"Eeem...."
Aku sekarang duduk di tepi kasur, dengan cewek kasar ini duduk di kursi di depanku. Aku merasa tidak nyaman karena mata cewek ini menatapku semua anggota tubuhku. Dia menatapku dari ujung kepala, turun ke jari kaki, naik lagi ke atas kepala. Begitu terus berkali kali, seolah olah dia mencari sesuatu dalam diriku atau mungkin hanya ingin melucuti ku. Ini membuatku sangat tidak nyaman.
Sambil mengelus pipiku yang masih terasa sakit dan agak membengkak, aku balas menatap seluruh tubuhnya. Dia jauh lebih cantik dari ilustrasi di game 'The Another World'. Hanya saja dia terlihat lebih muda dan ekspresi nya tidak sedingin ilustrasinya. Dia juga tidak memakai baju tempur dan senjatanya, menandakan dia sekarang belum resmi menjadi seorang petualang. Aku masih mengingat deskripsi dan informasi tentang dirinya di dalam game itu.
[ (Informasi Karakter)
Diajeng Kinanti.
Umur : 19 tahun.
Kekuatan Element : Angin.
Role : Assassin.
Tittle : 'The Wind Killer'.
Kekuatan serangan. : Tinggi.
Kekuatan pertahanan : Rendah.
Pertahanan sihir. : Sangat rendah.
Kekuatan Skill : Sangat tinggi.
Total Stat. : Tinggi.
Latar Belakang:
Anak dari pasangan bangsawan Amir Witoyo dan Ayu Dinanti. Dia juga seorang Assassin yang terkenal dan ditakuti oleh banyak lawannya. Dengan kekuatan angin, dia mampu menyelinap ke barisan belakang lawan dengan cepat dan membunuh lawannya dalam sekejap mata. Dia juga bisa membuat lawannya terpencar dan terlempar kesana kemari dengan kekuatannya. Awalnya, dia termasuk petualang yang baik dan dapat diandalkan, tapi setelah kehilangan seseorang yang berharga baginya, dia berubah menjadi pembunuh berdarah dingin yang tak akan segan menghabisi musuhnya dengan kejam. Saat ini, dia telah menjadi buronan tertinggi dan diincar seluruh kerajaan karena telah berkali kali berusaha membunuh Putra Mahkota. ]
Pertama kali membacanya, aku menelan ludah. Dia mengerikan, apalagi ilustrasinya yang berwajah dingin dan menggenggam belati yang terbuat dari angin. Terdapat bercak darah di seluruh jubah putihnya dan wajahnya semakin membuatku merinding. Sehingga aku sama sekali tak membayangkan akan bertemu dirinya yang masih baik dan polos.
Wajahnya masih menyapu tubuhku dengan wajah cemas. Sama sekali tak terlihat tanda pembunuh kejam dalam dirinya. Ini membuatku penasaran. Apa yang menyebabkannya berubah menjadi pembunuh? Siapa seseorang yang sangat berharga baginya itu? Apakah itu keluarganya? Kenapa dia bisa kehilangan orang yang berharga baginya? Dan kenapa dia mengincar Putra Mahkota untuk dibunuh? Apakah Sang Putra Mahkota yang telah membunuh orang yang disayanginya?
"Hei.."
Gadis di depanku tiba tiba mengeluarkan suara, membuat semua lamunanku buyar.
"Apa kau ingat dimana kau sekarang?"
Aku tak tahu apa apa selain informasi beberapa karakter. Apalagi aku telah merasuki karakter yang informasinya tidak jelas. Aku pun membuka suara, "Maaf, aku tak mengingat apapun."
"Haaaah." Dia menggaruk kepalanya dengan putus asa. "Ternyata perkataan ibumu benar. Dia mengatakan kamu telah sadar tapi tak bisa mengingat apapun. Pantas saja tadi dia mencari tabib dengan panik. Aku juga disuruh datang untuk menjagamu."
Aku merasa sedikit bersalah. Tapi, aku sama sekali tak menyangka kalau ternyata Ajeng kenal dengan karakter Sekar. Bahkan sepertinya cukup akrab. Aku memutuskan untuk menanyakan sendiri padanya, "Dan... Kamu siapa?"
