"Maaf, Pak. Apa kegiatan camping ini tidak bisa dibatalkan?" Wajah Alice sudah memerah akibat tangisan, napasnya juga memburu tidak karuan. Dengan ucapannya, Alice berhasil menghentikan langkah Dekan.
"Maksudmu apa?" Kerutan di kening pria paruh baya itu mulai terlihat.
"Saya mohon, batalkan camping ini!" Suara Alice mampu terdengar oleh beberapa orang di sekitarnya, mereka ikut menyimak pembicaraan tersebut.
Sang Dekan menghela napas sejenak, ia terlihat sedang berpikir. "Tidak semudah itu membatalkan acara ini."
"Kejadian tadi sampai merenggut korban, Pak! Di sini berbahaya!" Dengan sisa air mata yang mulai kering, Alice terus berusaha membujuknya.
"Saya mohon maaf, tapi camping ini akan tetap berlanjut. Saya janji, akan memperketat pengawasan dan pengamanan selama camping berlangsung," papar sang Dekan lalu kembali melanjutkan langkah.
"Bukan itu masalahnya, Pak. Tapi setidaknya hargai kematian teman kami. Tidak baik juga kita bersenang-senang setelah kejadian duka seperti ini," sambung Emely berhasil membuat Dekan itu terdiam.
"Lanjutkan saja acara ini, Pak. Setahu saya, tidak ada sejarahnya kampus Trinity gagal dalam melaksanakan kegiatan." Chris tiba-tiba saja bergabung setelah keluar dari balik tenda.
Pemuda itu memang sudah tahu lebih perihal kampus Trinity. Bukan hanya karena dia anak dari salah satu dosen di sana, tapi dia juga tinggal di perumahan yang berseberangan dengan kampus tersebut. Dengan begitu, sedikit banyaknya Chris tahu informasi tentang kampus itu.
"Reputasi tidak sebanding dengan nyawa!" Emely mulai tersulut emosi. Kenapa Chris selalu membuat dirinya darah tinggi?
"Pihak kampus akan bertanggung jawab untuk hal itu. Bahkan, jika keluarga korban meminta tanggung jawab yang lebih besar pun, kami mampu melakukannya. Namun, membangun reputasi yang baik di mata masyarakat bahkan dunia, itu tidaklah mudah. Saya tidak mau akibat kejadian ini citra kampus disorot buruk. Saya harap kalian mengerti." Sang Dekan kembali berjalan, ia tidak memedulikan Emely dan Alice yang memancarkan raut kesedihan.
ΦΦΦ
Langit semakin berubah warna, matahari mulai meredup dan menyisakan cahaya jingga. Cuaca yang cerah pun menambah kesan sempurna di penghujung hari ini.
Semua peserta camping sudah berkumpul sesuai bimbingan panitia. Mereka sedang diarahkan mencari kayu bakar ke dalam hutan untuk acara api unggun nanti malam. Tak lama setelah itu, semua mahasiswa berhamburan mulai memasuki hutan.
Roland yang berjalan berdampingan dengan Emely terus membuat gadis itu terkekeh. Apalagi di tengah-tengah aksi mereka memunguti ranting yang kering, pria itu terus mengeluarkan rayuan mautnya. Dia memang selalu berhasil membuat Emely kembali tersenyum.
"Roland, lebih baik kita berpencar saja. Agar lebih cepat mengumpulkan rantingnya." Emely memberi usul.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendiri."
"Kalau aku terus mencari ranting bersamamu, kau akan terus bicara dan menghambat waktu." Mendengar itu Roland malah memberi cengiran. "Nanti kita bertemu lagi di sini," lanjut Emely.
Sejenak Roland mengembuskan napas. "Tapi kau harus ingat, jangan terlalu jauh. Oke?" gumam Roland seraya menyentuh pipi gadisnya dengan lembut.
Keduanya mulai berjalan berbeda arah. Derap langkah mereka hanya terdengar saling bersahutan melalui suara daun kering yang mereka injak. Tanpa Emely tahu, Roland sesekali menolehkan wajah hanya untuk memastikan keadaan gadis itu.
Desiran angin terdengar menyapa pepohonan sampai membuat daun-daunnya berjatuhan. Pun dengan para burung yang keluar dari sarang dan mulai beterbangan dengan kicauan yang membuat suasana hutan menjadi ramai. Tatapan Emely terus menengadah menyaksikan hal tersebut. Entah kenapa perasaannya langsung tenang, ia terlihat menyukainya. Padahal, sebelum ini Emely sangat anti dengan hutan.
