"Kayaknya ada yang melebihi target ni," ledek Wati ke Dita.
"Gila ngebut banget lo dit," sambung Ica.
"Biasa aja kok, kebetulan aja ni," Dita merendah.
"Tumben si Sari bulan ini ketinggalan biasanya lo kan paling depan," Wati bertanya heran ke Sari.
Sari hanya terdiam, iya biasanya setiap bulan target pendapatannya selalu meningkat tapi tidak untuk bulan ini, targetnya pas-pas saja.
Tiba-tiba pintu salon terbuka, wanita dengan kacamata hitam, jas merah dan rok hitamnya, ia selalu tampak stylish ditambah riasan bold make up yang menjadi ciri khasnya, umurnya sekitar tiga puluh lima tahun namun ia terlihat tujuh tahun lebih muda dari usianya.
Namun ia tak datang sendiri ia datang bersama seseorang yang dandanannya tak jauh beda darinya.
"Bu bos datang say.." ucap Ica memberitahu yang lain.
Mereka pun saling cepat mengambil posisi duduk yang lebih enak dipandang dan sopan kepada bos mereka.
"Cakep banget desain salon kamu beb," teman bu bos tampak kagum melihat isi salon.
"Iya dong, ini semua Abra yang desain," Asya bangga dengan adiknya
"Keren banget adik kamu, udah lama aku ga liat dia lho, terakhir melihat dia masih asik sama sepeda dan bau mataharinya," wanita itu tertawa mengingat Abra kecil.
"Haha.. kamu kalo liat dia yang sekarang pasti bakal kaget banget," Seru Asya dengan semangat.
"Oh ya.. kagetnya positif atau negatif ni say?" Ledek temannya.
"Kamu nilai aja sendiri kalau ketemu dia ntar."
Keempat gadis masih duduk manis di ruang istirahat mereka yang dilengkapi televisi, Sari mendengar selentingan nama kekasihnya yang sedang dibicarakan.
"Btw.. pada kemana ni karyawan kamu, aku pengen liat mana tau ada satu yang bisa ku tukar sama karyawanku," temannya masih bergurau.
"Eits.. karyawan aku udah pilihan ni, masih muda-muda dan cekatan," Asya menuju ruang istirahat karyawan dan memanggil mereka berempat.
"Kenalin ini teman saya, pemilik salon ternama juga di kota ini, kalian panggil dia bu Lulu ya!" Pinta Asya.
"Wah.. cantik-cantik ya karyawanmu, pintar banget ya kamu carinya," puji Lulu melihat keempat gadis itu.
"Iya dong say, aku kan selalu kasih uang lebih untuk mereka bisa perawatan juga tiap bulannya."
"Keren, jarang-jarang ni bos kaya kamu." Lulu memuji temannya ini.
"Oh iya, bu Lulu ini calon kakak iparnya Abra juga lho," Bu bos menyambung kalimatnya.
Deg.. jantung Sari berdetak, ia yang sejak tadi tersenyum melihat keakraban bos dan temannya ini, kini diam dengan wajah datarnya mendengar perkataan yang cukup membuat hatinya tercubit.
"Oh.. maksudnya adik bu Lulu calonnya mas Abra ya bu?" Tanya Dita ingin tahu.
Lulu tersenyum, " iya rencananya, kita mau jodohin adik kita.. ya kan say,? Lulu menoleh ke Asya.
"Pasti adiknya bu Lulu cantik sekali ya, kakaknya aja cantik begini," puji Ica.
'yah putus deh harapanku mengharapkan mas Abra, ternyata sudah punya calon,' guman Wati sedikit cemberut.
"Permisi bu, saya mau ke toilet dulu," ucap Sari yang mungkin sudah tidak nyaman akan suasana ini.
Ia hanya bisa diam dan menahan sedikit rasa sakit ini, namun tak ada apapun yang bisa diperbuatnya selain diam dan berharap semua itu tak akan terjadi.
'bagaimana kalau memang itu terjadi, apakah aku bisa menerima semua ya tuhan, aku sudah memberikan semua yang ku punya kepadanya, oh.. apa yang harus kulakukan..hiks', sari menahan sesak di dadanya.
"Walah ternyata mas Abra sudah punya calon istri," ucap Wati membuka pembicaraan.
"Ya Iyalah.. orkay mah gitu maunya dapet orkay juga," seru Dita.
"Huh.. gak mau lagi ah ngarepin dia ternyata bukan untukku," Wati sok melas.
"Haha… cowok yang lebih ganteng n tajir masih banyak kok ti," sahut Ica.
"Masalahnya tu cowok mau gak sama dia.. Wkwkwk," ledek Dita.
"Wahh.. lo belum tahu aja ya, kalo ilmu pelet gue beraksi," Wati tak mau kalah.
