Chereads / Eliminate A Curse / Chapter 13 - Eps. 12

Chapter 13 - Eps. 12

Untungnya semalam Emely bisa melarikan diri sebelum berubah menjadi Banshee. Jika saja terlambat, mungkin sekarang ia sudah disorot sebagai makhluk jadi-jadian atau bahkan siluman. Jangan sampai itu terjadi.

"Kenapa buku XVIII ada di rumah Chris? Apa dia pencurinya?" monolog Emely. Ia terus memikirkan itu sejak semalam walau tak kunjung mendapat jawaban.

Sekarang gadis itu benar-benar menjaga buku XVIII dengan baik. Dia sampai menyimpannya di dalam kotak dengan kunci gembok yang aman. Lalu, pagi ini ia membukanya lagi untuk melanjutkan membaca.

Untuk kedua kalinya, Emely melihat gambar kalung dan bentuk tanda lahirnya di lembaran pertama buku tersebut. Membuat ia menatap lekat sembari berpikir kalung apa itu sebenarnya.

Emely terus membuka halaman berikutnya mencari bagian yang belum ia baca. Lagi-lagi ia melihat gambar kalung itu, tapi sekarang terdapat sederet tulisan di bawahnya.

'Kalung batu diamond, sebuah benda sakral dengan sumber kekuatan yang banyak diincar orang. Kalung ini bagian dari mata patung leluhur sakti yang amat disegani. Kalung yang menjadi salah satu pusat kekuatan bagi para pengikut setia sang dewi. Bilamana ada orang yang dengan beraninya mengambil kalung itu dan membuat mata patung sang dewi tidak sempurna, maka hidupnya akan penuh kesialan.'

Emely sedikit tersentak saat membaca kalimat akhir dari tulisan tersebut. "Kesialan? Apa itu artinya kutukan?" tanyanya mulai panik. "Tapi ... aku tidak pernah merasa mencuri sebuah kalung." Gadis malang itu mengembuskan napas pasrah, ia kembali melanjutkan bacaannya.

'Kesialan yang akan berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya, turun-temurun, dan akan berhenti jika mereka mampu menghentikannya. Itulah kemurkaan yang amat dahsyat dari sang dewi yang dibuat cacat karena bagian mata dari patungnya telah diambil tanpa izin.'

"Itu artinya ... sebelum aku lahir sudah ada seseorang yang menerima kutukan ini terlebih dulu." Emely menyimpulkan.

'Kekuatan. Itu juga yang akan didapatkan. Dengan sendirinya kalung itu akan memberi sumber kekuatan bagi orang yang bersangkutan. Memberi energi dalam, dengan aliran yang sesuai. Namun, orang yang mendapat kutukan belum tentu mampu untuk menggunakan kekuatannya.'

"Omong kosong! Kekuatan apa? Selama ini hanya ada keanehan yang membuatku sial." Dia mulai kesal karena merasa dipermainkan dengan hal yang menurutnya tidak jelas.

Namun, Emely tidak boleh patah semangat. Dirinya sudah terlanjur masuk pada kehidupan yang aneh ini, maka ia harus bisa menyelesaikannya. Dengan malas, gadis berdarah campuran itu kembali membaca lembaran buku selanjutnya.

Invizibila. Orang yang bersungguh-sungguh 'melenyapkan kutukan itu, pasti akan melawan semua rintangan besar di dalamnya. 54°39′N 6°48′W / 54.65°N 6.8°W.'

"Invizibila?" Kata itu sungguh asing bagi Emely. "Tunggu, angka-angka ini seperti ...," lanjutnya berpikir keras. "Titik koordinat! Apa mungkin Invizibila itu sebuah tempat?"

Kini Emely mulai menelitinya sendiri. Ia segera mencari deretan angka tersebut di internet melalui laptopnya. Jika itu benar, maka dirinya mendapat harapan baru. Apapun itu, ia akan melewatinya demi kedamaian hidup agar kembali seperti sediakala.

ΦΦΦ

Pukul sembilan pagi, Emely bersiap-siap untuk pergi setelah ia berhasil menemukan letak titik koordinat yang dicari. Koordinat itu persis berada di bagian Utara Kota Dublin, yakni Irlandia Utara. Akan tetapi, dirinya sendiri masih tidak tahu daerah mana yang harus ia kunjungi. Emely berpikir untuk pergi saja terlebih dulu, biarkan tempat itu ia tanyakan nanti saat sudah sampai di tempat itu.

