Tiga hari berlalu, Carlos sudah sadar sejak dua hari kemarin, tapi tidak bagi Alice. Dia ditemukan dengan keadaan yang amat parah, serpihan kaca banyak menancap di wajahnya. Kini gadis itu dinyatakan koma.
"Carlos, maafkan aku." Emely melirih, sedari tadi ia duduk di tepi ranjang rumah sakit menemani temannya.
"Kenapa kau minta maaf?" tanya Carlos dengan suara lemah.
"Sebagai temanmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, aku tidak mampu menolongmu dan Alice waktu itu."
Carlos terdiam, embusan napas terdengar pelan dari balik perban putih yang membungkus wajahnya. "Semua itu bukan salahmu, Em."
"Tetap saja aku merasa bersalah. Di sini hanya kalianlah temanku, aku tidak mau kehilangan kalian." Emely menunduk, hanya itu yang bisa dia katakan.
Namun, jauh di dalam hatinya ia terus memikirkan sesuatu. Entah kenapa Emely merasa salah tidak memberi tahu kedua temannya kalau dirinya mengetahui tentang semua hal buruk yang akan terjadi, tapi mereka pasti tidak akan percaya.
"Jangan terlalu dipikirkan. Lebih baik kau pulang saja, hari hampir malam." Carlos berucap sedikit kesusahan. Sontak lawan bicaranya baru sadar, hari ini adalah tanggal ganjil dan jika malam tiba dia pasti akan berubah.
"Baiklah. Jaga dirimu dan ...." Emely menolehkan wajah pada ruangan sebelah. "Dan Alice," lanjutnya seraya berdiri dan mendapat anggukan kecil dari Carlos.
ΦΦΦ
Langkah Emely tampak terburu-buru, ia harus cepat sampai di apartemen sebelum hari mulai gelap. Namun, tepat saat ia keluar dari rumah sakit, seseorang dengan cepat menarik tangannya. Membuat sang empu terperanjat dan hampir terjatuh.
"Apa-apaan ini?" sarkas Emely dengan menepis tangan pemuda itu walau tak berhasil. Sedangkan, Chris hanya diam dengan terus menariknya paksa, membuat gadis itu semakin kesal.
"Kau sengaja mengikutiku dan menculikku seperti ini, hah?" tanya Emely marah.
"Aku terpaksa mengikutimu."
Mendengar itu emosi gadis di sampingnya mencuat, ia terus meronta walaupun sia-sia. "Lepaskan!"
Tanpa babibu Chris membawa gadis itu ke dalam mobilnya. Dengan gerakan cepat ia sudah sampai di kursi kemudi dan langsung menekan tombol yang membuat pintu mobil terkunci, membuat Emely tak bisa beranjak untuk kabur.
Gadis bersurai pirang menghela napas berat, kini ia terjebak. "Kau akan membawaku ke mana?" tanyanya berusaha tenang.
"Ke rumahku."
"Untuk apa?"
"Mengerjakan proyek karya ilmiah. Aku tidak sudi membuatnya sendiri. Karena kau satu tim denganku, maka kau juga harus ikut membantu," jelas Chris meunjukan lirikan sinis.
Namun, Emely malah terkekeh dengan menggelengkan kepalanya jengah. "Hanya untuk itu? Harusnya kau bilang saja, tidak perlu menarik tanganku dengan kasar seperti tadi!"
"Jika aku berbicara baik-baik padamu, itu percuma. Kau pasti menolaknya." Pemuda dengan birai tipis itu mulai menghidupkan mobil, membuat Emely dengan secepat mungkin menyergah pria itu lagi.
"Oke, tapi sekarang aku tidak bisa ikut denganmu. Bagaimana kalau besok saja?" Emely berucap santai agar Chris menyetujuinya, karena ia tidak mungkin pergi malam ini.
"Tidak. Kita harus memulai proyeknya hari ini juga. Waktunya tinggal sedikit, lima hari lagi semua harus selesai. Sebagai anak dari salah satu dosen di kampus Trinity, aku tidak akan membiarkan nilai proyek pertamaku buruk. Apalagi, jika itu karena dirimu!"