"Iya ti.. keluarin donk, biar gue ada temennya ni," sahut Ica.
Sepertinya tak ada yang serius dengan kekecewaan tiga gadis ini, berbeda dengan Sari gadis polos atau mungkin bodoh yang sudah memberi mahkota terindahnya kepada Abra.
'mas aku mau bicara,' kali ini Sari memberanikan diri mengirimkan pesan singkat kepada Abra.
Sari menyebutkan satu tempat dimana mereka akan berjumpa, ia pun sudah terlihat duduk sendiri dikursi taman yang diterangi sedikit lampu kuning.
"Mas.. aku udah tahu," ucap Sari getir.
"Tahu apa sayang," tanya Abra.
"Ya.. sudah tahu," Sari mengulang kalimatnya.
"Hemm.. tau kalau kamu gak bisa jauh dari aku," goda Abra.
"Mas.." Sari memasang muka melas.
Abra membesarkan matanya, melihat wajah melas kekasihnya ini. " Kamu kenapa?" Tanyanya.
"Mas mau ninggalin aku kan?" Ucap Sari getir.
"Emangnya aku mau kemana?" Tanya Abra heran.
"Hiks.. mas mau dijodohin kan sama adiknya bu Lulu,? Sari meneteskan air matanya.
"Itukan belum pasti, aku juga belum kenal sama adiknya."
"Tapi mas mau kan?"
Abra terdiam, ia tak bisa menjawab cepat perkataan Sari, karena ia sendiri tak tahu harus menjawab apa, untuk saat ini ia menikmati hubungannya dengan Sari, namun untuk memperjuangkan Sari menjadi cinta terakhirnya sepertinya belum ada niat di hatinya.
"Mas.." bisik Sari.
"Aku kan sekarang sama kamu, ya kita jalani dulu aja, kedepannya bagaimana kita kan gak tau," jelas Abra.
"Mas sayang aku kan?" Tanya Sari lagi.
"Iya sayang dong," Abra memegang tangan Sari.
"Mas beneran sayang aku,? Sari seolah tak puas akan jawaban Abra.
"Aku sayang kamu, makanya aku jadikan kamu kekasih aku, walaupun gak ada orang lain yang tahu." ucap Abra yang kini memeluk Sari yang sedang galau.
Tanpa disadari sepasang mata sudah melihat kemesraan mereka, dan mendengar percakapan mereka, 'ohh jadi Sari sama Abra menjalin hubungan', desis Ica yang bersembunyi di balik pohon.
'tapi ngapain juga gue yang sibuk, toh bentar lagi juga bakal putus, kan Abra udah dijodohin, lagian gue kan udah duluan ngerasain bibir n cumbuannya si Abra,' tersenyum sinis Ica meninggalkan tempat persembunyiannya.
"Mas.. jangan disini," Sari menghentikan Abra yang hendak meraih bibirnya.
"Mas kangen sayang," bisik Abra menggoda Sari.
"Iya.. aku juga kangen, tapi ga enak mas, nanti ada satpam yang keliling," sahut Sari sambil celingak celinguk.
"Mas antar kamu pulang ya," Abra menggandeng tangan Sari menuju mobil.
Karena hari sudah hampir larut Sari tak bisa berlama-lama bersama Abra, meskipun keinginan setiap berjumpa Abra selalu menggebu-gebu. namun ia tak ingin temannya curiga karena tadi ia hanya pamit ke minimarket terdekat.
"Sayang…" Abra memanggil Sari lembut.
Sari menoleh kekasihnya, "iya mas."
Tanpa permisi Abra memegang wajah Sari dan mendekatkan ke wajahnya, dengan nafsu yang tak terbendung Abra melumat benda mungil yang terpoles lip tint pink yang menggodanya sejak tadi.
Sari menyerahkan dirinya, tak bisa di elak ia pun menginginkannya sejak tadi, ia menikmati setiap lumatan manja yang Abra berikan, beginilah setiap mereka bertemu selalu mencurahkan kerinduan, namun untuk malam singkat ini hanya ini yang bisa mereka lakukan karena waktu yang tak memungkinkan melakukan yang lebih.
"Mas mau sayang.." goda Abra selepas mencium bibir Sari.
"Tapi mas.. hari sudah malam, aku besok kerja," Sari seolah mengerti akan keinginan kekasihnya.
"Oke.. tapi minggu depan mas mau yang lama ya," pinta Abra berbisik ke telinga Sari.
"Iya sayang, aku juga mau yang lebih nikmat," Sari ikut menggoda Abra.
Abra tersenyum nakal, ia tak menyangka kalau kekasih polosnya ini sudah mulai berani menggoda kelelakiannya.