Senyuman Emely tak pernah pudar sejak ia tahu akan menemukan jalan keluar bagi semua keanehan yang selama ini datang. Ia menganggap ini adalah sebuah misi, misi menghilangkan kutukan yang harus ia tempuh sejauh apa pun itu.

Seketika Emely teringat dengan penjelasan kalung batu diamond yang mengatakan bahwa semua itu bersumber dari kalung tersebut dan bersifat turun-temurun. Dengan segera ia meraih ponselnya untuk menghubungi sang ayah.

"Halo, Ayah. Aku merindukanmu."

"Halo, Nak. Ayah jauh lebih merindukanmu."

Gadis itu terdiam sejenak, ia masih ragu untuk menanyakan perihal kutukan serta kalung itu.

"Ayah, aku ingin menanyakan sesuatu."

"Katakan saja, Sayang."

Sontak Emely mengernyitkan dahi saat mendengar suara batuk dari seberang telepon. Ia yakin ayahnya pasti sedang tidak sehat.

"Ayah kenapa? Sakit?"

"Ah, tidak. Ayah hanya demam biasa, kau jangan cemas. Oh, iya, apa yang ingin kau tanyakan, Em?"

Emely bingung, ia tidak mungkin bertanya hal yang mungkin saja menurut ayahnya itu aneh. Jika tetap ngotot, ia takut beban pikiran sang ayah akan bertambah dan sakitnya akan menjadi parah.

"Tidak. Ayah jangan lupa minum obat, jaga kesehatan juga."

"Katakan ada apa? Ayah tahu kamu sedang banyak pikiran."

Gadis berbulu mata lentik itu memejamkan mata singkat karena Jack berhasil menebaknya, tapi Emely juga tetap tidak mau memberi tahu yang sebenarnya saat kondisi Jack seperti ini. Ia harus bisa mengalihkan pembicaraan.

"Aku tidak apa-apa. Tadi aku hanya ingin menanyakan kabar Ayah saja, tapi dari suara batuk Ayah aku jadi sudah tahu lebih dulu."

"Kau yakin?"

"Iya. Ayah tenanglah."

"Baiklah, Ayah sayang padamu."

"Aku juga sayang Ayah."

Panggilan berakhir. Emely terpaksa harus mengurungkan pertanyaan yang mengganjal di hatinya.

ΦΦΦ

Dua jam perjalanan menuju Irlandia Utara sudah berakhir. Mobil sewaan yang dikendarai Emely kini terparkir di salah satu pusat kota di sana, ia sedang mengistirahatkan diri sekaligus mengamati kota tersebut.

Namun, itu hanya sesaat, Emely tidak mau membuang waktu. Ia kembali melajukan mobilnya mencari tempat bernama Invizibila. Terpaksa dirinya harus menanyakan kepada penduduk setempat, karena bantuan dari Google Maps juga tidak berhasil.

Emely terus mengelilingi sebagian kota di Irlandia Utara, bertanya ke sana kemari berharap mendapat jawaban yang pasti. Akan tetapi, semua orang pun tidak mengetahui tempat itu.

"Sebenarnya di mana Invizibila?" Dia mulai lelah. Kurang lebih sudah enam jam ia berkeliaran tidak karuan di jalanan, tapi tempat itu tak kunjung ditemukan.

Hari semakin malam, dengan semangat yang masih tersisa, Emely tetap melanjutkan pencarian. Meyakinkan diri kalau ia pasti bisa menemukan tempat Invizibila. Kini dia kembali menyusuri jalan dengan bertanya pada orang-orang. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering dan terpaksa ia harus menghentikan laju mobil.

"Halo, Carlos?"

"Kau di mana? Cepatlah ke rumah sakit!"

Pemuda itu berucap dengan kesusahan disertai nada yang sangat cemas, membuat kedua alis Emely tertaut penasaran.

"Apa yang terjadi?"

"Alice hilang, Em!"

"Apa? Kenapa bisa begitu? Bukannya pihak rumah sakit terus menjaga dia?" Emely terkejut, ia tidak habis pikir Alice yang sedang dalam masa koma bisa hilang begitu saja, itu tidak mungkin.

"Aku tidak tahu. Lebih baik kau cepatlah kemari!"

"Maaf, Carlos. Sekarang aku sedang ada urusan. Tapi besok aku janji akan ke sana."

"Baiklah, aku akan menunggumu besok."

