Chereads / LIPS ON LIPS / Chapter 4 - 04 | LUCY HAMISH

Chapter 4 - 04 | LUCY HAMISH

Dylan masih ingat betul bagaimana pertama kali bertemu dengan sang istri tiga tahun yang lalu. Pria itu masih ingat bagaimana sikap anggun dan manisnya Lucy Hamish kala itu. Wanita yang baru menginjak usia pertengahan dua puluh itu, muncul dihadapannya sebagai seorang pegawai magang di perusahaannya. Kala itu, Lucy menjadi karyawan magang menggantikan sekretarisnya yang tengah cuti mengandung selama tiga bulan.

Di mata seorang Dylan, Lucy adalah sosok wanita yang mandiri, cekatan, cerdas, dan berperilaku baik. Pekerjaan yang diberikannya selalu diselesaikan dengan baik oleh Lucy, bahkan wanita itu juga mampu mengorganisir waktu antara pekerjaan dan waktu pribadinya.

Lucy adalah seorang wanita yang sangat mementingkan pendidikan, dikala kesibukannya menjadi pegawai magang, Dylan pernah memergoki wanita itu sedang mengerjakan tugas kuliahnya di meja kerjanya saat jam istirahat.

Lucy adalah wanita yang lugu dan polos. Kepolosan dan keluguannya terbukti saat Dylan itu membahas sebuah gosip terbaru, dari seorang selebriti yang ramai di platform sosial media bernama 'Photosgram'. Saat itu Dylan hanya ingin berbasa-basi, namun, bukannya mendapatkan tanggapan heboh seperti sekretarisnya yang lain, Lucy malah mengejapkan matanya karena tidak tahu. Ya, Lucy tidak tahu gosip itu.

"Saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas kuliah, Pak. Bapak tahu sendiri anak kuliahan itu tugasnya gimana, kalau tidak dikerjakan bisa beranak-pinak." Celoteh Lucy dengan menggembungkan pipinya – yang sialnya terlihat sangat imut di mata Dylan.

"Ih, tapi serius tidak ada Photosgram di ponselmu? Biasanya anak muda jaman sekarang sangat suka posting hal-hal berbau estetik." Imbuh Dylan tidak percaya, yang langsung ditanggapi dengan anggukan sekretarisnya yang lain.

"Terus kau menghibur diri dengan apa?" tanya yang lainnya.

"Saya sering buka link haram buat nonton film gratis hehe," kekeh Lucy.

Tidak terasa tiga bulan telah berlalu, Dylan cukup terkejut saat Lucy berpamitan dengannya. Menurut wanita itu, waktu magang telah habis dan Lucy juga diharuskan untuk kembali ke kampus mengerjakan tugas akhirnya.

"Terima kasih telah berkontribusi di perusahan saya, Lucy," kata Dylan dengan mengulurkan tangannya, "semoga kuliahnya cepat selesai dan mendapatkan pekerjaan impianmu."

Lucy menyambut jabatan tangan Dylan, "terima kasih atas doa dan ilmunya, Pak."

Deg deg deg.

Dylan masih ingat betul bagaimana tangan Lucy saat menjabat tangannya untuk terakhir kali, terasa kecil, lembut, dan serasa rapuh. Senyuman wanita muda itu rupanya perlahan-lahan mulai membunyikan genderang di dalam dadanya.

Dylan sadar dia mulai menyukai Lucy. Ketidakhadiran wanita muda itu di kantornya membuatnya sedikit lesu. Terhitung sebulan sejak perpisahan mereka di kantor, ia mendadak merasakan ada yang kurang saat melihat meja kosong di depan ruangannya. Meja itu adalah meja kerja Lucy.

Sorot mata yang tidak biasa itu disadari oleh para sekretarisnya, mereka mulai membicarakan sikap aneh Dylan, mulai dari sikap pemurungnya dan salah sering menyebut nama sekretarisnya dengan nama Lucy.

"Ngomong-ngomong," kala itu Dylan terlihat berdiri di depan meja para sekretarisnya, wajahnya terlihat sedikit gugup dari biasanuya, "apa kalian tahu di mana anak magang itu berkuliah?"

Salah seorang sekretaris Dylan menyeletuk, "anak magang yang mana, pak?"

"Itu loh, si Lucy... Lucy siapa itu.." jawab Dylan sedikit kesal, padahal baru juga sebulan mereka berpisah, mengapa pula mereka melupakan anak magang itu.

"Oh, si Lucy Hamish?" tanya sekretaris itu balik mengonfirmasi.

Dylan mengangguk bersemangat. Yap, tiba-tiba bersemangat, tanpa sadar yang langsung dicurigai oleh sekretaris yang lain.