Dia menatapku dengan ekspresi tak terbaca, "Hei! Bisa bisanya kau melupakan sahabat satu satumu yang imut ini! Kau lupa? Aku ini ratu dan kau adalah hambaku yang setia!"
Ucapannya terdengar meyakinkan, kecuali bagian yang terakhir.
"Maaf telah melupakanmu, Ratuku. Tolong jangan penggal kepala hamba."
Dia tertawa geli. "Hihi...maaf, maaf. Bercanda doang kok. Ayo kita mulai dari awal lagi." Ajeng mengangkat tangannya dan menaruhnya di depanku. "Hai, namaku Ajeng. Orang tuaku merupakan salah satu anggota Bangsawan 'The Evil Slayer', Bangsawan penguasa ilmu pedang dan kebanyakan menjadi Ksatria kerajaan. Cita citaku ingin menjadi Kepala Pasukan Kerajaan loh. Keren kan? Aku ingin kita berteman dan menjadi lebih akrab dari sebelumnya."
Aku tersenyum dan meraih tangannya. Kami saling bersalaman sekarang. "Hai juga. Salam kenal. Namaku Sekar dan aku sangat senang bisa berteman denganmu."
Ajeng mengangkat alisnya. "Udah? Gitu doang?"
"Kau mau apa lagi? Apa aku harus menjilati sepatumu?"
"Haaaah...Oh iya. Kan kamu sedang lupa ingatan. Biasanya, kamu akan....."
Sebelum Ajeng selesai berbicara, terdengar suara orang yang memasuki ruangan. Aku melihat ibuku berjalan mendekat dengan seorang pria tua tengah berjalan dibelakangnya. Setengah kepala pria itu botak dan wajahnya dipenuhi kumis dan janggut. Dia memakai jubah putih polos yang cukup indah sambil menenteng sebuah kotak besar. Dia tersenyum ramah saat melihatku.
"Nona muda. Aku senang kau akhirnya berhasil bangun dari koma. Apa yang kau rasakan sekarang? Apakah ada yang sakit?"
Nona muda? Ah iya, aku kan bangsawan sekarang. Kalau begitu, pria ini adalah seorang tabib.
"Tidak,kok. Aku merasa baik baik saja."
"Baiklah, Nona. Saya akan memeriksa anda sekarang."
Dia menaruh tas besarnya dan membukanya. Isinya membuatku tercengang. Satu sisi berisi berbagai macam alat kedokteran yang terbuat dari perak, sedangkan satunya dipenuhi berbagai daun obat obatan dan ramuan. Dia mengambil beberapa alat dan mulai memeriksaku dengan teliti. Mulai dari mata, mulut, tangan, kaki, pernafasan, detak jantung, tulang dan sebagainya.
Setelah 10 menit, dia menaruh kembali semua alatnya ke tas dan melihat ibu. "Ini sungguh keajaiban, Nyonya. Tubuhnya sangat sehat dan tak ada tanda tanda luka atau penyakit di dirinya, seakan akan dia terlahir kembali."
"Tapi dia tidak bisa mengingat ku."
"Oh, ya?" Tabib itu melihat ke arahku. "Maaf, Nona. Apa anda ingat nama saya?"
"...Tidak..."
"Ok, fix. Nona muda telah terkena amnesia."
Bagaimana kau bisa menyimpulkannya semudah itu?
Tabib itu mengambil salah satu botol besar dari dalam tasnya. Menuangkan isinya ke gelas dan menyodorkannya padaku. "Maaf, tapi tolong minum jamu ini, Nona muda."
Aku melihat gelas yang berisi air berwarna kecoklatan ini. Mencium baunya saja membuatku ingin melemparnya jauh jauh. Bau berbagai macam rempah yang sangat pedas dan menyengat. "Maaf, apa aku harus meminum ini?"
"Ya, harus! Demi kesehatan anda! Anda baru bangun dari koma hingga tubuh anda sangat lemas sekarang." Jawab tabib itu dengan tegas.
Aku menatap Ajeng dan Ibu, untuk meminta tolong. Tapi mereka malah menatapku dengan tegas. Mata mereka seolah membetakku untuk segera minum. Aku meringis kesal. Tak ada pilihan lain.
Segera, kuminum jamu itu. Kupaksakan habis dalam sekali minum. Rasanya sangat pahit dan pedas. Lidahku seakan mati rasa. Setelah habis, aku memergoki mereka bertiga melihatku sambil tersenyum. Kalian senang melihat aku menderita?
