Baru saja aku meletakkan ponselku di atas kasur. Kini ponselku berdering kembali, aku langsung mengambilnya. Tadi dia merejek terus panggilanku. Sekarang dia menghubungiku setelah aku menyetujui syarat dosa yang harus aku turuti demi kelanggengan hubungan kami. Dengan tersenyum pahit, aku mengangkat panggilan darinya.
"Halo, nanti habis magrib aku jemput ya." Ku dengar suara Adam begitu semangat.
"Iya Kak," balasku lesu.
"Kok lesu gitu, kalau belum yakin mendingan tidak usah saja," ucapnya dengan nada tak suka.
"Hehehe, maaf Kak. Mungkin karena aku belum makan jadi lesu," jawabku sesemangat mungkin agar dia senang.
"Oh, gitu toh. Kamu tunggu bentar ya, dalam waktu lima menit. Kakak ke sana bawa makanan buat kamu. Kasihan sekali calon istriku ini," ucapnya tertawa kecil.
"Terima kasih Kak," balasku tersenyum.
"Assalamualaikum," ucapnya.
"Wa,alaikummussalam," balasku lalu menekan tombol berwarna merah.
"Ya Allah, ampunilah dosa besar hamba ini. Hamba tak punya pilihan lagi," gumamku menangis.
Aku yang masih terus menangis tanpa suara duduk bersandarkan dinding ranjang. Sesekali ku gigit bibir bawahku, pikiranku kacau. Otakku seperti mendidih, kepalaku rasanya panas sekali. Aku menarik-narik rambutku sekuat mungkin. Aku benar-benar tak berdaya meratapi nasibku.
Ingin sekali aku menegak racun tikus untuk mengakhiri hidup ini. Tapi, ada yang bilang bagi mereka yang mati bunuh diri, kelak di akhirat ia akan tersesat. Ia tak bisa masuk surga ataupun masuk neraka. Aku menjatuhkan tubuhku di lantai, kepalan tanganku bergerak memukul-mukul lantai.
Oh Tuhan, kenapa hidupku begitu rumit. Aku yang selalu berusaha menjaga iman ini harus tergoyah pada pilihan yang sesat. Semoga, kelak Engkau masih sudi menyapa, mengabulkan dan mengapuni semua dosa-dosaku. Mengizinkan diri ini untuk mencicipi indahnya surga kelak.
Suara deru motor berhenti tepat di depan rumah. Aku segera bangkit dari posisi kacauku. Aku segera berlari ke belakang untuk membasuh wajahku agar terlihat segar.
Aku berlari lagi secepat kilat menuju kamarku, mengambil sisir agar rambutku terlihat rapih kembali. Aku sempatkan menaburkan bedak ke wajahku untuk menutupi sedikit wajah sembabku. Toh walau kenyataannya hal itu pasti akan tetap terlihat jelas.
Suara ketukan pintu dan ucapan salam sudah menggelegar. Aku pun berlari ke depan untuk membuka pintunya.
"Wa,alaikummussalam," ucapku sambil membuka pintu.
Aku memasang senyum seindah mungkin untuk menutupi bekas tangisku di depannya. Walaupun aku yakin seyakin-yakinnya bahwa dia pasti tahu kalau aku habis menangisi dirinya.
Pintu yang sudah terbuka sempurna membuatku bisa melihat jelas keceriaan yang terpancarkan dari wajahnya. Hampir saja aku kehilangan senyum menawan itu.
"Ayo Kak masuk," ucapku semanis mungkin seolah tak pernah terjadi apa-apa dengan hubungan kami.
"Iya. Nih tadi Kakak belikan nasi bungkus di warteg langganan kita. Buruan dimakan biar nggak lemes lagi," jawabnya tersenyum menggoda.
"Iya Kak." Aku menerima nasi bungkus itu.
"Bentar ya Kak, aku mau ambil piring sama sendok dulu." Aku langsung membawa nasi bungkus itu sekalian ke dapur.
"Oke." Dia duduk di kursi sambil tersenyum.
Di dapur aku segera membuka nasi bungkus itu. Meletakkan bungkusan itu ke atas piring kosong yang sudah aku ambil terlebih dahulu di rak piring. Ada seulas senyuman di bibirku, lauk ini merupakan lauk favoritku. Sayur santan plus perkedel kentang, ada ayam goreng juga yang melengkapi. Aku segera kembali ke depan sambil membawa piring berisi nasi bungkus dan air minum.
"Ya Allah, aku sampai lupa membuatkan teh untuk Kak Adam." Aku meletakkan kembali nampan itu.
Aku segera mengambil gelas di rak piring. Untungnya di rumah Bibi tersedia dispenser. Jadi, aku tak usah repot-repot untuk merebus air dulu ketika membuat teh atau kopi. Dalam waktu satu menit teh sudah tersaji. Aku segera meletakkannya di nampan yang sama. Aku mulai mengangkat nampan itu, segera membawanya ke depan.
