Chereads / Garuda's Daughter Is THE King / Chapter 7 - Bencana 12 Dimensi Non-stop

Chapter 7 - Bencana 12 Dimensi Non-stop

Axenor yang sedang fokus pada rakyat nya, kaget karna teriakan Daglan. Ia menoleh ke belakang nya, dan melihat ada retakan besar mengarah padanya.

Ia melompat mundur ke dekat Daglan dengan cepat.

Retakan dari tempat Axenor berdiri tadi membelah dinding jendela itu dan menghancurkan dinding dibawahnya.

Axenor mengambil nafas panjang namun tegang. Daglan terdiam. Mereka bertatapan penuh pertanyaan. Tak bisa menjelaskan apa yang terjadi.

_____

Istana Wallace penuh dengan keributan.

Dan dugaan Daglan benar. 7 dari 12 dimensi terkena gelombang tsunami hebat yang entah darimana. Yang mereka tahu, tiba-tiba ada gelombang raksasa menerjang tempat tinggal mereka. Dan wussshhhhhh~ Semua hanyut.

Ratusan- bukan.. Ribuan terluka, ratusan hilang, dan puluhan tewas tenggelam.

Di sini, semua makhluk masih bisa mati. Itu berarti hilang dari semua Dimensi yang ada.

Apocallypto yang sedang duduk di singgasana tertinggi, memegangi kepalanya sendiri. Sepertinya kena migrane atas semua yang terjadi. Suara gaduh, yang berasal dari aduan para pejabat 12 dimensi yang menginginkan jawaban atas apa yang sebenarnya terjadi.

"Kalau kalian diam!!" bentak Apocallypto pada semua yang ada diruangan.

Sontak semuanya bungkam. Tak ingin membuat masalah.

"Akan sangat ku hargai!" Apocallypto mendelik ke seluruh yang ada disana.

Memang tak semua petinggi hadir. Karna sebagian ikut terluka. Mereka yang terluka memilih luka daripada mengorbankan rakyat mereka.

"Daglan! Tolong urutkan dimensi mana saja yang terdampak bencana Tsunami." titah Apocallypto.

Daglan membuka segulung kertas dan mengambil pena bulu, "Semuanya sudah ter-urut tuan."

"Hmm. Sebutkan kalau begitu."

Daglan berdiri dari singgasana dibawah Apocallypto 5 anak tangga, "Semua juga terdampak. Kita semua terkena masalah yang tidak berhenti ini." ucap Daglan sedih. "Dari 12Dimensi yang ada, 7 terkena gelombang tsunami hebat. Jangan mengira Kami, Selaku Petinggi Istana, tidak peduli. Bukan begitu. Atau, hanya peduli pada yang terkena tsunami. Jad-"

"Semua sudah tahu! Cepat urutkan saja!" potong Apocallypto yang sepertinya tidak suka dengan semua ucapan Daglan.

Daglan terdiam lalu menatap Apocallypto risih, kemudian kembali pada yang ada di ruangan , "7 dimensi itu adalah... Tvita dan Forhendangle yang paling parah. Elfyora, Ginhall, dan Dwalaria korban paling banyak, lalu Equalias dan Kallanier hampir kehilangan pemimpin mereka. Itu saja yang paling terdampak tsunami yang sangat tiba-tiba itu." Daglan menggulung kembali gulungan daftar itu.

"Ryola, Equalias hampir kehilangan kaki kanan nya tuan Apocallypto.." ucap pemimpin Ginhall.

"Aku tahu aku tahu. Pelayan bawakan aku air dingin."

Seorang pelayan pria keluar ruang pertemuan itu.

"Apocallypto, jika banyak hewan, bangunan, dan makhluk lain yang terbawa arus ke laut sana, dan kalau diurutkan... Wyza, kemana perjalanan terakhir air di dimensi mu?" ucap Daglan pada pemimpin Aquindra.

"Bumi..."

Mata Daglan melebar tak percaya.

"Bumi adalah tempat aliran terakhir...." tambah Wyza dengan nada sedih.

Semua yang ada disana menepuk dahi mereka.

Daglan terdiam. Rahang terbuka.

"Yang berani melawan ku, kemari dan cabut nyawa ku sekarang juga.." ucap Apocallypto frustasi.