Emely langsung memutuskan panggilan, ia segera memcari hotel untuk beristirahat. Dirinya sudah lelah dengan pencarian tempat bernama Invizibila yang masih belum ditemukan. Ia juga tidak mungkin kembali ke Kota Dublin di saat hari sudah larut malam seperti ini.

ΦΦΦ

Setelah pagi menyambut, gadis bersurai pirang itu akhirnya pergi ke rumah sakit tanpa mampir ke apartemennya terlebih dulu. Ia sampai di sana tepat pukul sembilan pagi.

"Bagaimana kabar Alice?" Emely langsung bertanya pada Carlos.

"Dia belum ditemukan. Pihak rumah sakit sedang mencarinya. Mereka berpikir ini aneh, karena saat pemeriksaan terakhir Alice masih koma. Kalaupun dia sudah sadar, tetap saja dia belum mampu untuk berjalan. Jadi, tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja."

"Jangan-jangan ada orang yang menculiknya?" terka Emely.

"Maksudmu?"

Emely mencoba berpikir. "Apa sebelum Alice hilang ada orang yang masuk ke ruangannya selain perawat dan dokter?"

"Entahlah, aku 'kan terus berbaring di sini. Soal Alice hilang pun aku tahu dari Paman, tapi ...." Carlos menggantungkan kalimatnya.

"Tapi apa?"

"Kemarin sore sebelum Paman kemari, Mr. Ex ke sini menjengukku. Entah dia juga menjenguk Alice atau tidak. Persis setelah itu pamanku datang membawa kabar hilangnya pasien kamar sebelah," jelas Carlos.

"Mr. Ex pasti menjenguknya juga." Emely berpikir seperti itu karena ia yakin kalau Mr. Ex tidak mungkin hanya melihat satu anak didiknya saja, dia juga pasti melihat korban lainnya. "Aku pergi dulu," lanjut Emely langsung keluar tanpa menanggapi panggilan Carlos.

Sesampainya di lobi rumah sakit, Emely malah melihat buku XVIII tergeletak di lantai lobi. Ia terkejut, itu aneh sekali. Padahal, mobilnya tadi terkunci.

"Kenapa bukunya ada di sana? Seingatku ... buku itu ada di dalam mobil." Gadis itu mulai panik, ia segera mengambil buku tersebut.

Namun, tepat saat tangannya terulur, buku itu malah menjauh dengan sendirinya. Bergeser hingga halaman rumah sakit yang terlihat sepi. Untungnya orang-orang yang berlalu-lalang di lobi hanya beberapa, sehingga tidak begitu mengamati pergerakan Emely atau pun buku itu.

Gadis itu mulai kesal, benda tersebut malah terbang perlahan dan keluar dari area rumah sakit. Mau tidak mau ia harus mengejarnya. Akan tetapi, Emely tidak bisa terus mengikuti buku itu dengan larinya yang kalah cepat. Ia pun memutuskan untuk mengejarnya dengan mobil. Bahkan, untuk sesaat dia sampai melupakan perihal kehilangan Alice karena buku tersebut.

ΦΦΦ

Di sisi lain, Chris sedang menunggu seseorang di daerah yang tak jauh dari rumah sakit yang Emely datangi. Ia duduk di bumper mobil yang terparkir di pinggir jalan, Chris masih menunggu temannya yang tak kunjung keluar. Namun, tiba-tiba ia terkejut dengan benda asing yang jatuh tak jauh dari sana.

Tanpa ragu pemuda itu menghampirinya. Sontak ia langsung mengerutkan dahi. "Sepertinya ... aku pernah melihat buku ini, tapi di mana?" Chris langsung melihat lembaran buku XVIII, tapi ia sama sekali tidak membacanya. "Buku yang aneh," decihnya.

Tepat saat Chris menutup buku tersebut, tanda lahir yang berada di pergelangan tangannya tak sengaja bergesekan dengan pernik timbul dari bola kristal biru yang terdapat pada area cover buku tersebut. Membuat bukunya seketika bercahaya terang sampai membuat mata Chris silau.

"Ada apa ini?" Ia mulai panik, tangannya masih menutupi mata karena cahaya itu belum sirna. Hingga akhirnya Chris merasakan angin besar datang yang membuat dirinya semakin ketakutan. Beberapa detik kemudian, Chris membuka mata perlahan. Dia begitu tercengang saat melihat keadaan sekitar sudah berubah 180 derajat dari sebelumnya.

"Astaga! Di mana aku?" Pria itu semakin panik. Ia terus mengamati sekeliling yang begitu asing.