Pluk!
Pagi itu, Nadia sedang menikmati sarapan mewahnya di restoran dekat tempat dia menginap. Rambut merah panjangnya berkibar saat angin musim panas berhembus, jemari lentiknya terlihat cantik saat meletakan cangkir kopinya.
Sebuah amplop berwarna cokelat terlihat dilempar begitu saja di atas meja makannya. Mata ungunya melirik ke dua sosok wanita yang tengah berdiri dihadapannya. Wanita kembar itu terlihat terkejut saat menatap wajah Nadia, mereka tahu, dari sorot mata yang tajam itu, wanita bermata ungu itu memberitahu bahwa sesi sarapannya telah terganggu.
"Kami telah melakukan apa yang telah kau minta." Kata Jenny mencoba untuk menguatkan dirinya.
"Sekarang berikan uang yang kau janjikan kepada kami." Jessy menambahkan.
Nadia menelan kopi yang sempat dia simpan di dalam mulutnya, sebelum akhirnya mengangkat tangan kanan dan mengayunkannya tepat ke arah dua kursi yang ada di hadapannya.
Senyuman licik terlihat menyungging dari wajah cantik khas itu, "mengapa terburu-buru? Duduklah dulu."
Jessy dan Jenny saling berpandangan, seolah-olah sedang berdiskusi melalui telepati. Mereka menimbang-nimbang apakah sebaiknya mereka menerima tawaran Nadia atau tidak. Sementara yang memberikan tawaran terlihat sangat anggun dan tenang menikmati kopi pahitnya.
Grek! Grek!
Nadia melirik, rupanya si kembar itu telah memutuskan untuk menerima tawarannya duduk di kursi dan bersantai. Meskipun sebenarnya wajah mereka terlihat sangat tidak nyaman. Jessy terlihat sangat was-was, matanya terlihat melirik ke sekeliling restoran, takut kalau-kalau ada yang memergoki mereka. Sementara Jenny terlihat gugup, tubuhnya terlihat tegang.
Jessy mendorong amplop itu ke tengah dan berkata, "sesuai yang kau minta. Kami mengikuti Lucy hingga ke hotel tempatnya menginap dan menangkap beberapa foto menggunakan kamera polaroidnya."
"Di dalamnya terdapat kamera pengawas yang kau pasang di kamar hotel itu. Gigolo yang merayunya semalam sudah memberikannya kepada kami." Imbuh Jenny.
Nadia meletakan cangkir kopinya, bibir merah seksi itu kembali melengkung, "kalian telah bekerja dengan baik, terima kasih."
Tangannya terulur mengambil tas bermerk E.T yang dikenal edisi terbatas, melihatnya saja membuat si kembar membelalakan matanya. Saat hendak mengeluarkan sebuah amplop upah si kembar, wanita itu kemudian teringat akan sesuatu dan kembali memasukan amplop itu.
"Sebelum kalian menerima upah, ada beberapa pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada kalian." Kata Nadia lagi.
"Apa lagi?" tanya Jenny malas.
"Apakah sebenarnya Lucy masih mencintai Dylan?" tanya Nadia.
Jenny melirik ke arah saudari kembarnya, wanita itu tidak menyangka jika Nadia bisa merubah moodnya dengan secepat ini.
Awal mereka bertemu dengan Nadia adalah saat wanita itu memergoki mereka sedang membicarakan Lucy di toilet sebuah club malam. Wanita berambut merah itu tidak hanya menguping, tapi juga merekamnya. Lalu, entah mendapat informasi dari mana, Nadia tahu bahwa Jenny dan Jessy juga merupakan seleb photosgram yang memiliki ratusan ribu followers.
Selanjutnya, tentu saja Nadia mengancam mereka dengan bukti rekaman percakapan antara dua bersaudara kembar itu. Tidak ingin image persahabatannya tercoreng di media sosial, mau tidak mau, Jenny dan Jessy harus mengikuti perintah Nadia. Tapi bagusnya, wanita bermata ungu itu berjanji memberikan uang atas usaha mereka.
"Lucy tidak benar-benar mencintai suaminya, dia sendiri yang bilang kepada kami sebelumnya." Ucap Jessy menjawab pertanyaan Nadia.
"Kalau kau perlu mendengar darinya sendiri, kami memiliki rekamannya di dalam amplop ini. Tenang saja, dia mengatakannya secara sadar, dia tidak sedang dalam pengaruh alkohol." Imbuh Jenny menguatkan opini saudari kembarnya.
Nadia tersenyum lagi, kemudian mengeluarkan amplop tebal upah untuk si kembar, setelah itu ia menunjukan layar ponselnya yang tengah dalam proses menghapus rekaman percakapan Jenny dan Jessy yang kontroversi itu.
Jessy mengambil amplop itu dan memeluknya, "terima kasih." Kemudian wanita itu mengeceknya.
"Kalau begitu kami akan pergi." Kata Jenny yang kemudian beranjak dari tempat duduknya.
