Pelan-pelan ia menurunkan tubuh ini ke kasur. Aku pun segera bangkit untuk mencari pakaian ganti. Rupanya beginilah rasanya kalau kesucian kita direnggut pasangan. Sakit dan nyeri menjadi satu. Pelan-pelan ku melagkah mendekati lemari yang letaknya agak jauh dari ranjang, sekitaran sepuluh kaki.
Ku buka lemari pakaian, mataku berkeliaran mencari pakaian santai untuk ku pakai. Aku mengambil kaos oblong dan celana pendek, tak lupa dengan dalamannya sekalian.
Ia terus memandangiku yang masih pelan-pelan memakai pakaianku. Ia tersenyum begitu hangat. Seperti ini rupanya kalau keinginan seorang pria sudah terpenuhi.
Aku yang masih di depan cermin sambil menyisir rambutku yang jelas masih basah itu. Seketika terkejut melihat ada sesuatu yang aneh dengan leherku. Ku dekatkan bagian leherku itu pada cermin. Ku sentuh leherku yang berwarna merah itu.
"Ini kena apa ya, kok nggak sakit disentuh?" tanyaku pada diriku sendiri bingung.
Kak Adam yang melihat diriku yang benar-benar seperti orang bodoh segera mendekat sambil tersenyum. Ia memelukku begitu mesra dari belakang. Aku pun sedikit terlonjak karena kaget.
"Eh Kak, ngagetin tahu." Pandanganku berbelok mengarah ke wajahnya yang masih tersenyum ceria.
"Hehehe, Kakak perhatikan kamu begitu penasaran dengan itu." Matanya memandangi potret kemesraan kami di cermin.
"Aneh sekali Kak, padahal aku tak merasa ada hewan yang menggigit leherku. Gatal-gatal juga tidak?" tanyaku penasaran.
"Pingin tahu asalnya dari mana?" tanya Kak Adam tersenyum.
"Iya Kak," jawabku santai.
"Baiklah." Bibirnya mulai menyentuh leherku.
"Apaan sih Kak, geli tahu." Aku cekikikan.
Dia tak menggubris sama sekali kegelianku. Ia malah menyesap ceruk leherku cukup kuat.
"Auwww!" teriakku meringis.
"Sakit loh Kak," sewotku kesal.
"Hehehe, coba lihat sekarang bekasnya pasti sama." Ia tersenyum geli.
Ku pandangi kembali leherku, benar sekali ucapannya.
"Berarti yang ini, bekas Kakak gigit juga ya?" tanyaku.
"Yah, benar sekali." Ia tersenyum.
"Tapi, kok aku tadi nggak ngerasain apa-apa sih?" tanyaku bingung.
"Kalau tadikan kita tengah asik memadu kasih jadi nggak kerasa sakit. Rasanya malah enakkan?" tanyanya mengedip-ngedipkan mata.
Aku hanya tersenyum saja agar dia berpikir kalau yang aku rasakan itu sama. Padahal yang aku rasakan hanya sakit bahkan sangat sakit.
"Kakak boleh tidak memintanya lagi besok?" tanyanya yang membuat aku diam seribu bahasa.
"Soalnya, bentar lagi Kakak harus merantau ke luar kota. Ada proyek pembangunan mol di sana. Kakak sama teman-teman dapat tugas dari perusahaan," jelasnya tersenyum.
"Bo-boleh kok Kak," jawabku sedikit ragu.
Aku sangat bingung sekali, jika aku tolak pasti dia sangat kecewa. Jadi, aku turuti saja kemauannya walaupun jujur hati ini sangat bertolak belakang.
"Kakak sayang banget sama kamu, Rin." Ia mencium pipiku sambil tersenyum bahagia.
"Aku juga sayang banget sama Kakak," balasku tersenyum.
"Kakak pulang dulu ya, takutnya nanti ada orang yang curiga kalau Kakak lama-lama di sini. Misalnya, besok Bibi sudah pulang. Kakak ajak kamu jalan-jalan lalu kita itu-tu." Ia tersenyum sambil memandangi potret kami berdua di cermin.
"Iya Kak," jawabku pasrah.
"Assalamualaikum, Sayang." Ia mencium pipiku lagi lalu melepaskan pelukannya.
"Wa,alaikummussalam," balasku tersenyum.
Ia langsung melangkah keluar kamar, ku ikuti langkahnya sampai depan pintu ruang tamu. Ku perhatikan dia yang sedang memakai helm, lalu segera naik ke atas motornya. Ia mulai menyalakan mesin motornya. Ia melihat ke arahku yang masih setia berdiri di depan pintu.
