Chereads / Eliminate A Curse / Chapter 10 - Eps. 9

Chapter 10 - Eps. 9

Emely kini sudah berubah menjadi sosok mengerikan itu lagi. Dia terbang dengan menembus atap perpustakaan tanpa kesulitan. Tubuhnya yang terasa ringan membuat Emely bebas melayang sembari menjerit layaknya sedang merasa kesakitan yang luar biasa. Hingga pada akhirnya, dia mendarat di balkon apartemen dengan aman.

"Astaga!" Emely terkejut setelah melihat dirinya dari pantulan kaca jendela. Mata dan mulutnya yang menyala serta tulang wajah yang menonjol membuat Emely enggan menatap lama dirinya sendiri.

"Kenapa wajahku sangat menakutkan?" Gadis itu terlihat panik, ia terus mengusap wajah dan meneliti setiap inci tubuhnya.

"Jadi ... saat di hutan aku berubah menjadi seperti ini?" lirihnya seraya menunduk. Bendungan air bening di mata indah itu mulai berlinang, dia merasa dirinya sangat aneh dan tidak seberuntung orang-orang.

Kakinya yang semakin lemas berakhir ambruk, membuat dirinya terduduk lesu. Emely menangis dalam diam, lagi-lagi gejolak amarah dan kesedihan ingin ia lampiaskan pada apa pun yang dilihatnya. Namun, semua itu akan percuma. Ia hanya mampu menjerit sekuat tenaga di gelapnya malam yang telah membuatnya sengsara.

Beberapa menit Emely bergulat dengan cairan dari matanya, hingga ia baru sadar dengan buku XVIII yang berhasil ia bawa. Sontak Emely segera menghapus air mata itu dengan gusar.

"Semoga saja buku ini dapat membantuku," katanya percaya diri.

Dengan tangan yang dihiasi kuku panjang nan hitam, Emely membuka buku itu secara perlahan. Pada halaman pertama ia tidak menemukan tulisan apa pun, hanya terdapat gambar yang menyerupai tanda lahirnya dan sebuah kalung yang terlukis di sana.

"Apa tanda lahirku ada hubungannya dengan ini?" Emely mulai diserang rasa penasaran yang tinggi.

Gadis itu kembali membuka halaman berikutnya dan terlihat deretan huruf dalam bahasa Irlandia yang sepertinya tertulis dari cairan tinta hitam pada zaman dahulu. Warna kertasnya pun kusam dan terdapat beberapa bagian yang robek di sana, tapi tulisannya masih tetap bisa terbaca. Ditambah Emely cukup mengerti tulisan Irlandia.

Sorotan cahaya dari mata Emely mulai menajam. Dengan saksama ia membaca tulisan tersebut tanpa bersuara. Kuku panjang pada jari telunjuknya pun ikut membantu mengarah pada tulisannya. Ternyata, halaman ini menjelaskan tentang makhluk yang bernama Banshee.

Banshee adalah makhluk mitologi Irlandia yang dikenal sebagai roh wanita. Mereka dianggap sebagai malaikat kematian karena dapat merasakan tanda-tanda orang yang akan meninggal melalui gatal pada tubuhnya. Ia juga diyakini berasal dari dunia lain. Banshee merupakan bagian dari penyembahan berhala atau patung kuno, di mana mereka dikatakan sebagai bawahan Tuhan.

Sejenak, Emely berhenti membaca. Ia memikirkan sesuatu yang berkaitan dengan hal yang baru saja ia serap ke dalam otaknya. "Apa mungkin ... gatal yang selama ini aku rasakan itu pertanda kematian seseorang?" Ia mulai bingung.

Benak Emely terus berpikir keras mencerna semuanya. Seketika ia mulai paham dengan hal itu. "Ya ampun! Ini benar. Sebelum kematian Lucy dan Roland, tato di lenganku selalu gatal. Jadi itu adalah pertanda? Bodoh sekali! Kenapa aku tidak menyadarinya?" ungkap Emely merutuki diri sendiri.

Halaman selanjutnya telah dibuka. Gadis Banshee itu kembali membaca tulisan di sana yang merupakan kelanjutan dari halaman sebelumnya.

