Chereads / Keperawanan Sari Terenggut / Chapter 21 - Hubungan Sari Tercium

Chapter 21 - Hubungan Sari Tercium

"Dek.. kamu lagi dekat sama cewek ya?" Tanya Asya kepada Abra yang sedang serius dengan laptopnya.

"Kok tau kak?" Abra masih tetap memandang ke depan.

"Oh jadi yang kakak dengar itu benar ya?" Asya sedikit emosi.

Abra menoleh ke arah kakaknya yang berdiri seraya melipat tangan.

"Aku lagi dekat sama cewek, ya kakak kan kakak lagi deketan sama aku sekarang," jawab Abra tanpa rasa bersalah.

Asya hanya menghela nafasnya, saat tahu si adik sedang mengejeknya, ia pun segera menjatuhkan tubuhnya di sofa samping Abra.

"Kakak serius, kamu sekarang lagi ada hubungan sama perempuan?" Tanya Asya sekali lagi.

Abra tetap menutup mulutnya, sementara jarinya masih sibuk menekan huruf-huruf pada keyboard laptopnya.

"Dek…. Jawab dong!" Asya bertambah kesal.

"Iya.. tapi ga ada hubungan apa-apa, hanya teman kak."

"Hem… yakin, hanya teman?" Sang kakak tak percaya.

"Kakak sih gak masalah kamu dekat sama cewek, cuma kakak gak yakin kalau kamu mendapat cewek yang pas buat kehidupan kamu," ujar Asya.

"Iya kak.. tenang aja, aku hanya berteman gak lebih."

"Oke.. kakak percaya, pokoknya kalau masalah jodoh kamu biar kakak yang cariin!" Ucap Asya membesarkan bola matanya.

Asya meninggalkan Abra yang masih sibuk dengan pekerjaannya, ia pun tak ingin terlalu banyak tanya sehingga terlalu terlihat ikut campur dalam pribadi Abra.

Yang penting ia sudah mendengar sendiri dari mulut Abra, kalau memang si Abra sedang tidak dekat dengan siapapun termasuk si Sari, wanita yang dicurigai Asya menjalin hubungan dengan Abra.

'Sari itu memang gak terlalu buruk dari penampilan dan juga wajah, cuma kan dia itu karyawan aku, masa adikku pacaran sama orang biasa kayak dia sih,' guman Asya dalam hati.

Tak terasa hubungan Sari dan Abra hampir enam bulan berjalan, sejauh ini hubungan mereka baik-baik saja.

'mas.. aku kangen mau ketemu kamu,' Sari mengirimkan pesan pendek dari ponselnya.

Ting.. tak lama kemudian, ia menerima balasan pesannya.

'nanti aku jemput, kita ke cafe.'

Sari menyiapkan dirinya, ia memilih koleksinya yang paling bagus dan masih baru untuk bertemu Abra, entah kenapa perasaan Sari kali ini lebih bahagia dari biasanya, ia seakan mengulang kencan pertamanya bersama Abra.

Sari segera memasuki mobil Abra yang menjemputnya di dekat taman, tanpa disadari ada kendaraan roda empat lain yang mengikuti mereka dari belakang.

'ternyata bener si Sari, cewek yang lagi dekat sama Abra,' desis Asya yang melihat kemesraan mereka dari kejauhan.

Abra meletakkan kunci mobil di samping televisi, merebahkan badannya pada sofa di depannya.

"Dek.. besok kamu ke singapura ya!" Suruh Asya tiba-tiba.

Abra cukup terkejut mendengar perintah kakaknya, kini ia nampak duduk disamping Asya.

"Lho.. memangnya ada keperluan apa kak?" Tanya Abra sambil mengusap wajahnya.

"Gantiin Nando mengawasi usaha abang yang disana," Suruh Asya.

"Si Nando kemana dia kak?"

"Dia pulang kampung mau nikah, susah cari pengganti dia makanya kamu yang kakak suruh."

"Kok mendadak banget ya kak?" Abra sedikit heran.

"Emangnya kamu keberatan?" Tanya Asya sambil menaikkan kedua alisnya.

"Ga kok kak." 

Mau tak mau kalau sudah keputusan sang kakak, Abra gak bisa menolak, ia berfikir gimana caranya menjelaskan ke Sari tentang kepergiannya besok.

Lelahnya bekerja membuat Abra memejamkan matanya lebih cepat hingga ia lupa akan menelepon Sari untuk memberitahu keberangkatannya besok.

Semua hening di dalam mobil, apalagi setelah mereka tahu kalau yang mengantar mereka pagi ini bu bos langsung. 'mas Abra kemana ya, tumben gak nganterin hari ini trus gak ngabarin apa-apa ke aku' resah Sari memandangi jalanan di luar kaca mobil.

"Oke ya.. Dita jangan lupa nanti laporan produk-produk akan habis!" Perintah Asya.

"Baik bu."

"Oh iya.. satu lagi, mulai besok kalian akan diantar jemput sama pak Agus ya, karena Abra sudah berangkat ke luar negeri untuk waktu yang cukup lama." Asya bergegas melajukan mobilnya.

Deg… jantung sari berdegup mendengar ucapan bosnya, ia hanya bisa menunduk dan menyembunyikan perasaan kecewanya.