"Kok dibuatkan teh segala, Kakak nggak enak jadi ngerepotin." Yah itulah kata yang selalu terucap dari lidahnya.
"Nggak repot kok, tinggal ambil gelas lalu diberi gula dan teh celup. Kasih air panas lalu diaduk-aduk bentar jadi deh," jawabku seperti biasanya sambil tersenyum.
Ku lihat ia terkekeh mendengar ucapanku. Aku segera duduk di kursi yang menghadap ke arahnya.
"Kok duduk di sana, sini duduk di samping Kakak!" perintahnya tersenyum. Tangannya menepuk-nepuk bagian yang kosong.
"Baiklah." Aku mengangkat bokongku berpindah posisi.
"Sepi sekali, orang rumah pada ke mana nih?" tanya Adam.
"Lagi pada ke rumah saudara, aku disuruh jaga rumah nih. Mau ikut juga nggak ada motornya, Bibi boncengan sama Paman. Najril boncengan sama Siska," balasku tersenyum.
"Oh, ya sudah. Buruan dimakan nasinya." Ia mengusap lembut pucuk kepalaku.
"Iya Kak." Aku segera membaca doa dalam hati lalu mulai menyendokkan nasi itu ke mulutku. Jujur rasa nasi ini begitu hambar, tak enak seperti biasanya. Terlalu banyak menangis membuat lidahku mati rasa.
"Sini ... aku suapin juga Kakak." Aku menyodorkan satu suapan ke mulutnya.
"Kakak masih kenyang Sayang," tolaknya lembut.
"Pokoknya harus mau," paksaku cemberut.
"Baiklah." Dia menerima suapanku.
Aku tersenyum bahagia, inilah yang aku suka dari Kak Adam. Dia tak merasa jijik makan bekas sendokku. Aku terus menyuapinya sambil tersenyum.
"Hey, kok malah Kakak yang makan sih. Katanya tadi kamu lapar, sini gantian Kakak yang menyuapi kamu." Dia meraih sendok di yang ku pegang sambil tersenyum.
Kini gantian dia dengan telaten menyuapiku. Aku bahagia sekali menerima perhatiannya.
"Ayo habiskan biar semangat nggak lesu!" Kak Adam memaksaku yang sudah merasa kenyang.
"Ini sudah kenyang banget Kak, nggak ketampung lagi. Wadahnya sudah terisi penuh, kalau ditambah lagi nanti bisa meluap," tolakku.
"Masa sih, baru saja makan tiga suapan kok bilang sudah kenyang. Jangan bohong deh, Kakak nggak suka loh dibohongi." Ia masih terus berusaha merayuku agar menghabiskan nasi bungkusnya.
"Ya Allah Kak, aku serius nggak bohong. Memang Kakak nggak sayang kalau sampai makanan yang sudah masuk lalu keluar lagi," jelasku agar dia percaya.
"Baiklah, kalau begitu. Biar Kakak yang habiskan, mubazir buang-buang rejeki." Ia mengalah dan rela menghabiskan sisanya.
Aku tersenyum bahagia, inilah kelebihan lain yang aku suka darinya. Makanya, aku tak ingin kehilangan dia. Hanya dia yang bisa membuatku percaya akan cinta. Kehadirannya sudah memberikan banyak kesan terindah.
Hari-hariku tak sepi lagi, aku boleh pergi ke luar rumah asalkan bersama dia. Bibi dan pamanku begitu mempercayainya untuk menjagaku. Selama kami menjalin hubungan, benar sekali dia tak pernah menyentuhku. Paling kami hanya mengobrol saja, jalan-jalan di waktu senggang.
Sepupuku Siska saja sampai terheran-heran jika aku menceritakan hubungan kami. Ia tak percaya sama sekali dengan pernyataanku. Soalnya, dia saja yang masih berstatus sekolah kelas satu SMA sudah beberapa kali ciuman dengan kekasihnya.
Aku terkekeh dengan kepolosan Siska yang mau membuka aib pacarannya kepadaku. Kami dekat seperti Kakak-adik pada umumnya, bahkan jika Bibi mulai mengomeliku. Dia dengan sigap membelaku.
Begitu sudah habis, kami mengobrol-ngobrol seperti biasanya, kami tertawa bersama.
"Sayang, orang rumah pada mau pulang kapan ya?" tanya Kak Adam.
"Katanya sih, besok kalau acaranya sudah selesai." Aku masih bersandar pada bahunya.
"Em ... bagaimana kalau kita melakukannya sekarang saja," ucap Kak Adam yang membuatku terperanjat dari posisiku.