"Setelah ini pasti kita akan menerima keluhan dari warga bumi tentang laut mereka yang isi nya akan terdapat tempat-tempat aneh, makhluk yang jauh beda dengan mereka di kedalaman 1000kebawah, dan lain-lain.." tambah Apocallypto.

Pemimpin-pemimpin yang berasal dari dimensi perairan menelan ludah dan menunduk. Semua musibah yang sudah terjadi memang bukan salah mereka. Betul itu. Tapi pasti mereka-mereka juga yang akan kena dampak aduan itu dimasa yang akan datang.

"Aku tidak akan kaget ketika manusia mengidap sebuah ketakutan terhadap laut dimasa depan." Daglan duduk dengan frustasi, menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Kalau kabar 5 Dimensi sisa nya?" tanya Apocallypto. Mengharapkan berita baik walau hanya 1. "Semoga saja....tidak parah.."

Pelayan pria yang tadi keluar, kembali masuk membawa beberapa gelas air dan teko perak berisi air dengan banyak es batu didalam nya.

"Akhirnya yang ku tunggu..." Apocallypto yang melihat pelayan yang ditunggui nya datang langsung menggerakkan tangan nya. Memberi tanda supaya ia naik ke singgasana nya.

Pelayan itu naik perlahan ke singgasana paling atas.

Seisi ruangan kembali sedikit rusuh dengan pembicaraan mereka masing-masing. Yeahh masih tentang semua bencana yang terjadi. Banjir yang mendadak, gempa lama, kebakaran, dannnn yang lain nya.

Pelayan sampai di singgasana tertinggi dan segera menyuguhkan air dingin itu pada Apocallypto.

Diterima nya gelas emas berisi air dingin itu, "Kemana axen? Biasanya dia yang-"

Tanah kembali bergerak. Terdengar gemuruh gerakan tanah dari kejauhan. Untung nya ini hanya sebentar. Semua memasang posisi siaganya.

Daglan ikut meminta air dingin dan hendak meminumnya, "Berharap saja dia tidak mati dijalan."

Apocallypto mengambil nafas panjang.

_

Daun telinga Axenor yang runcing memerah. Tahu sedang dibicarakan.

Ia yang sedang duduk bersandar ke sebuah pohon, menyilangkan tangan dibelakang kepala, tumpang kaki, dan dipayungi oleh seorang pengawal. Seperti memberi tahu pada yang melihatnya, kalau hidupnya baik-baik saja.

2meter ke kiri Axenor, ada 2 pengawal yang tengah sibuk. Sepertinya sedang.. membalut perban?-

Membalut perban pada kusir.

Tanah kembali bergerak. Entah sebenarnya ulah siapa semua bencana yang terjadi. Karna tak mungkin disengaja kan?

Tanah terbelah disuatu tempat.

"Tuan.." salah satu pengawal elf menghampiri Axenor setelah selesai membalut perban.

"Hmmmmmm??" Axenor risih.

"S-sepertinya.. ku-kusir kita tidak bisa mengendalikan kereta kita lagi..."

Axenor menoleh dan menatap wajah pengawalnya itu, "Kau ini buta apa? Lihat nasib kereta ku dulu, baru bicara."

Yeahhh..

Kereta kuda emas Axenor hancur. Ke2 roda belakang nya entah kemana, kuda pegasusnya hilang 1, dan kereta nya..

Jangan tanya.

Keretanya penyok dari segala sisi.

Sepertinya ada sesuatu yang mau membuat Axenor beserta para pengawal dan kereta nya menjadi adonan.

Pengawal itu menunduk takut.

"Pikirkan dulu apa yang ingin kau katakan dan lihat juga kenyataan nya seperti apa." ucap Axenor ketus.

Pengawal lain menghampiri Axenor, "Tuan.. Pegasus yang ada pun terluka dibagian sayap tuan.. dia tidak bisa terbang jauh..."

Axenor berdecak malas, "Jadi, maksud mu, aku harus berjalan sendiri ke Wallace? Otak mu ikut remuk saat ada batuan besar tadi menghantam kereta ku?"

"T-t-tuan... m-maaf... menyela...." ucap pengawal yang memayungi Axenor.

Axenor melihat nya sinis.