"Waduh.. ga bisa liat kemachoan mas Abra lagi ni," ucap Wati sok sedih.

"Yang penting kan lo masih bisa liat dunia," pungkas Dita yang tak terlalu suka melihat kegenitan Wati.

Bisa dipastikan perasaan Sari saat ini sedang gundah gulana, memikirkan kepergian kekasihnya yang tanpa penjelasan sedikitpun padanya.

Namun Sari harus bisa memendam kesedihannya, bagaimanapun keadaan hatinya ia harus profesional jika sedang bekerja.

'kok mas Abra pergi gak bilang-bilang ya,' Sari merebahkan raganya yang sudah tak baik dari siang tadi.

Ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Abra namun selalu saja ponselnya tidak aktif.

Kini Sari hanya bisa bersedih akan nasibnya, kekasih yang sangat ia cintai kini telah pergi tanpa memberitahunya apapun. 'kenapa mas tega banget sama aku, apa salahku mas,' batin Sari merintih dan butiran air bening itu tak berhenti membasahi pipinya.

Hari sudah lewat tengah malam, namun mata Sari enggan terpejam dan terus menangis. Ia sangat kecewa dan sedih akan sikap Abra yang dengan mudah pergi tanpa memikirkan nasibnya sama sekali.

Tak puas Sari menangis, ia berusaha mencari cara agar bisa menghubungi Abra, dan setelah setengah jam akhirnya Sari menemukan media sosial milik Abra namun bersifat pribadi sehingga tak bisa dilihat apa saja yang dipost Abra baru-baru ini.

Sari segera mengirimkan pesan di sana, 'kenapa mas pergi tanpa memberitahuku, apa mas tidak menganggapku lagi?' Sari berharap pesannya segera dibalas oleh Abra, namun lelah menunggu dan akhirnya mata Sari terpejam dengan sendirinya.

Tok..tok..tok

"Sari…"

"Sari…"

Dita memanggil Sari dari balik pintu, namun tak ada jawaban dari Sari, karena khawatir Dita segera memanggil Wati dan Ica.

"Sari gak jawab-jawab pas gue panggil," ucap Dita panik.

"Tumben.. biasanya tu anak rajin dah siap duluan," sahut Ica.

"Kenapa ya si Sari?," Wati ikut panik.

Akhirnya mereka kompak untuk memanggil Sari berbarengan berharap Sari lebih mendengarnya.

"SARI…."

Sari pun refleks membuka mata mendengar teriakan teman-temannya, dan mencoba bangun dari tidurnya.

'kok jadi meriang gini ya,' desis Sari.

Dengan berbalut selimutnya Sari membuka pintu kamarnya, dan ketiga temannya yang rapi dengan seragam segera menghampirinya yang memang khawatir dengan Sari sejak tadi.

"Kamu kenapa ri?" Tanya Wati.

"Badan kamu panas banget ri," Dita menyentuh dahi Sari dengan tangannya.

"Kamu demam ri?" Tanya Ica.

"Yaudah kamu gak usah masuk hari ini, ntar biar aku bilang ke bu bos," suruh Dita.

"kamu minum ya obat ini, aku emang stok," Wati menyerahkan box yang berisi obat-obatan.

"Istirahat gih.. kita juga hampir telat ni, pak Agus bentar lagi datang," sahut Ica.

Ketiga temannya pun segera berangkat kerja karena sopir sudah menunggu mereka di depan, kini tinggalah Sari yang lemah bukan hanya raganya tapi juga hatinya, iya.. hati Sari saat ini sangat rapuh sehingga membuat tubuhnya tak sanggup menahan sakit itu.

Sari kembali menjatuhkan tubuhnya ke kasur itu, dan air matanya mengalir tanpa diminta.

Ting.. layar ponselnya menyala, 'maafin aku Sari, aku harus pergi karena ini perintah kakakku dan aku tak bisa menolaknya, maaf jika aku menyakitimu, semoga kamu bisa mendapat penggantiku, walaupun aku tidak bisa membahagiakanmu selamanya tapi setidaknya aku tak menyakitimu saat kita bersama, dan semua yang terjadi antara kita itu karena memang terjadi begitu saja.'

Bagai luka yang tersiram air garam, hati Sari yang tadinya rapuh kini benar-benar hancur setelah membaca balasan dari Abra. Semudah itu ia mengatakannya tanpa peduli atas apa yang Sari rasakan, bahkan Sari kini sudah tak berharga lagi, kesuciannya telah ia berikan pada Abra.

"Aku benci….benci… benci…" Sari berteriak  mengacak-ngacak rambutnya dan melempar semua benda yang ada di meja riasnya.

Sari tak peduli lagi akan dirinya, bahkan sakit di tubuhnya tak dirasakan lagi, yang ada kini hatinya hancur sehancur-hancurnya dan air mata tak bisa berhenti mengalir di seluruh wajahnya.

Sari terkulai lemah di kamarnya ditemani kemalangannya, meratapi dirinya yang ditinggalkan dan tak dianggap lagi, padahal seluruhnya sudah ia beri pada lelaki itu. 

"Tega kamu mas.." rintih Sari.