Wajah Emely yang awalnya hanya datar karena kesal, kini malah berubah menjadi tawa keras sampai dirinya terpingkal. "Kau mau membodohiku? Dengan bilang kau anak dosen di kampus Trinity? Aku tidak percaya itu!"
Pemuda bermata cokelat itu berdecih dengan rahang yang mulai mengeras, Emely berhasil membuat Chris kesal balik terhadapnya. Tanpa merespons dulu, Chris langsung menancap gas dan melaju cepat di jalanan. Membuat gadis di sampingnya terkejut karena kecepatan mobilnya yang begitu kencang.
"Berhenti! Kau sebenarnya bisa menyetir mobil atau tidak, sih? Kita bisa mati jika kau mengendarai mobil seperti ini!" Emely terus berteriak. "Turunkan aku, Pria Sialan! Aku sudah bilang tidak bisa ikut!"
Chris tetap fokus, ia tidak mendengarkan ocehan gadis di dekatnya. Pria berkulit putih susu itu terus menyetir mobil dengan cekatan, menyalip kanan-kiri tanpa kesulitan, berbelok di tikungan tajam dengan lihai. Bahkan, dia sampai menerebos lampu merah tanpa takut akan hukuman.
"Kau mengabaikanku? Astaga! Baiklah, aku akan melompat saja dari sini!"
Namun, itu percuma. Emely lupa kalau pintu mobilnya masih terkunci. Ia mengusap wajah kasar, sekarang gadis itu sungguh terjebak dengan kegelisahan. Dia hanya bisa memikirkan cara untuk pergi saat dirinya berubah menjadi Banshee nanti.
Emely masih bergulat dengan pikiran, tepat saat itulah ia merasa mobil itu mulai berhenti. Akhirnya Emely tersenyum lega karena Chris mau menurutinya.
"Akhirnya," ucap Emely merasa menang.
"Sudah sampai." Ucapan Chris menghentikan Emely yang hendak membuka pintu.
"Apa?" Gadis itu melongo karena merasa bodoh, dia pikir Chris menghentikan mobil karena dia takut dengan ancamannya yang akan melompat itu. Emely sampai tidak sadar dengan keadaan sekitar karena terlalu khawatir, ternyata mobil tersebut sudah memasuki pekarangan sebuah rumah yang besar.
ΦΦΦ
Kini Emely sedang menatap setiap sudut rumah di hadapannya. Sejak Emely turun dari mobil tadi, ia tidak henti-hentinya bergumam di dalam hati, memuji kemewahan rumah ini.
Chris membuka daun pintu yang menjulang tinggi. Menampilkan lorong panjang dengan pilar-pilar besar. Lagi-lagi Emely dibuat terpukau. Gemeletuk langkahnya sampai terdengar karena bergesekan dengan lantai marmer yang ia pijak.
Gadis cantik itu terus masuk lebih jauh lagi mengikuti langkah Chris yang belum juga berhenti. Ia baru sadar, rumah sebesar ini ternyata sangat sepi dan malah membuat Emely takut sendiri. Apalagi, kini suasana berubah menjadi creepy saat Chris menghentikan langkahnya di ruangan yang terkesan klasik dengan barang-barang antik.
"Tunggu di sini," titah Chris, lalu kembali berjalan entah ke mana.
Sekarang pandangan Emely terkunci pada bingkai foto besar yang menampilkan dua orang dengan jas yang mereka kenakan.
"Bukannya itu Mr. Ex?" tanyanya, "pantas saja, Chris terlihat killer sama seperti ayahnya."
Tak lama, pemuda itu datang lagi membawa buku-buku tebal. Menaruh di meja dengan sedikit membantingnya. "Cepat kerjakan, itu buku referensinya."
"Tadi kau bilang kita tim, lalu kenapa kau tidak mengerjakannya juga?" Emely menyergah dengan intonasi tinggi.