Tabib itu berbalik dan berbicara pada ibu. "Tubuhnya sehat dan tak ada yang perlu dikhawatirkan, Nyonya. Tinggal makan yang banyak, istirahat dan minum ramuan herbal dia benar benar akan pulih. Tentang amnesianya, itu bisa pulih seiring waktu. Nyonya bisa menceritakannya supaya Nona lebih cepat mengingatnya. Jika ada yang salah, Nyonya bisa menghubungi saya secepatnya."
"Baiklah. Terima kasih."
Tabib itu mengangguk. Dia kemudian mengambil 3 botol besar berisi jamu yang warnanya sama persis dengan jamu yang barusan kuminum. Dia memberikan 3 botol itu pada Ajeng. "Pastikan Nona muda meminum ini 1 gelas 3 kali sehari."
Ajeng yang menerimanya pun menatap 3 botol yang berada di pelukannya, lalu pindah menatap tabib, dan kemudian melihat ke arahku. Aku bisa melihat wajahnya membentuk ekspresi seringai yang menyebalkan. Sial, perasaanku benar benar tidak enak.
"Siap, wahai tabib. Saya akan pastikan 'Nona Muda' meminumnya setiap hari" Dia berkata dengan sangat riang dan ceria. Tabib pun membalasnya dengan anggukan ramah. Sial, kalian berdua sepakat untuk menyiksa ku?
"Hei, aku tak membutuhkan itu! Badanku benar benar sehat, oke? Jadi aku tak perlu meminum itu!"
Setelah aku meneriakkan itu, ibu mendekat dan membelai rambutku. "Itu demi kesehatanmu, nak. Jangan pikirkan itu dan istirahatlah sekarang. Saat waktunya makan siang, ibu akan membangunkanmu. Kamu harus banyak makan dan istirahat ya."
Ibu mengecup keningku. Aku benar benar tak bisa melawannya. Aku hanya diam dan tersenyum.
"Ajeng, apakah kamu mau pulang sekarang?"
"Bolehkah saya disini dulu, Tante? Saya ingin memastikan bocah ini beristirahat dengan aman dan tidak terjadi apa apa lagi padanya."
"Kau benar benar teman yang baik. Baiklah. Pastikan dia istirahat dengan benar ya. Tante mengandalkan mu."
"Siap Tante! Saya akan memastikan dia cukup tidur dan meminum jamunya."
Kau hanya ingin memastikan aku melakukan hal yang kedua kan....
Ibu kemudian tersenyum dan melangkah keluar bersama tabib. Pintu ditutup dengan lembut dan suasana kembali hening.
"Nah, nona muda." Ajeng melihatku sambil mengatakan sesuatu dengan nada yang menyebalkan. "Saya akan berjaga di sekitar nona, jadi nona muda bisa beristirahat dengan nyaman."
"Kenapa kau harus repot-repot melakukan ini? Pulang sana dan lakukan kegiatanmu."
"Tapi aku tidak mau". Ajeng naik ke atas kasur dan mendorong kepalaku ke bantal serta meluruskan kakiku. "Kenapa? Karena aku sahabatmu. Tentu saja."
Dia kemudian menarik selimut hingga menyelimuti tubuhku. Wajahnya membentuk senyum sedih. "Dan...aku sudah lama menunggumu bangun. Aku tak akan membiarkan sesuatu terjadi padamu lagi."
Aku tercengang. Tak kusangka ternyata karakter Sekar bersahabat dan benar benar akrab dengan Ajeng. Aku merasa bersalah. Bagaimana perasaannya kalau dia tahu aku bukan Sekar yang asli?
"Apa yang terjadi padaku sebelum aku koma?"
"Kau istirahat dulu. Setelah itu baru kuceritakan." Ajeng membelai rambutku dengan lembut sambil bersenandung. Nyanyian nya sangat lembut dan menenangkan, membuat mataku menjadi berat. Aku tak kuat menahan semua kenyamanan ini dan akhirnya jatuh tertidur
Sebelum kesadaran ku hilang sepenuhnya, aku mendengar suara lembut yang samar samar. "Istirahatlah yang nyenyak, wahai penyelamat hidupku."