Mata ungu cantik itu menatap kepergian Jenny dan Jessy yang terkesan tergesa-gesa. Nadia menghela nafasnya, kemudian memasukan amplop hasil kerja si kembar ke dalam tasnya. Ia kemudian melanjutkan sarapannya.
Ting!
Belum sempat mengunyah rotinya dengan benar, ponsel Nadia kembali berbunyi. Notifikasi pesan masuk dari seseorang yang bernama 'Raiden'. Ia kemudian membersihkan tangannya dari serbuk roti sebelum akhirnya mengambil ponselnya.
Dari : Raiden : Data mutasi rekening yang dipakai oleh Lucy telah kudapatkan. Cek emailmu.
Jemari cantik Nadia terlihat lincah mengetikan balasan, sebelum akhirnya dia meletakan kembali ponsel di sebelahnya dan menikmati sarapannya.
Untuk : Raiden : Ya. Aku akan kembali esok pagi.
*
Begitu tiba di kamarnya, tanpa melepas pakaiannya, Nadia langsung menyambar ke arah laptop. Dia ambilnya flashdisk kecil berwarna hitam dari dalam amplop. Menurut si kembar, seluruh video rekaman semalam, lalu rekaman pembicaraan Lucy dan teman-temannya juga ada di dalamnya. Tidak hanya itu, di dalamnya juga terdapat beberapa bukti perselingkuhan serta tangkapan layar dari akun media sosial Lucy.
Nadia menggaruk pelipisnya saat melihat isi bukti-bukti yang cukup valid, ditambah dengan email yang diberikan oleh Raiden barusan. Harusnya ini sudah cukup untuk menggugat Lucy ke pengadilan dan membujuk Dyan untuk menceraikan istrinya.
Jemari lentiknya mengetuk touchpad laptopnya untuk melihat salah satu video yang menurutnya menarik. Itu adalah video yang memperlihatkan kejadian semalam.
Malam itu, Nadia masih teringat bagaimana dia sedang menahan emosinya saat melihat Lucy dan Simon berciuman layaknya sepasang kekasih. Rupanya alkohol berhasil membuktikan betapa liarnya Lucy Hamish saat bercumbu. Wanita itu berani menaiki tubuh Simon sembari terus mengulum bibir si gigolo.
Nadia tidak akan pernah melupakan bagaimana pemandangan malam itu. Rasa jijik, marah, kecewa, bercampur dari dalam dirinya. Kemudian, munculah setitik rasa bersalah yang menghancurkan perasaannya. Andai saja dia tidak menghapus rasa curiganya dulu, sudah pasti kakaknya bisa bahagia. Andai saja dia lebih peka dan berniat untuk mencari kebenarannya, maka Dylan tidak harus menanggung beban kerugian finansial dan juga mental seperti ini.
Dilihatnya wajah Lucy yang terlihat sangat bahagia dengan teman-temannya. Foto-foto flexingnya yang beredar di sosial media, lalu caption yang tertulis 'Lucy the independent woman', dan juga beberapa bukti dia menanggapi komentar para seleb pria lainnya.
Nadia membandingkan foto Lucy dengan foto Dylan yang dikirimkan oleh kakaknya kemarin. Jelas terlihat sekali perbedaannya. Lucy terlihat sangat bahagia, lebih bersinar, lebih sehat, dan juga bersemangat. Sementara Dylan terlihat lesu, wajahnya yang senantiasa terlihat lelah masih dipaksa harus tersenyum, kerutan penuaan dini terlihat di bagian bawah jidat dan dagunya, tidak hanya itu, lingkar mata pandanya juga terlihat cukup jelas.
Melihat ketidakberdayaan sang kakak membuat Nadia semakin kesal. Ia mengepalkan tangan kanannya kuat-kuat. Muak dengan wajah, suara, dan kepalsuan Lucy, wanita berambut merah itu kemudian menutup laptopnya.
"Dasar wanita jalang!" geramnya sembari menggebrak meja, "kita lihat seberapa banyak kau bisa memajang wajah palsumu di sosial media."
*
Malam itu, Nadia sedang sibuk mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Wanita berambut merah itu juga berbicara melalui ponsel yang dia tempelkan ke telinganya. Rupanya dia sedang menelepon seseorang.
"Teman-temannya telah mengetahuinya tapi diam saja," kata seorang wanita dari seberang sana, "ada dua kemungkinan, bisa jadi mereka segan dengan Lucy yang sering menraktir mereka, atau mereka memang masa bodoh dengan latar belakang Lucy. Yang jelas mereka bisa menikmati kemewahan dan kenikmatan dari teman mereka itu."
Nadia menuliskan sesuatu pada note sebelum akhirnya menjawab, "aku rasa memang benar begitu."
"Setelah kau mendapatkan semuanya, apa rencanamu selanjutnya, Nadia?"
Nadia terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, "mungkin aku akan memberikan sedikit kejutan untuk si selebriti kita ini. Oh, tidak, aku akan menganggapnya sebagai servis khusus untuk Dylan. Tolong sambungkan aku ke Raiden."
