Chereads / Pakai Rasa / Chapter 3 - Hilang

Chapter 3 - Hilang

Degggg ... detak jantungku yang mulai setabil akibat kami mengobrol cukup lama kini kembali berdetak cepat. Aku diam seribu bahasa, bingung harus menjawab apa. Tak mungkin, rumah yang bersih tanpa noda maksiat ini aku jadikan tempat ritual pemuas rasa.

Aku sungguh tak menyangka kalau ide kotor itu akan muncul di persinggahan bibiku. Sebenarnya apa yang sudah merasuki jiwanya. Kenapa bisa dia mengutarakan keinginannya yang buruk itu sekarang. Bukannya tadi dia sudah membuat kesepakatan bahwa sehabis magrib dia mengajakku keluar. Apa dia sudah tak sabar lagi ingin memenuhi hasrat gilanya itu.

"Hey, kok malah diam. Kamu melamuni apa sih?" Dia terlihat sedikit kesal. Dari nada biacaranya yang naik setengah oktaf.

Yah benar sekali lamunanku langsung buyar seketika mendengar nada ngegasnya itu.

"Kalau kamu tak mau ya sudah. Lebih baik aku pulang saja. Nanti habis magrib aku jemput kamu." Dia beranjak dari posisinya. Wajahnya masam nada biacaranya sangat tak enak di dengar.

"Ja-jangan marah Kak, baiklah. Tapi, bagaimana kalau nanti ada orang yang tahu. Kita pasti akan menerima hukuman, kita akan diarak keliling desa tanpa sehelai benang pun sebagai penghalang. Belum lagi, pasti orang tua kita akan menerima malunya karena perbuatan kita." Aku mencoba membuatnya mengerti. Kalau dalam istilah yang tepat sih, menolaknya secara halus. Semoga saja dia paham dan tidak marah lagi.

"Kalau soal itu kamu tenang saja. Rumah ini berada di ujung, tidak ada rumah juga di samping kanan, kiri, depan belakang. Jadi, pasti aman. Jam segini juga mereka pasti pada tidur siang. Mau ya, Kakak sudah nggak sabar pingin honeymoon sama kamu." Ia duduk kembali lalu menggenggam kedua tanganku. Ia memasang wajah seperti anak kecil yang tengah merayu ibunya. Huh, ini sangat membuatku sedih dan tak berdaya.

"Tapi, nanti kalau aku sampai hamil gimana Kak?" tanyaku dengan pandangan mengarah ke bawah. Ku lihati kaki meja yang dipenuhi debu. Maklum ini masih musim kemarau, jadi banyak debu yang berlalu lalang menempel kesembarang tempat.

"Kalau kamu hamil, kita akan menikah. Aku akan bertanggung-jawab karena benih yang tertanam pada rahimku merupakan darah dagingku. Kamu tak usah takut." Dia meletakkan wajahnya bersimpuh di genggaman tangan kami.

Cukup lama aku berpikir, air mata ini sudah tak bisa dibendung lagi. Bahkan air mataku sampai membasahi rambutnya yang lebat dan hitam.

"Sebenarnya, aku meminta hal ini juga sebagai pembuktian bahwa kamu masih suci atau tidak. Aku tak ingin kecewa, takutnya nanti ketika aku dan kamu sudah resmi menikah lalu ternyata kamu sudah tak suci lagi. Pasti hal itu akan membuat rumah tangga kita kacau," Ia menjelaskan secara detail.

"Baiklah, tapi Kakak janji ya jangan pernah tinggalin aku." Nada suaraku serak-serak basah.

"Alhamdulillah, yuk." Dia tersenyum semangat. Dia bangkit dari posisinya, ia segera membopong tubuhku yang membuat aku begitu terkejut. Tubuhku begitu bergetar, ada seulas senyum di bibirku. Entah itu senyum bahagia atau senyum sedih, aku tak bisa menjelaskannya.

"Ya Allah Kak, turunin saja ih. Aku ini berat loh, nanti tangan kakak capek gimana." Aku menatap wajah gembira.

"Tidak, kamu tidak berat. Malah Kakak berasa kayak bopong guling sangat enteng," balasnya tersenyum.

"Masa sih, waktu itu saja bobotku 38 kg. Pastilah berat Kakak, sudah turunkan saja di sini. Biar aku jalan saja ke kamarnya," ucapku tersenyum.

"Nanti Kakak turunin kalau sudah sampai kamar, nih kita sudah sampai kamarmu." Langkahnya menerobos tirai penutup pintu kamarku.

