Chereads / LIPS ON LIPS / Chapter 6 - 06 | LUCY HAMISH (3)

Chapter 6 - 06 | LUCY HAMISH (3)

Bukan, ini bukan kali pertamanya Lucy mendapatkan komentar buruk selama beberapa tahun ini. Mungkin komentar buruk yang dia terima tidak jauh dari rasa iri dan dengki mereka saat melihat postingan photosgramnya, tapi bisa-bisanya para haters ini berkomentar dia telah bersuami.

Ya, bukannya bodoh, Lucy juga menyadari dia ini telah bersuami, tapi, masalahnya adalah tidak ada yang tahu kalau dia itu telah menikah, hanya segelintir orang dekat yang benar-benar dipercaya yang tahu.

Dasar menyebalkan, Lucy kemudian melaporkan komentar itu ke pihak photosgram dengan alasan komentar buruk yang tidak pantas. Yang benar saja, moodnya seketika semakin memburuk, suami yang tidak pulang semalam, suasana rumah yang sepi, mendapat pertanyaan tentang anak dari adik ipar, sekarang membaca komentar buruk dari para haters.

Ddrrt! Ddrrt!

Dari : Nextyoung : Ya, aku ada di rumah.

Woops, nice timing.

Lucy menyunggingkan senyumannya seketika, jemarinya terlihat lincah mengetikan balasan.

Untuk : Nextyoung : Aku akan ke tempatmu sekarang.

Wanita itu kemudian beranjak dari kursi dan berlari kecil menuju ke kamar pribadinya. Beberapa pelayan menyadari perubahan tingkah dan suasana hati majikannya, mereka kemudian saling bertukar pandang.

Lucy mengambil dress berwarna putih tulang dengan aksen bruklat di bagian dada dan bawah roknya. Setelah itu ia mengambil tas bermerknya dan tas belanjaannya yang kecil berwarna kuning. Wanita itu mengenakan lipstik terbaiknya dan menyemprotkan parfum sebanyak yang dia mau. Tak lupa, Lucy menggulung rambutnya, membuatnya seolah-seolah berantakan.

"Aku akan pergi sebentar, jika suamiku pulang nanti katakan saja aku pergi bersama dengan teman-teman kuliahku." Kata Lucy yang saat itu telah berada di depan pintu rumah, ia sibuk mengenakan gelang mutiara kesayangannya.

Dua pelayan yang ada di belakang Lucy secara bersamaan menjawab, "baik, Nyonya."

Kemudian, dengan diantar oleh sopir, Lucy pergi meninggalkan rumahnya.

*

Mobil yang ditumpangi oleh Lucy berhenti disebuah kompleks apartemen elit yang ada di tengah kota. Wanita itu meminta sang sopir untuk menurunkannya tepat di depan pintu masuk apartemen itu, ia lalu menyuruh sang sopir untuk pergi meninggalkannya di sana, tak lupa memintanya kembali lagi untuk menjemputnya pukul 7 malam nanti.

Langkah kaki Lucy terlihat penuh dengan percaya diri, ia yakin beberapa orang yang ada di lobby apartemen, melirik ke arahnya. Begitu masuk ke dalam lift, jemari lentiknya terlihat menekan tombol lantai yang diinginkannya.

Di dalam lift beberapa orang terlihat memperhatikannya dari ujung kaki hingga ujung rambut, ada yang saling menyenggol temannya untuk ikut memperhatikan sosok Lucy. Beberapa ada yang terbengong-bengong tahu sosok wanita itu.

Ting!

Lift tiba di lantai yang diinginkan oleh Lucy, wanita itu kemudian melangkahkan kakinya keluar dari lift dan berpapasan dengan seseorang pengunjung atau mungkin juga seorang pemilik unit apartemen yang tinggal di sana.

Seseorang itu mengenakan jaket lusuh oversized berwarna hitam lengkap dengan sepatu boot dan topinya. Lucy sempat mengamati sosok itu, meskipun tertutup oleh topi, tapi dia merasakan ada yang aneh dari sosok itu. Wanita itu kemudian menghentikan langkah dan membalikan badannya seketika, tapi sayangnya saat itu pintu lift telah tertutup.

"Mungkin hanya perasaanku saja." Gumam Lucy sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Selang beberapa detik, wanita itu kemudian melanjutkan langkah kakinya.

Tiba di depan sebuah pintu, Lucy kemudian menekan tombol bel. Sekali dia memencetnya, tidak ada tanggapan dari si pemilik unit apartemen itu. Wanita itu kemudian menekan tombol bel untuk yang kedua kalinya.

Klek!

Pintu dibuka dan munculah seorang pria muda berperawakan seperti seorang gym bro lengkap dengan gaya rambut dan beards yang khas. Pria muda itu terlihat melirik ke arah tamunya, tamunya yang cantik itu terlihat sedang menyandarkan tubuhnya di dinding sembari menenteng tas kertas.

"Ini oleh-oleh dari Hawai," senyum Lucy.

Pria muda itu menyeringai dan menerima tas itu.