"Kita bagi tugas. Sekarang bagianmu mencari ide karya ilmiah apa yang akan kita buat dengan referensi dari buku itu. Lalu, kau langsung merancangnya. Baru setelah itu giliranku yang melanjutkan."
Kenapa jadi aku yang harus banyak berpikir? Sementara, dia tinggal melanjutkan saja dengan mudahnya, begitu? Sangat tidak adil!
Akan tetapi, gadis itu tidak menolak. Ia hanya mengembuskan napas berat seraya membuka buku dengan malas. Emely menurut saja agar bisa pulang secepatnya, waktu untuknya tidak banyak.
Beberapa menit berlalu, Chris hanya duduk santai dengan tangan menopang dagu. Ia sama sekali tidak bergerak untuk membantu. Padahal, Emely terus bertanya karena ingin berdiskusi untuk meminta pendapat atas idenya. Namun, pemuda berahang tegas itu malah selalu menggendikan bahu, membuat Emely enggan bertanya lagi.
Tak sengaja, netra gadis itu malah mengarah pada sesuatu yang terletak di pergelangan tangan Chris. Ia dibuat penasaran dengan bentuk yang terukir di sana, karena itu hampir mirip dengan tanda lahirnya, hanya berbeda pola saja.
"Itu ... tanda lahirmu?" Emely memberanikan diri menunjuk pergelangan tangan Chris.
Sontak pemuda itu langsung menyembunyikan tangannya. "Bukan urusanmu." Lagi-lagi Emely dibuat kesal. Padahal, ia bertanya dengan baik-baik.
Kini gadis yang sedang sibuk dengan tumpukan itu malah menghempaskan punggung pada sofa sembari meregangkan tangan menghilangkan pegal, ia mulai lelah. Ide untuk karyanya sudah ada, tapi membuat rancangannya itu tidaklah mudah.
"Apa kau tidak akan menyuguhkan segelas air untukku? Tamumu ini sedang kehausan!" Tanpa menjawab dulu, Chris langsung beranjak. Entah dia akan mengambil minuman atau apa.
Saat itulah kesempatan Emely untuk istirahat. Tanpa izin, dia merebahkan tubuh di sofa, merasakan angin masuk dari jendela yang terbuka di sana.
"Dia lama sekali. Apa dapurnya sejauh itu?" gumamnya tak sabaran. Gadis itu heran, kenapa rumah sebesar ini tidak ada satu pelayan pun. Atau mungkin Emely yang belum melihat mereka.
Semakin lama Emely semakin kedinginan saat semilir angin datang. Ia putuskan untuk menutup jendela tanpa menunggu sang tuan rumah sampai. Tepat saat tangannya hendak meraih kaca jendela di sana, mata abunya malah melihat sesuatu yang membuatnya terpaku.
"Buku XVIII?" kejut Emely. Matanya tiba-tiba menangkap buku yang tergeletak pada meja kecil di samping jendela itu. "Kenapa bisa ada di sini?"
"Sedang apa kau di sana?" Chris datang mengejutkan gadis itu.
"Aku ...." Ucapan Emely tercekat saat tubuhnya tiba-tiba menggeliat, membuat Chris yang berdiri tak jauh darinya terus memandang dengan ekspresi heran. Emely yakin sebentar lagi dirinya pasti akan berubah.
Aku harus cepat pergi dari sini!
Tanpa basa-basi gadis itu meraih buku XVIII dengan gesit dan langsung melompat keluar jendela tanpa kendala. Membuat Chris membulatkan mata dan segera berlari ke sana.
"Hei! Kau jangan kabur! Tugasmu belum selesai!" Chris berteriak, ia melihat Emely berlari semakin jauh.
Setelah Emely hilang ditelan kegelapan, tiba-tiba terdengar jeritan yang sangat kencang. Sontak hal itu membuat gelas yang digenggam oleh Chris langsung terjatuh dan berakhir pecah begitu saja.
"Sial! Suara apa itu? Membuatku kaget saja!"
ΦΦΦ