Matanya tertuju pada ranjang yang biasa aku gunakan untuk mengistirahatkan tubuhku. Dengan pelan-pelan ia meletakkan tubuh ini di kasur empukku. Ia menyingkirkan helaian rambut yang menutupi pandanganku. Detak-detak jantungku mulai tak setabil lagi.

Ada rasa hangat menerima semua perlakuan lembutnya ini. Perlahan ia mengangkat tubuhku agar duduk, dia pun ikut duduk di dekatku. Wajahnya mulai maju mendekati wajahku, hembusan nafasnya langsung masuk ke saluran pernafasanku. Bisa dibilang sih, oksigen yang aku hirup saat ini berasal dari dirinya.

Matanya yang begitu bening membuatku mulai merasa ada desiran-desiran cinta yang merasuk di jiwaku. Mataku mendelik ketika ia mulai menyatukan bibir kami. Akhirnya, kesucian bibir ini telah sirna dimakan cinta butaku.

Cukup lama dia bermain-main di sana. Kini tubuhku mulai menegang, tangan nakal itu mulai merajalela kesegala arah. Aku hanya diam saja menerima semua kegiatannya. Dia yang sudah terbakar api asmara. Segera melanjutkan aksinya sampai semuanya berakhir dengan air mataku yang terus mengalir.

Rasa sakit menjalar di sebagian tubuh dan hatiku. Ku pandangi wajah dan tubuhnya yang dipenuhi peluh keringat. Ia tersenyum hangat, lalu mencium kening ini cukup lama.

"Terima kasih, kamu memang gadis sempurna. Kesucianmu hanya milikku seorang," ucapnya dengan nada begitu lembut sambil tersenyum puas. Aku mencoba untuk tersenyum di depannya.

"Pasti sakit sekali ya rasanya?" Ia menghapus aliran air mataku.

Aku hanya mengangguk saja, aku tak bisa berkata-kata. Aku sekarang merasa sangat hina, aku bukan wanita baik-baik lagi.

"Mandi yuk, pasti tubuhmu begitu lengketkan?" tanya Kak Adam sambil bangkit dari atas tubuhku.

Aku mengangguk sambil berusaha tersenyum seolah aku ikhlas menerima semua perbuatannya. Aku segera menarik selimut untuk menutupi tubuh polos ini. Kakiku mulai menapak di lantai.

Baru saja aku ingin melangkah, nyeri dan sakit begitu terasa. Aku meringis tak sanggup melangkah.

"Sini biar Kakak bantu, pasti sakit sekali rasanya." Ia mendekatiku.

"I-iya Kak," ucapku meringis.

Dengan tersenyum bahagia, ia membopong tubuh ini ke kamar mandi belakang. Ia menurunkan tubuh ini pelan-pelan. Aku terdiam menunggu dia keluar dari kamar mandi.

"Loh kok malah diam, buruan mandi. Kakak juga mau mandi sekalian, kita mandi bareng saja biar cepat selesai." Ia menarik selimut yang menutupi tubuhku.

Ia melemparnya ke gantungan handuk. Ia menyiram tubuhnya dengan segayung air. Aku masih saja diam terpaku, melihat jelas bentuk tubuhnya yang atletis itu. Ia menghentikan aktivitas mandinya, ia meletakkan gayung itu.

Dengan tersenyum ia mendekatiku. Tak kusangka ia menginginkannya lagi. Aku pasrah dengan perlakuannya, aku sama sekali tak merasakan nikmat seperti yang orang-orang bilang. Yang aku rasakan hanyalah sakit saja.

Kak Adam yang sudah merasa puas dengan aktivitas keduanya segera mengguyur tubuhnya terlebih dahulu. Ia menyabuni seluruh tubuhnya Lalu membilasnya kembali sampai bersih. Aku masih saja berdiri di tempat memandanginya.

"Sekarang Kakak sudah selesai, sini gantian biar Kakak yang memandikanmu." Tangan kokohnya menarik tanganku pelan agar mendekat.

Aku hanya tersenyum saja menuruti kemauannya. Sungguh di luar dugaan, ia memperlakukanku seperti seorang ratu kayangan. Dengan pelan-pelan ia mengguyur tubuhku, menyabuni setiap inci tubuhku, dan yang terakhir dia membasuh tubuhku sampai tidak ada sisa-sisa sabun di tubuhku.

Ia mengambil handuk lalu melilitkannya ke tubuhku. Lagi-lagi ia membopong tubuh ini kembali ke kamarku. Selama dia melangkah aku terus memperhatikan wajahnya yang sungguh ceria. Ada rasa senang dan ada sedih di dalam hatiku.