"Jadi kau akan membiarkanku di luar saja atau gimana nih?" sindir Lucy sembari menoleh ke sekitaran. Wanita itu menatap mata si pria muda itu lekat-lekat, "aku akan sangat senang jika kau mengundangku masuk, Matt."

Pria yang bernama Matt itu tersenyum dan membukakan jalan untuk sang tamu, "masuklah, tuan putri."

Lucy melipat kedua tangannya di dada dan ikut membalas senyuman Matt, "terima kasih."

Apartemen itu dipenuhi dengan warna-warna maskulin, penataan ruangannya juga modern minimalis. Sangat cocok dengan karakter Matt.

Anyway, berbicara mengenai sosok Matt. Pria berwajah setengah latin ini ditemui oleh Lucy saat masih aktif ngegym dulu sewaktu masih kuliah. Waktu itu mereka hanya sekedar menyapa karena sering bertemu, tapi seiring waktu ada perasaan suka, hanya saja Dylan jauh lebih gercep dan sat-set wet-wet atau selangkah lebih maju dari pada Matt, jadi, hubungan mereka saat ini hanyalah teman. Iya, teman dengan segudang manfaat, alias friend with benefit. Iyap, tahu maksudnya pasti.

"Kau mau apa untuk diminum?" tanya Matt sembari berjalan ke arah dapur.

"Sekaleng bir dingin." Jawab Lucy singkat.

Lucy melepas tasnya dan meletakannya di atas sofa beludru berwarna abu-abu tua. Matanya mengedar ke seluruh ruangan, ada senyuman tipis yang mengembang di wajah cantiknya. Ia melihat sebuah jam tangan digital yang tergeletak di atas meja. Sementara Matt terlihat baru keluar dari dapur sembari membawa oleh-oleh dari Lucy dan juga dua kaleng bir.

"Kau masih menyimpan benda ini?" tanya Lucy sembari mengambil jam digital itu.

Matt menoleh sekilas sebelum akhirnya meletakan barang-barang yang dia bawa ke atas meja, "iya, aku berencana untuk membuangnya begitu benda itu tidak berfungsi lagi. Tapi ternyata, benda itu masih berfungsi sampai sekarang."

Lucy tersenyum dan mengambil kaleng birnya, "katakan saja kau memakainya setiap hari dan setiap waktu, tidak perlu berbelit-belit."

Matt membuka tutup kaleng birnya, "hahaha, kau tahu aku seperti apa, kan," kemudian menyesapinya. "Apa yang kau bawa untukku? Kue? Kau tahu aku tidak suka kue manis, Lucy."

Lucy menyeringai sebelum akhirnya menyesapi birnya dan berkata, "sayang sekali, padahal kau bilang setiap jengkal tubuhku terasa manis di lidahmu."

Matt tertawa kecil, "ada apa? Apakah suamimu meninggalkanmu lagi semalaman ini?"

Lucy memutar matanya, "apa lagi coba."

"Gila, dia benar-benar seorang gila bekerja rupanya." Komentar Matt setelah menyesapi bir untuk kedua kalinya.

Lucy kemudian menambahkan, "ada hal yang membuatku kesal juga."

"Apa tuh?"

"Jadi, karena aku merasa kesepian pagi ini, aku mencoba untuk menelepon adik iparku," terang Lucy, "kau tahu kan? Yang namanya Nadia itu, dia menyinggung masalah anak. Menyebalkan."

Lucy kemudian meneguk birnya dalam jumlah yang besar.

Matt tertawa, tawanya terdengar renyah di telinga Lucy. "Kalau kau tidak ingin memiliki anak, bilang saja ke suamimu, aku rasa dia akan mengerti."

"Dia tidak akan mengerti. Yang dia tahu hanyalah bekerja, bekerja, dan bekerja." Celetuk Lucy kesal.

Matt kembali tertawa melihat wajah cemberut Lucy. "Ngomong-ngomong, bagaimana Hawai? Aku melihat kau memposting beberapa foto di photosgram. Seperti biasa, kau terlihat sangat cantik, aku suka perpaduan warnanya, sangat mencitrakan dirimu, Lucy."

"Aku suka tempatnya," Lucy mulai mengeluarkan senyumannya, masih membayangkan bagaimana rasanya berlibur seorang diri di Hawai. "Rasanya aku menjadi seorang wanita lajang sungguhan. Lajang dan bebas."

Matt menyesapi birnya, "aku ikut senang mendengarnya, kau akhirnya menjadi dirimu sendiri di Hawai."

"Aku sangat senang dan merasa seperti terlahir kembali." Ujar Lucy.

Keduanya saling berbincang, membicarakan apa yang mereka lakukan akhir-akhir ini, meskipun pada akhirnya Lucy yang banyak berbicara tentang liburannya di Hawai. Ada keheningan selama beberapa saat sebelum akhirnya Lucy meletakan kaleng bir dan mengusap-usap wajahnya. Ia lalu menoleh menatap ke arah Matt.