Tangan gadis itu mulai kembali mengambil ranting yang berserakan, tapi kali ini terjadi sesuatu yang janggal. Ranting yang baru saja Emely genggam malah terpotong menjadi beberapa bagian, itu membuat rantingnya jadi tidak sempurna.
"Kenapa lagi dengan tanganku?" Gadis berambut pirang itu terus menatap tangannya dengan rasa bertanya-tanya.
Pikiran Emely kembali mengingat kejadian aneh yang pertama kali ia alami, yaitu menghancurkan piring dengan sentuhannya sendiri.
Apakah sekarang hal itu terjadi lagi?
Kini pandangan dari manik abu itu mengedar mencari ranting berukuran besar. Ia tidak mau waktunya sia-sia dengan tidak mendapatkan ranting yang cukup untuk api unggun. Namun, ranting besar itu juga bernasib sama, patah saat Emely mengangkatnya.
"Aku harus mencari tahu secepatnya apa yang terjadi pada diriku," urai Emely. Ia mulai lelah dengan keanehan yang terus saja mengganggu.
ΦΦΦ
Mata tajam bak elang yang sedari tadi terus mengawasi seseorang kini mulai terpejam disertai mulut yang mengucapkan sesuatu dengan tak bersuara. Matanya kembali terbuka dan seketika melotot dengan lebar. Lalu, tiupan kecil keluar dari mulutnya, melengkapi ucapan tanpa suara yang tadi pria itu lakukan.
Seketika, angin kencang datang membuat sosok berambut pirang incarannya itu terkejut dan kewalahan.
"Ini sapaan kecil dariku, tidak akan kubiarkan kau hidup dengan tenang!" Dari balik pohon yang besar, Mr. Ex terus menyeringai.
Angin kencang terus menyerang Emely, mengoyak pertahanan tubuhnya hingga limbung. Mr. Ex pun membuat daun-daun kering di sekitarnya beterbangan, berputar mengelilingi Emely. Membuat gadis itu merasa sangat terganggu.
"Ada apa ini? Kenapa anginnya kencang sekali?" Tangan Emely terlihat dikibaskan untuk menepis dedaunan.
Sunggingan kemenangan tercetak di wajah Mr. Ex, ia sangat menikmati kecemasan yang sedang menimpa gadis blasteran tak jauh darinya. Kini mata tajam pria yang tidak lagi muda itu menyorot fokus pada tubuh Emely, pandangannya terkunci di sana. Seketika tatapan tersebut dengan cepat teralih pada pohon besar yang berdiri tak jauh dari gadis itu.
Tanpa sentuhan, tubuh Emely langsung terbanting keras pada pohon yang tadi Mr. Ex arahkan.
"Arghhh!" Gadis itu memekik, tubuhnya tergeletak di tanah. Ia tmpak tak bertenaga untuk kembali berdiri. Melihat itu, Mr. Ex ingin segera menambah penderitaannya lagi.
Namun, sosok ilmuwan itu malah mengurungkan niatnya setelah melihat kain baju pada lengan Emely terangkat dan menampilkan tato di sana. Gadis itu terlihat terganggu dengan tato tersebut, ia terus menggaruknya. "Banshee," lirih Mr. Ex diiringi senyuman kecut.
"Auwh ... s-sakit sekali." Emely mengerang sambil memegangi punggung yang tadi terbentur lebih keras pada pohon itu, membuat Mr. Ex tertawa hambar karena puas dengan permainannya.
ΦΦΦ
Waktu sudah menunjukkan pukul 18.35, semua orang tengah menyusun acara untuk api unggun. Namun, di antara mereka ada yang sedang diserang kekhawatiran. Sedari tadi Emely terlihat gelisah karena Roland belum juga datang dari hutan. Ia sudah menunggunya di tempat terakhir mereka berpisah, tapi lelaki itu tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya.
Gatal pada tatonya pun belum sirna, membuat Emely semakin tidak karuan. "Aku tidak bisa terus menunggu seperti ini!" pekiknya berjalan cepat ke arah hutan.
Alice yang melihat itu segera menghentikannya, jangan sampai Emely pergi ke hutan seorang diri. "Kau sudah gila, hah? Di dalam hutan sana sangat gelap. Itu berbahaya, Em!" Ia terus menyadarkan Emely. "Lagipula, beberapa panitia sedang mencarinya. Kau tenanglah ...."