"Dia berkuliah di Institut Ascadia, Pak, dia sedang berada di semester 5, kemungkinan sebentar lagi dia akan mengerjakan skripsinya." Jawab sekretaris itu. "Umurnya masih 23 tahun, dia single, dan suka makan makanan manis seperti strawberry shortcake, Pak."

Dylan mendengarkannya dengan antusias awalnya, namun tiba-tiba dia sedikit terkejut, karena seingatnya dia tidak pernah meminta informasi itu dari sekretarisnya, mengapa sekarang mereka memberikannya secara cuma-cuma.

Melihat ekspresi terkejut dan bingung Dylan, para sekretarisnya mulai terkekeh senang.

"Ada yang lucu?"

"Iya, bapak lucu banget! Haha!"

"Kenapa saya lucu?" tanya Dylan lagi.

"Udah ketebak kali, Pak, bapak suka sama si Lucy Hamish, kan? Makanya kami beri informasi tentang kesukannya ke bapak."

Dylan langsung menyergah dengan menggelengkan kepalanya, "enggak kok. Dia masih muda buat saya, saya sudah 30 tahun."

"Haduuhh... enggak apa kali, Pak, anak-anak jaman sekarang kan memang nyarinya yang sugar daddy gitu. Toh, Lucy anaknya juga baik kok, Pak."

"Gak usah malu, Pak, bilang aja bapak suka sama Lucy, kita bantu kalo bisa. Butuh nomor teleponnya? Kami ada."

"Butuh alamat rumahnya, kami juga ada, Pak." Timpal yang lainnya.

"Saya masih belum suka sama Lucy, ini saya masih bingung mau suka sungguhan apa enggak. Anak polos seperti itu mana cocok sama saya yang sudah om-om bangkotan." Sergah Dylan langsung.

"Astaga, Bapak.. Bapak yang semuda ini mengaku bangkotan. Selama belum 50 tahun, bapak masih dibilang muda kok, tenang, Pak."

"Saya takut dicap pedofil." Kata Dylan lagi.

"Lucy kan sudah 23 tahun, Pak, bukan anak-anak lagi."

Merasa malu karena telah digoda oleh para sekretarisnya, membuat wajah tampan Dylan dipenuhi oleh semburat merah. "Sudah sudah, kalian kembali bekerja sana!" ujarnya yang kemudian berjalan kembali ke ruang kerjanya.

"Pak, kalau mau menemui Lucy, bilang kita aja ya. Kita gak pelit informasi kok." Goda sekretarisnya lagi yang lelaki.

"Hus! Balik kerja sana!" tegur Dylan dengan malu-malu.

"Hahaha! Lucu banget ih bapak Dylan."

"Baru kali ini loh kita lihat Bapak gitu, ya."

*

Been Me Up Cafe, sebelah selatan Institut Ascadia.

Menurut informasi yang diberikan oleh para sekretarisnya, mahasiswa dari Institut Ascadia akan menghabiskan waktu mereka di cafe ini. Entah sekedar mengerjakan tugas kuliah atau hanya sekedar menongkrong menunggu kelas mereka dimulai.

Been Me Up Cafe tidak terlihat seperti cafe-cafe anak muda pada umumnya. Cafe itu terdiri dari dua lantai, lantai satu digunakan untuk mahasiswa yang hanya ingin menongkrong atau bermain game menghabiskan waktu mereka, sementara itu untuk lantai dua terlihat berkebalikannya yang sangat tenang dan hanya ada suara ketikan lembut laptop para mahasiswa. Dylan berpikir, mungkin saja lantai dua memang dikhususkan untuk mahasiswa yang mengerjakan tugas mereka.

Dylan memutuskan untuk memakai pakaian sederhana, dia sengaja membawanya dari rumah agar tidak dicurigai. Dia bahkan sempat meminta pendapat Nadia, adiknya, tentang tatanan rambutnya. Yang jelas, dia tidak ingin terlihat mencolok seperti om-om umur 30 tahun.

Setelah memesan satu gelas americano, Dylan kemudian mengedarkan pandangannya. Menurut pendapat para sekretarisnya, kelas pagi Lucy akan selesai saat pukul 11. Pria itu kemudian mengecek smartwatchnya, jam saat ini menunjukan pukul 10.46 menit, masih ada 14 menit lagi sebelum Lucy muncul.

Baru saja Dylan berpikir seperti itu, tiba-tiba saja pintu cafe terbuka. Pria itu secara tidak sengaja mengangkat kepalanya. Mendadak matanya membulat seketika.

Lucy muncul dari pintu cafe, mengenakan pakaian musim semi cantik beraksen bunga-bunga berwarna kuning. Gadis itu terlihat jauh lebih muda dengan pita berwarna putih yang diikatkan ke beberapa helai rambutnya di belakang. Gadis itu terlihat lebih bercahaya dibanding para mahasiswa yang ada di dalam cafe.