"Hm?" Matt mengangkat satu alisnya sembari menelan bir yang ada di dalam mulutnya. "Apa?"

"Aku berencana untuk menceraikan Dylan."

Matt membelalakan matanya, "Lucy, apa kau yakin dengan yang kau katakan sekarang?"

Lucy mengangguk, "aku tidak tahan dengan tingkahnya yang selalu menggurui dan suka bekerja itu. Ah tidak, gila bekerja maksudku." Wanita itu kemudian menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa.

"Tapi, Dylan sangat mencintaimu, Lucy."

"Tapi, dia jarang menyentuhku."

"Jangan bermimpi bisa menceraikannya kalau kau masih membutuhkan uangnya, Lucy, kau tidak bisa hidup tanpa uang darinya. Sadarlah."

Lucy berdecak kesal, "sial, kau mengingatkanku pada realita kehidupan."

Matt tertawa lagi, "jangan macam-macam kalau kau masih membutuhkan uang, koneksi, dan kemewahan darinya. Jangan lupakan itu."

Lucy memainkan anak rambutnya, "ya, aku memang mengharapkan semuanya yang kuinginkan sedari aku masih bocil dulu, sekarang aku memilikinya. Baiklah, aku urungkan niatku untuk bercerai dengannya. Aku akan bertindak realistis mulai dari sekarang."

Matt meletakan kaleng birnya ke atas meja, "bagus, aku ikut senang mendengarnya."

Lucy kembali menoleh ke arah lawan bicaranya, wanita itu nampaknya terlihat mabuk, terbukti dengan semburat merah muda di wajah cantiknya. Tanpa disadari, ia sedang mendekatkan tubuhnya ke arah Matt.

"Lucy, apa ini? Sepertinya kau mengatakan akan bertindak realistis selama sepersekian detik lalu." Ujar Matt yang mencoba untuk menghentikan Lucy.

"Aku memang mendapatkan apa yang kumau dari Dylan, tapi aku masih membutuhkan yang lain selain uang dan kemewahan."

"Kau punya cinta dari Dylan."

"Tapi, kami hanya bercinta saat dia sedang dalam mood saja, itupun bisa dihitung jari." Timpal Lucy lagi.

"Lucy..."

"Berhenti menolakku, Matt, aku tahu kau masih menyukaiku sama seperti saat kita masih kuliah dulu."

"Lucy..."

"Kau bertindak seperti seorang pendeta, padahal kita sering melakukannya." Lucy mengerang kesal.

Kemudian, dengan tindakan yang impulsif, Lucy mengangkat kedua tangannya, menarik kaos Matt dan menciumnya. Keduanya saling menyerang dan membalas satu sama lain.

"Kau sangat nakal." Geram Matt sembari meremas kepala bagian belakang Lucy.

Lucy tersenyum, "itulah aku."

Matt kemudian mengangkat tubuh Lucy dan mendudukannya di atas pangkuannya dan mereka kembali berciuman. Mulai dari ciuman sederhana hingga akhirnya menjadi ciuman yang penuh nafsu dan menuntut.

Tentunya ciuman-ciuman itu tidak ada artinya jika tidak ditambah dengan sentuhan-sentuhan yang tidak pantas, seperti meraba punggung Lucy, atau mungkin meremas pinggulnya dan turun ke bagian bawah tubuh wanita itu.

Sedetik kemudian, Matt membelalakan matanya menatap ke arah Lucy dan berkata, "kau tidak mengenakan celana dalam?"

"Hihihi, aku tidak memakainya sejak di rumah tadi." Tawa Lucy.

"Astaga, kau benar-benar!" geram Matt yang kemudian membanting tubuh wanita itu ke atas sofa.

"Haha!"

*

Di saat yang bersamaan di dalam sebuah mobil yang terparkir di dekat taman di sekitar apatemen Matt.

Seorang wanita sedang duduk di kursi pengemudi depan sembari menikmati kentang gorengnya, wanita itu menatap ke arah apartemen. Di sisi lain, seorang pria muda dengan kacamata terlihat duduk di kursi penumpang dengan laptop di pangkuannya, pria itu terlihat duduk santai sembari menikmati segelas colanya. Yang menarik dari mereka adalah, keduanya tengah mendengarkan sesuatu yang terdengar dari laptop si pria.

"Astaga, desahannya terdengar nikmat." Komentar si pria.

"Kau berbicara seperti seorang perjaka saja." Senyum si wanita.

"Aku sering melakukan seks, tapi sepertinya wanita ini bisa juga." Pria itu terlihat sedang mengotak-atik komputernya.

"Pastikan kau mendapatkan videonya dengan kualitas baik, Raiden," kata si wanita, "aku ingin suaranya terdengar jelas."

"Siap, Nad. Tapi bagaimana perasaanmu? Apakah kau semakin kecewa dengan Lucy, kakak iparmu?" tanya Raiden sarkas.

"Jika yang kau maksud adalah benci, aku akan mengatakan iya." Jawab Nadia.

-Bersambung ke Chapter 07-