"Aku tidak mungkin hanya berdiam diri saja, Al! Sedangkan, di hutan sana Roland pasti sedang kesusahan!" Benak Emely mulai berpikiran buruk. Air matanya jatuh diiringi isakan yang tersedu-sedu. Alice memeluk sahabatnya singkat, ia sangat tahu bagaimana perasaan Emely sekarang.
Detik berganti menit hingga terus menciptakan beberapa jam yang semakin malam. Api unggun sebentar lagi akan dimulai, awak media pun sudah datang untuk meliput acara tersebut. Sambutan dari Dekan dan perwakilan fakultas juga tak luput disuguhkan. Hingga nanti pada puncaknya, acara ini akan berujung dengan pelepasan balon udara. Disertai salah seorang yang ikut di dalamnya. Orang terpilih yang ditugaskan untuk berkeliling beberapa kota di Irlandia.
Emely hanya duduk di depan tenda tanpa melirik acara itu sedikit pun, ia masih menanti kedatangan Roland. Tangannya juga tak pernah lelah menggaruk pada bagian tato, entah gatal itu pertanda apa sebenarnya.
Gadis dengan wajah yang mulai sembab itu seketika berdiri kala melihat segerombolan panitia yang mencari Roland sudah datang. "Di mana Roland? Dia baik-baik saja? Mana dia sekarang?" Emely langsung menyerbu para panita dengan beberapa pertanyaan.
"Maaf, kami belum menemukannya," lirih salah satu panita.
Emely ambruk, lututnya sama sekali sudah tidak bisa menopang tubuh. Ia lemas, pikirannya kacau, hatinya hancur tidak karuan. "Ini salahku!" raungnya menyesal.
"Em, kau harus percaya kalau Roland pasti akan baik-baik saja. Para panitia akan mencarinya lagi besok." Alice terus berusaha menenangkan gadis itu.
Namun, sang lawan bicara tidak mendengarkan ucapan itu sedikit pun. Ia malah berpikir kalau Roland pasti sedang menunggunya di tempat terakhir mereka bertemu. Tanpa disangka, Emely berlari sekuat tenaga ke dalam hutan. Alice sampai bingung harus melakukan apa untuk bisa mencegahnya.
"Emely!" Alice terus meneriaki gadis itu, tapi terlambat. Emely sudah hilang dari pandangan.
ΦΦΦ
Cahaya rembulan memang sedang berpihak pada gadis cantik yang sedang berkeluyuran di dalam hutan, ia berjalan dengan sorotan cahaya temaram. "Rolaaand! Kau di mana?" Teriakan yang sedari tadi Emely keluarkan percuma. Hanya suara hewan malam yang terus menyahutnya.
Tanpa lelah, Emely terus menelusuri hutan semakin dalam. Ketakutan seakan sirna dan hanya tekad yang menemaninya. Akan tetapi, kini keanehan malah datang menyapa. Tubuh Emely terpaku, kakinya benar-benar tidak bisa diayunkan. Seperti ada yang sedang menahan tubuhnya, tapi entah apa itu.
"Kenapa ini? Kakiku berat sekali," katanya dengan terus berusaha melangkah.
Gatal pada tatonya pun kini malah menyebar ke seluruh tubuh, ia terus bergerak menggaruki area tubuh yang bisa ia capai karena gatal. Kepalanya terus berputar ke sana kemari dengan tidak pasti. Matanya mulai menajam menelisik keadaan sekitar seakan sedang mencari mangsa. Leher yang juga terus menggeliat membuat Emely semakin aneh untuk dilihat dan kini tangannya malah mengacak rambut diikuti teriakan yang dapat memekakan telinga.
"Aaarrghhh!" Jeritan itu mengundang sekelompok kelelawar yang melintas dengan cicitan. Burung-burung yang tertidur pun terbangun dan beterbangan.
Kini sosok mengerikan telah hadir di dalam hutan. Kulitnya yang putih pucat dilumuri goresan hitam dengan wajah menyerupai tengkorak berbalut cahaya yang menyorot dari lubang mata dan mulutnya. Rambut yang tadinya pirang kini berubah hitam dan menebal sangat berantakan. Ditambah kulit punggung yang menggelambir panjang disertai kuku tajam yang siap mencakar. Makhluk itu benar-benar sangat menakutkan.
ΦΦΦ