Deg deg deg!

Hari pertama, Dylan berhasil bertemu dengan Lucy meskipun mereka tidak benar-benar saling bertegur sapa. Pria itu kemudian kembali ke kantornya dan bergumam, "sampai tiga kali. Jika tiga kali kami masih bertemu... ah tidak! Jika dipertemuan ke tiga, Lucy menyadari keberadaanku dan langsung menyapaku duluan, aku akan mencoba untuk menyukainya!"

Hari kedua, Dylan kembali menyempatkan dirinya untuk datang ke cafe itu lagi. Kali ini dia sengaja datang agak sore, karena Lucy hanya menghadiri kelas siang hingga sore hari.

Saat Dylan baru saja menerima gelas americanonya, Lucy terlihat memasuki cafe lagi. Kali ini gadis itu mengenakan mini dress bermotif bunga lavender yang cantik. Rambutnya ditata rapi seperti gadis muda yang cantik dan polos. Selama berada di cafe, Lucy kali ini memutuskan utuk naik ke lantai dua. Diikuti oleh Dylan di belakangnya.

Dylan terus mengawasi Lucy dari kejauhan. Gadis itu terlihat sangat serius mengerjakan tugas kuliahnya, sesekali menggaruk kepalanya karena tidak paham, atau melempar bolpoinnya ke atas buku karena kesal sendiri. Seluruh ekspresi yang dibuat secara spontan oleh Lucy terlihat manis dan lucu di mata Dylan.

Hari ketiga, kali ini Dylan sengaja datang di saat makan siang. Menurut informasi dari sekretarisnya, kelas Lucy akan selesai tepat di jam makan siang. Begitu mendapatkan americanonya, tiba-tiba seorang mahasiswa mengenakan dress berwarna biru muda berdiri di hadapannya. Dylan kemudian mengangkat kepalanya.

"Pak Dylan, kok ada di sini?"

Dylan membelalakan matanya, rupanya itu adalah sosok Lucy. Gadis itu menutup mulutnya dengan tangan kirinya, nampaknya tidak hanya Dylan yang terkejut, Lucy pun juga.

"Ha.. hai, Lucy." Sapa Dylan malu-malu seperti anak seumuran dengan Lucy.

Gadis itu kemudian menoleh ke sekitarnya, "bapak ke sini sama siapa?"

"Sendirian."

"Hah? Yang bener?" lagi-lagi Lucy menoleh ke arah sekitarnya, kali ini memastikan omongan Dylan. "Bapak kalau makan siang sering ke sini?"

"Eng.. enggak juga sih hehehe."

Lah, kok jadi gagap sih? – pikir Dylan.

Lucy kemudian meletakan buku-buku yang sedari tadi dibawanya ke atas meja sembari berkata, "Lucy temani ya, Pak. Kebetulan teman Lucy tidak hadir di kelas, jadi saya sendirian di sini. Saya pesan minum dulu ya, bapak mau camilan apa?"

"Sudah, Lucy, saya sudah makan siang tadi."

Lucy mengejapkan matanya, bingung dengan ucapan Dylan, "baiklah, saya pesan minum dulu ya, pak."

Hari itu, apa yang diharapkan oleh Dylan benar-benar terwujud, seolah-olah Tuhan benar-benar ada dan mengabulkan ucapannya. Lucy muncul di cafe ini dan menyapanya lebih dulu. Berarti ini adalah saat yang tepat untuk mencoba menyukai gadis itu.

*

Kira-kira begitulah pertama kali Dylan bertemu dengan istrinya, Lucy. Entah berapa lama dia berdiri di depan jendela ruang kantornya, menatap ke arah rembulan yang terlihat bulat di atas langit sana. Lalu, tidak diketahui juga sejak kapan dan bagaimana dia mulai mengingat-ingat lagi bagaimana pertemuannya dengan sang istri dulu.

Di belakang tubuh indah pria itu, terlihat beberapa dokumen dan juga foto yang berserakan. Sebuah cd dengan cover berwarna putih polos berada di sebelah tumpukan dokumen itu.

Dylan kemudian berjalan mendekat ke arah meja kecil dan menuangkan minuman keras di dalam gelas kristal, setelah itu berjalan mendekat ke arah sofa. Setelah menyesapi minumannya, Dylan meletakan gelasnya ke atas meja dan menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Matanya kini kembali menatap ke langit-langit ruang kerjanya.

"Lalu, aku harus bagaimana?" gumamnya.

"Kalian harus bercerai." Jawab Nadia.

-Bersambung ke Chapter 05-