"Jangan lupa dikunci ya pintunya, Kakak pulang sekarang." Satu tangannya ia lambaikan sementara tangan satunya ia gunakan untuk memutar gas motornya.
Aku hanya tersenyum sambil mengangguk.
Motornya mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah. Mataku masih saja mengekori laju kendaraannya sampai benar-benar menghilang. Segera ku tutup pintu rumah dan ku kunci sesuai permintaannya tadi.
Kini aku duduk di pinggiran kasur dalam kamar. Aku mulai terisak-isak mengingat dosa besar yang sudah aku lakukan. Posisiku luruh ke bawah lantai, mengikuti alur hatiku yang begitu rapuh.
Rambut yang tadinya sudah rapih jadi awut-awutan kembali karena aku remas-remas. Gila ... hidup ini memang benar-benar gila. Cinta memang bisa berujung pada berbagai hal negatif. Bukan hanya perzinaan tapi bisa pula kematian. Banyak sekali manusia di dunia ini yang terjerumus karena cinta dan rasa ingin memiliki.
Aku yang terlalu lama menangis tak sadar kalau kini sudah waktunya sholat ashar. Segera ku hapus air mataku, aku mencoba beranjak dari posisiku. Tubuhku begitu lemas dan kepala ini rasanya sangat pusing. Pandanganku sedikit kabur karena aku terlama menangis.
Aku pelan-pelan melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Terlintas sekilas dalam benakku, apakah ibadahku ini akan diterima oleh Allah swt. Aku yang kotor dan dipenuhi dosa ini, berniat menyapa dan mengadu seperti biasanya.
Aku seperti ingin mengurungkan niatku, tapi aku tak perduli dengan itu. Diterima atau tidaknya ibadahku, aku ikhlas. Aku yang sudah selesai mengambil air wudhu segera ke ruangan tempat sholat. Aku mulai memakai mukena dan langsung membaca niat sholat.
Malam harinya, aku yang tak bisa tidur karena suasana hatiku masih sangat kalut. Mencoba untuk berbalas pesan dengan sepupuku. Cukup lama kami berbalas pesan, aku merasa sedikit terhibur. Sayangnya, aktivitas itu terganggu karena Kak Adam menghubungiku. Senyumku sedikit sirna, segera ku angkat panggilannya.
"Halo Sayang ...." Suara merdu itu masuk ke telingaku.
"Ya halo," jawabku.
"Kenapa jam segini kok belum tidur?" tanya Kak Adam.
"Aku belum ngantuk Kak," jawabku.
"Kamu lagi chatting sama siapa?" tanya Kak Adam.
"Sama Siska," jawabku.
"Serius, nggak bohongkan?" tanya Kak Adam belum percaya.
"Iya Kak, emang kenapa?" tanyaku aneh. Tidak biasanya dia berperilaku seperti ini.
"Em ... Kakak takut saja kalau kamu selingkuh," ceplosnya.
"Hahaha." Aku tertawa cukup keras.
"Loh kok ketawa sih," sewotnya kesal.
"Habis lucu sekali Kak, mana ada aku selingkuh. Selingkuh juga sama siapa, nggak punya teman laki-laki aku." Aku masih tertawa.
"Siapa tahu," balas Kak Adam.
"Enggaklah Kak, hatiku ini hanya milikmu seorang. Tak mungkin aku memberikan semua yang aku miliki padamu kalau aku punya selingkuhan," jawabku lirih.
"Oke Kakak percaya sama kamu, kalau begitu sekarang kamu bobok ya. Sudah malam, nggak baik begadang. Apa mau Kakak ke situ buat temani kamu," tawari Kak Adam sedikit tertawa.
"Tidak usah Kak, nanti malah kasus lagi. Aku nggak ingin membuat malu keluargaku. Ya sudah. Aku bobok sekarang ya, assalamualaikum."
"Wa,alaikummussalam." Segera ku matikan panggilan itu.
Ku letakkan ponselku di atas meja dekat ranjang. Aku baringkan tubuhku menuruti permintaannya. Terdengar notifikasi pesan masuk, aku tadi lupa mematikan datanya. Tanganku bergerak meraih ponsel tadi. Ingin ku buka pesan dari Siska tapi nanti Kak Adam curiga lagi. Terpaksa aku abaikan pesan itu, segera ku matikan datanya. Ku letakkan kembali ponselku di atas meja. Mataku memandangi langit-langit kamar. Aku sama sekali tak bisa tidur malam ini.