Berdasarkan legenda, sosok Banshee akan berkeluyuran di luar rumah pada malam-malam tertentu, tepatnya malam hari di setiap tanggal ganjil dengan mengeluarkan raungannya yang khas. Dikatakan dalam sejarah, bahwa seseorang yang dapat berubah menjadi makhluk mitologi Banshee ini adalah orang yang sudah mendapat kutukan dari sang dewi, dikarenakan sebuah kesalahan yang sengaja ia langgar.

Spontan Emely menatap dirinya sendiri yang masih dalam keadaan mengerikan. Ia merasakan bahwa saat dirinya berubah, jeritan keras pun selalu keluar dari mulutnya. Keyakinan semakin kuat saat Emely mengingat kejadian tempo hari di hutan dan malam ini, yang bertepatan dengan tanggal ganjil.

"Apa sekarang ini aku sedang berubah menjadi Banshee?" Hati dan otaknya serempak mengatakan 'iya'. Padahal, raga Emely sangat tidak terima.

"Dan kutukan? Kesalahan apa yang membuatku dikutuk seperti ini?" monolognya dengan gelisah. Sesekali Emely menarik napas pelan untuk menetralkan tubuh, beberapa kebenaran yang telah diketahui membuatnya harus tegar. Walaupun, semua pertanyaan Emely belum sepenuhnya terjawab tuntas.

ΦΦΦ

Langit sudah menjemput sang mentari untuk menciptakan suasana pagi hari di muka bumi ini. Sorotannya yang menyengat mampu menyilaukan dunia dan membuat orang-orang terbangun dari tidurnya. Netra seorang gadis terlihat mengerjap dan seketika membuka mata lebar saat tahu dirinya tertidur di balkon kamar.

"Ck, aku sampai ketiduran di sini." Emely berucap dengan suara khas orang bangun tidur.

Pantulan kaca jendela menampilkan tubuh Emely yang sudah kembali seperti semula, membuat bibir gadis itu terangkat membentuk lengkungan indah. "Aku harus cepat membaca buku ini sampai selesai," ujarnya seraya memasuki kamar dan segera membersihkan diri.

Namun, baru beberapa menit Emely merendam tubuh di kamar mandi, tiba-tiba suara aneh terdengar membuat Emely mengernyitkan dahi.

"Suara apa itu? Jangan-jangan ada orang yang masuk ke kamarku?" Dengan panik gadis itu mempercepat ritual mandinya. Kebetulan juga tempat berganti pakaian di apartemen itu disatukan dalam satu ruangan dengan kamar mandi, hanya dibatasi oleh tembok kecil yang terletak di sebelahnya. Sehingga, Emely bisa langsung berganti pakaian di sana.

Tak lama, dia mulai berjalan keluar kamar mandi dengan perlahan dan tetap waspada, takut seseorang sedang merampok kamarnya. Tepat saat Emely berdiri di tepi ranjang, suara itu terdengar lagi. Lebih jelasnya seperti suara hewan yang berdengung.

Emely menelisik mencari sumber suara tersebut. Seketika mata abu itu menangkap sekumpulan laron yang berkumpul di atas pintu balkon sembari membawa buku XVIII.

"Oh, tidak! Kenapa mereka membawa buku itu?" Tanpa pikir panjang gadis itu langsung berlari mengejar ratusan laron yang memenuhi kamarnya. Berusaha meraih buku XVIII walaupun sangat susah. Apalagi, laron-laron itu sesekali menyengat tangan Emely.

"Kumohon, kembalikan buku itu!" teriaknya seperti orang tidak normal berbicara pada hewan. Namun, laron-laron tersebut malah keluar melalui celah ventilasi yang lumayan besar di atas pintu balkon. Membuat Emely harus tetap mengikuti laron tersebut ke mana pun mereka terbang.

Makhluk kecil yang beterbangan itu seolah mempermainkan Emely, mereka terus berpindah tempat dari balkon dan masuk kembali ke kamar. Gadis asal Indonesia itu sampai harus bolak-balik mengejar makhluk kecil tersebut. Hingga akhirnya Emely menghentikan langkah sejenak, mengambil napas untuk mengumpulkan tenaga lagi.

Sepertinya ... ini bukan laron biasa, batin Emely mulai paham.

Hewan itu tampak berhenti tepat di atas pagar balkon kamar. Seolah memancing Emely untuk terus berlanjut mengejarnya. "Buku itu akan berhasil kudapatkan!" Gadis itu berseru dengan semangat dan langsung berlari menuju balkon.