"Sekarang?" tanya wanita itu.
Nadia mengangguk, "yup!"
"Ini sudah larut, Raiden pasti sudah tidur." Terdengar suara ketikan keyboard dari seberang sana.
"Kurasa tidak, dia sering tidur menjelang subuh, sambungkan saja." Jawab Nadia smbari melirik ke arah jam yang ada di meja nakas. Jam saat itu menunjukan pukul dua pagi, masih ada kemungkinan Raiden belum masuk ke dunia mimpi.
"Baiklah, akan kusambungkan, tunggu sebentar." Kata wanita itu dari seberang sana. Detik berikutnya terdengar sebuah suara sambungan yang sedang mencoba untuk menghubungkan, lalu sebuah suara telepon yang diangkat, "oke, sudah tersambung."
Nadia menyesapi kopinya, "oke, terima kasih, Emma."
Wanita yang bernama Emma itu tidak menjawab, namun digantikan oleh suara seorang pria yang terdengar berat, "halo." Jawabnya.
"Raiden-"
"Apa, Nadia?" jawab Raiden memotong ucapan Nadia.
"Aku minta bantuanmu sekali lagi."
Raiden menghela nafasnya, "apa?"
"Kali ini permintaannya cukup sulit, tapi ini adalah keahlianmu." Ucap Nadia lagi sembari mengetikan sesuatu di ponselnya.
"Apa?" tanya Raiden lagi. "Cepat, aku ingin tidur lebih awal hari ini."
"Aku mengirimkan email untukmu, buatkan aku sebuah tampilan yang keren dan bagus dengan bahan-bahan itu." Senyum Nadia.
Hening sejenak.
"Kau ingin aku membuat film dokumenter atau bagaimana?" Raiden tertawa kecil diseberang sana. Rupanya dia telah mengecek isi emailnya.
Nadia menggelengkan kepalanya, "tidak selama itu. Buat saja ringkas, padat, dan berisi. Lalu berikan sedikit bumbu-bumbu khas wartawan gosip."
"Astaga, apa ini perlu?"
"Ya. Aku akan menunggu hasilnya."
"Oke baiklah."
"Aku serahkan padamu, Raiden."
"Ya."
Klik!
Nadia menegenggam erat ponselnya, dilihatnya layar laptopnya dengan penuh senyuman. Selama seharian ini, dia telah menyusun semua bukti dan kronologi kejadian dalam satu file. Ia juga telah membuatkan sebuah dokumen pendukung untuk memperjelas. Wanita itu kemudian menekan tombol save.
"Bagus." Senyumnya.
*
Dylan Hudson terlihat sedang duduk termenung di dalam ruang kantornya. Setelah mengikuti rapat yang diadakan pagi-pagi, dia sedikit terkejut dengan hasil laporan penjualan produk unggulannya. Angkanya merosot, tidak terlalu tajam, tapi terjadi secara konsisten sejak tiga bulan yang lalu. Kemudian, beberapa tagihan kartu kredit bermunculan yang membuatnya cukup pusing.
Lucy, istrinya, mengatakan akan menghadiri pesta bersama dengan teman-teman semasa kuliahnya di Hawaii, namun, dia tidak memiliki gaun yang pas untuk pesta itu. Saat Dylan mencoba untuk membujuk istrinya agar dia bisa ikut, Lucy menolaknya dengan lembut. Menurut sang istri, hanya satu orang yang boleh datang. Untuk itu, Dylan memberikan kartu kreditnya agar sang istri tidak kesulitan di negeri orang nanti.
Tapi sialnya, sang istri tidak bisa dihubungi sejak kemarin malam. Ponselnya mati dan tidak bisa dilacak keberadaannya. Padahal hanya Lucy tempatnya bersandar disaat-saat seperti ini.
Jantungnya berdebar kencang, keringat dingin mulai bermunculan, nafasnya perlahan terengah-engah tanpa sebab. Ini adalah salah satu gejala putus obatnya.
Dylan mencoba mengambil segelas whiskey untuk menenangkan dirinya, namun tangannya terlalu lemas. Dilihatnya ponselnya yang berbunyi di sebelahnya, rupanya ada telepon masuk dari sang adik.
Nadia, adik kesayangannya, satu-satunya keluarga yang dia miliki sedang mencarinya. Tapi, Dylan tidak bisa menunjukan sisi lemahnya seperti ini. Dia tidak ingin sang adik tahu dan berakhir menganggu proses perkuliahannya. Untuk itu dia mengabaikan telepon itu sembari terus melawan penyakitnya ini.
Kriet!
Tiba-tiba suara pintu terbuka mengagetkan Dylan yang tengah mencoba untuk menutup matanya. Sebuah langkah kaki sepatu terdengar memekakan telinga. Sorot mata Dylan mulai melemah, dilihatnya sesosok tamu yang tidak diundang itu.
"Kau mulai mengabaikan teleponku, Dylan?"
Dylan membelalakan matanya, "Nadia."
-Bersambung ke Chapter 04-