sedikit mengaduh karena gerakan tangannya membuat bahunya sakit. Ares dengan cepat langsung maju dan menangkap cangkir kopi yang hampir sampai ke atas meja agar tak jatuh.
"Kamu gak pa-pa, Dek?" tanya Ares tak sadar. Putri lantas membesarkan matanya saat Ares malah menolongnya sekaligus tak sengaja memegang tangannya. Jupiter melihat adegan itu dan sedikit memicingkan matanya aneh. Adik kembar dan tunangannya berbuat sesuatu yang aneh seperti adegan film.
"Kalian kenapa jadi pandang-pandangan begitu?" tegur Jupiter dengan kening mengernyit. Ares langsung sadar dan meletakkan cangkir ke atas meja dengan sikap salah tingkah.
"Gue cuma nolongin ..."
"Kamu gak pa-pa, Sayang?" tanya Jupiter pada Putri tanpa mengindahkan Ares yang tengah bicara. Putri menegakkan tubuh dan tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Gak Kak, tadi agak sakit karena menunduk," jawab Putri kemudian. Jupiter lantas bangun dan memeriksa keadaan Putri seperti biasa.
"Sebaiknya kamu istirahat aja ya?"
"Gak bisa, Kak. Putri harus kuliah dan hari ini ada latihan vokal juga. Album Putri kan sebentar lagi hampir selesai," ujar Putri memberikan alasannya. Jupiter mengangguk saja dan membelai kepalanya dengan lembut. Dan semua itu dilakukannya di depan Ares yang membuang wajahnya ke arah lain.
"Kalau gitu biar Kakak yang anterin kamu hari ini!"
"Gak usah Kak."
"Gak, pa-pa, urusan Kakak juga udah selesai ..." Jupiter lalu menoleh pada Ares.
"Iya kan. Res?" Ares berpaling dengan kedua alis yang terangkat bersamaan lalu senyuman dipaksakan.
"Yah, Kak Jupiter bisa anterin Putri kemana pun hari ini! Kak Ares mau pergi dulu, ditungguin pacar di depan!" sahut Ares dengan nada aneh sekaligus menyindir. Ia meminum kopi sekedarnya lalu berdiri dan keluar dari ruang kerja itu. Jupiter mengernyitkan kening lalu menoleh pada Putri yang sama terkejutnya dengan sikap Ares. Ia lalu menyengir dan terkekeh.
"Mungkin dia salah sarapan tadi pagi!" celetuk Jupiter asal.