Tepat pukul sepuluh pagi, aku yang masih duduk termenung di depan televisi. Segera bangkit dari posisi dudukku. Jelas sekali di telingaku suara motor Kak Adam berhenti di depan rumah. Aku segera melangkah ke pintu depan untuk membukakan pintu.
Ia yang baru saja membuka helmnya langsung tersenyum ke arahku. Hatiku merasa sangat bahagia.
"Kamu nggak tidur ya semalam, matamu terlihat merah dan sayup?" tanya Kak Adam sambil turun dari atas motor.
"Hehehe, aku nggak bisa tidur Kak." Aku cengengesan sambil terus memperhatikan ia yang mendekatiku.
"Nanti bagaimana kalau kamu sakit." Kak Adam mencium kening ini cukup lama. Begitu hangatnya hati ini, malah aku merasa ingin tidur di pelukannya untuk menghilangkan rasa kantukku pagi ini.
"Yuk Kak masuk!" ajakku menggandeng tangannya.
Ia hanya tersenyum mengikuti langkahku.
Kini kami duduk di kursi ruang tamu, aku segera bangkit kembali karena aku berniat ingin membuatkannya teh atau kopi.
"Hey, mau ke mana?" Tanganku dicekal ketika hendak melangkah.
"Mau buat minum Kak," balasku.
"Nggak usah Yang, Kakak pingin ajak kamu jalan-jalan keluar. Besok Kakak sudah berangkat merantau. Kita habiskan waktu hari ini bersama, mau ya? Toh Bibi sama yang lain belum pulang." Ia menarikku hingga terjatuh di pangkuannya.
"Ya Allah Kak, pasti sakit sekali pahamu. Aku kan berat," ucapku.
Bukannya menjawab ia malah menyatukan pandangan kami. Aku sedikit gugup dengan keadaan seperti ini. Jantungku mulai berdetak tak beraturan. Hawa mistis mulai menyengat ke tubuhku. Sekilas aku teringat kembali kejadian kemarin. Aku takut sekali, kalau dia akan melakukannya kembali.
Ia tersenyum mesra, perlahan-lahan menyentuh bibir ini. Aku segera memundurkan kepalaku, aku tak ingin ada orang tahu. Pasti ini akan menjadi masalah besar bagi kami.
"Kenapa Sayang?" tanya Kak Adam.
"Jangan di sini Kak, nanti kalau ada orang lewat bahaya. Aku tak ingin mencari masalah," jawabku dengan ekspresi wajah takut.
"Oh, baiklah. Buruan ganti sana, kita keluar yuk!" perintah Kak Adam.
"Iya Kak," balasku tersenyum lalu bangkit.
Aku segera melangkah ke dalam kamarku. Aku bergegas membuka lemari pakaianku. Ku ambil baju atasan dengan celana jins. Aku paling suka bepergian menggunakan pakaian ini. Sangat simpel dan nyaman dipakai, daripada harus menggunakan gaun dan semacamnya.
Ku letakkan baju dan celana itu di atas kasur. Aku mulai membuka pakaianku satu persatu. Begitu terkejutnya aku ketika ada yang memelukku dari belakang. Segera ku lepas pelukan itu.
"Astagfirullahhaladzim Kak, mengagetkanku saja." Nafasku memburu tak beraturan. Pakaian yang sempat ku buka segera ku pasang kembali.
"Hehehe, kamu sih lama banget gantinya." Ia beralasan sambil cengar-cengir.
"Maaf Kak, tadi celananya keselip jadi agak lama ketemunya." Aku menarik kaos yang aku kenakan agar menutupi bagian bawah yang sudah terlanjur terbuka.
"Oh, kalau begitu kita itu dulu ya. Nanti habis itu kita baru jalan-jalan." Ia segera menerjangkan tubuhku ke kasur.
Aku diam tak bisa berkutik, tubuh ini sudah dikungkung olehnya. Dia tersenyum, tangannya mulai menjalar ke segala arah. Tubuhku begitu merinding, ada rasa geli disertai sengatan.
Ini kedua kalinya kami melakukan hal dosa besar itu. Aku mencoba menahan air mata ini agar tak jatuh. Aku mulai mengambil kain untuk menutupi tubuhku yang polos. Aku mulai melangkah ke belakang untuk mandi. Aku tak mungkin pergi keluar dengan keadaan tubuh yang begitu lengket.