Namun, kesialan malah datang. Kaki Emely terpeleset dan tubuhnya terpental keluar pagar. Kalau saja tangannya tidak langsung berpegangan pada pagar besi itu, mungkin tubuh Emely sudah terjatuh.

"Tolooong!" Sekuat tenaga Emely terus bertahan, tapi pagar besi yang digenggamnya malah hancur secara perlahan. Membuat tangan Emely tidak bisa lagi menahan tubuhnya dan berakhir jatuh tanpa bisa diselamatkan. Laron-laron itu telah berhasil membuat Emely celaka.

ΦΦΦ

"Terima kasih. Kalian bekerja dengan baik." Mr. Ex berucap menyambut ratusan laron yang datang dari balik jendela ruang keluarga di rumahnya. Buku XVIII kini sudah berada di tangan pria itu, dia tahu betul kalau Emely yang mengambilnya. "Kalian istirahatlah," lanjutnya pada laron-laron tersebut. Mereka pun pergi sesuai perintah sang ilmuwan.

"Ayah bicara dengan siapa?" Chris bertanya. Ia sedikit menolehkan kepalanya dari balik sofa yang tak jauh dari tempat Mr. Ex berdiri.

Sontak Mr. Ex terkejut dan segera menaruh buku itu sembarang. "Tidak, Ayah tidak bicara dengan siapa-siapa," jawabnya santai.

Ia terpaksa harus meninggalkan buku itu di meja kecil yang berada di pojok ruangan berdekatan dengan jendela, itu semua agar Chris tidak curiga. "Cepat siap-siap! Ayah tunggu di mobil," seru Mr. Ex seraya berjalan melewati Chris.

"Ke mana lagi?"

"Irlandia Utara. Ayo, cepat! Ayah tidak mau mendengarkan alasan apa pun!" Mr. Ex sudah hilang dari pandangan. Padahal, Chris belum selesai mengeluarkan semua sanggahannya.

"Astaga! Padahal ini hari libur, kenapa persembahan tidak diliburkan saja!" Chris menepuk jidatnya pasrah, ia benar-benar tidak bisa mencari cara untuk membantah sang ayah. "Kapan aku bisa bebas dari semua ini? Argh!" Pemuda itu berdecih seraya bangkit dengan malas.

ΦΦΦ

"Kau sudah sadar?" sambut seseorang saat melihat Emely mulai membuka mata. Dia adalah Mrs. Calisa, wanita paruh baya yang tinggal di apartemen lantai bawah.

"Mrs. Calisa, apa yang terjadi padaku? Dan ... ini di mana?" Gadis itu tampak tidak mengerti.

"Tadi aku menemukanmu pingsan di halaman gedung. Karena aku tidak tahu kau tinggal di apartemen nomor berapa, jadi aku membawamu ke apartemenku saja. Aku hanya ingat kau tinggal di lantai dua." Penjelasan Mrs. Calisa akhirnya mampu membuat Emely teringat akan penyebab dirinya pingsan.

"Maaf, aku sudah merepotkanmu."

"Tidak, santai saja. Memangnya apa yang terjadi padamu, Nak?" Mrs. Calisa mulai menatap Emely serius.

Gadis itu terdiam sejenak. "Mungkin aku kelelahan karena habis membersihkan halaman tadi," jawabnya berbohong.

"Ternyata ada juga orang yang bersedia membersihkan halaman. Biasanya, penghuni lain tidak peduli dengan hal itu." Ucapan Mrs. Calisa membuat Emely gugup. "Kau istirahat saja dulu. Aku akan mengambil makanan untukmu," lanjutnya seraya berdiri.

Sontak gadis itu menahan pergerakan Mrs. Calisa. "Tidak perlu, Mrs. Calisa. Aku akan kembali ke apartemenku saja."

"Jangan begitu. Sebagai sesama penghuni apartemen di gedung ini, aku ingin memperlakukanmu dengan baik. Jadi, setidaknya kau makanlah sedikit masakanku."

Emely jadi merasa tidak enak jikalau menolak permintaan Mrs. Calisa yang sudah menolongnya. "Baiklah," timpalnya mengangguk.

ΦΦΦ