Hari ini, langkahku cukup lancar tak seperti kemarin. Ia masih terkulai lemas di kasurku, ia tersenyum puas. Mungkin, sekarang ia masih bahagia karena hasratnya tersalurkan. Berbeda dengan diriku yang batinnya terus menangis.
Cukup lama aku berada di dalam kamar mandi, aku masih menangisi dosa besarku tanpa bersuara sedikitpun. Ku guyur tubuh ini karena aku mendengar ketukan.
"Sayang, kok lama sekali. Buruan nanti keburu matahari tambah terik!" peringati Kak Adam dari depan pintu kamar mandi.
"I-iya Kak!" teriakku sambi terus mengguyur tubuhku.
Aku yang sudah selesai langsung membuka pintu kamar mandi. Ku lihat dia sudah memakai pakaian kembali.
"Kakak nggak mandi dulu?" tanyaku.
"Nggak, nanti saja. Kakak mau cuci muka saja biar fresh. Kamu buruan gantinya, kalau sampai lama. Kita nggak jadi keluar, kita lanjut lagi biat dedeknya." Ia tersenyum genit menggodaku.
"I-iya Kak." Aku segera berlari ke kamarku. Ku kunci pintunya, aku tak ingin dia mengulanginya lagi.
Lima menit berlalu, aku keluar sambil membawa tas cangkleng. Kini aku sudah wangi dan cantik. Aku sedikit memake-up wajahku dengan bedak tabur bayi. Ku lihat dia tangah duduk di kursi sambil fokus dengan ponselnya.
"Sudah. Yuk berangkat sekarang!" Dia bangkit dari posisinya sambil tersenyum. Ponselnya ia kembalikan ke dalam saku jaketnya.
Kami melangkah bersama keluar, tak lupa ku tutup dulu pintunya dan ku kunci. Aku segera nangkring ke boncengan Kak Adam. Ia mulai menyalakan mesin motornya. Sebelum digas motornya, tangannya meraih tanganku. Ia rangkulkan ke perut ratanya.
Aku tersenyum, nyaman sekali berada dengan posisi seperti ini. Ia mulai menggas motornya, motornya mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah.
Ia sengaja tidak lewat jalan depan, ia memilih jalan belakang. Ia malas bertemu dengan tetangga depan yang mulutnya pada rempong.
Dulu saja dia pernah ditegur sama salah satu dari mereka. Ia tak boleh sering-sering main ke rumah bibiku. Padahal dia selalu main ketika rumah sedang ramai orang. Pernah ku dengar cerita Siska tentang mereka yang tidak menyukai Kak Adam. Ada salah satu anak gadis mereka yang pernah ditolak sama Kak Adam. Dari situlah, mereka tak suka dengan Kak Adam.
"Kamu mau jalan-jalan ke mana Sayang?" tanya Kak Adam sambil fokus berkendara.
"Terserah Kakak saja," balasku.
"Kita makan dulu ya, perut Kakak lapar," ucap Kak Adam.
"Iya Kak," balasku.
Kak Adam membelokkan laju kendaraannya ke warteg pinggir jalan. Di sana memang makanannya enak dan sesuai dengan isi kantong. Ia menepikan motornya tepat di samping motor ninja berwarna hijau.
"Kak, ini kayak motor teman kakak?" tanyaku penasaran.
"Iya, pasti dia juga lagi makan-makan sama pacarnya. Besokkan kami harus berpisah sama pujaan hati masing-masing." Kak Adam mencium pipiku sekilas.
"Issttt ... Kakak ini, malu tahu. Nanti kalau dilihat orang bagaimana," sewotku.
"Biarkan, biar orang tahu kalau kamu itu cuma milikku seorang. Aku bisa pastikan mereka tidak akan mendekatimu," ucapnya enteng sambil tersenyum.
"Kalau yang lihat tetanggaku bagaimana coba, yang ada mereka akan mencibir aku. Mereka juga akan mengadu sama Bibi dan Paman," ucapku cemberut.
"Kalau hanya soal itu gampang Sayang. Kakak tinggal saja melamarmu, bereskan." Kak Adam tersenyum genit. Ia mengedip-ngedipkan matanya.
"Oke-oke, aku tunggu lamaranmu nanti kalau Bibi sudah pulang." Ku tantang Kak Adam.