"T-tu...an...." ia menelan ludah. Takut Axenor menelan nya, "T-t.... tuan... itu...kan Garuda....J-ja-"

Axenor mendadak berdiri dan menarik kerah pengawal yang me-mayungi nya, mata nya berubah merah menyala, dan ia mengeluarkan sayap Garuda Hitam pekat nya, "Kalau begitu, kau tidak berguna ya!?"

Sontak 2 pengawal lain berlutut, meminta ampunan Axenor. Pengawal yang sedang diamuk Axenor langsung pucat dan berkeringat dingin, "T-t-tu.....an... B-bu-bu-bukan begitu...."

Axenor melempar pengawal itu ke tanah dengan kasar,

Axenor melangkah menjauh dari 3pengawalnya, kusir yang terluka kaki dan tangan nya, seekor pegasus yang tak bisa terbang. Ia menatap pengawal-pengawal nya itu dari ekor matanya.

Dilebarkan sayap hitamnya, "Uang penghasilan kalian, ku tahan. Se Tahun!"

"Tuan..jangan... An-anak, istri ku ak-"

Axenor melompat dan terbang menjauh.

"Mati kita..." kusir Axenor yang tergeletak diatas rumput, hanya bisa meratapi nasib nya yang ikut terkena amarah majikan nya.

"Maafkan aku.." lirih pengawal yang menjadi tujuan utama amarah Axenor.

"Sudahlah.. Mau bagaimana lagi huh? Sudah takdir kita memiliki Tuan seperti dia.." ujar yang lain sembari duduk dirumput melepas ketegangan dan lelahnya.

"Aku tahu.. tapi akan makan apa anak istri ku? Batu?"

"Hey.." si kusir mencoba duduk.

"Tidak. Kalau kau mau menyarankan untuk meminjam uang atau bahan makanan ke istana pusat atau atasan tuan xenor, kita akan jadi karpet kamarnya. Atau mungkin makan malam nya."

"Tapi yang ku dengar, tuan xenor bukan makhluk kanibal.."

Mereka malah mulai bergosip sepertinya..

____

Tanah bergemuruh. Menggema kedalam istana Wallace. Namun dengan getaran berkekuatan kecil. Sepertinya tidak ada niat membuat bencana lagi.

Kristal cahaya ditengah ruang pertemuan Wallace berkilau aneh entah kenapa.

Semua yang ada diruangan gemetaran. Bukan karna takut. Bulu kuduk mereka meremang. Tak terkecuali Apocallypto.

"Kau merasakannya Daglan?" Apocallypto menengadah. Memperhatikan Kristal utama Wallace.

Kristal itu entah kenapa berputar pelan dan mengeluarkan suara dentingan. Semua menengadah. Merasakan apa?

"Jika Kristal utama sampai jatuh juga, aku lebih baik mati." Daglan pasrah pada takdir.

"Maksud mu 'juga'?"

"Chandelier kastil axen jatuh kemarin dan hampir membunuh ku, axen, dan pelayan."

"Pelayan itu cantik?"

Daglan menoleh tidak percaya, "Yang kau tanyakan bukan dia selamat atau tidak?? Kau ini.."

Apocallypto terkekeh pelan.

Ravenous. Ya.

Dia ada diruangan. Disamping kirinya Apocallypto. Tak ada yang menyebut nya dan tak ada yang mengajaknya bicara. Kasihan..

(Mungkin para readers ada yang mau? :v)

Ravenous menatap Kristal utama Wallace yang hampir sebesar pintu. Matanya melebar setelah merasakan sesuatu yang juga dirasakan para petinggi dan pejabat.

'I...ini....'

Seperti ada kerinduan berat dalam dirinya. Mendadak gelisah. Seperti mengenal aura yang sedang menjajah ruangan itu.

'Tidak mungkin.... T-Tre-Trevor.....?"

Tiba-tiba matahari meredupkan cahayanya namun masih ada ditempat yang sama.

Pintu ruangan terbuka dan Axenor masuk dengan terburu-buru.

Belum sempat yang lain bicara, sebuah cahaya putih kebiruan menyinari ruangan dari tengah dasar ruangan itu.

Ravenous berlari menuruni tangga, antusias menuju cahaya itu.

Tidak kuat dengan tenaga yang ada didepan mereka, semua menyipitkan mata dan sedikit menutup pandangan mereka.

Si cahaya semakin membesar. Seperti membentuk lingkaran portal.

Tongkat bulan sabit yang dipegang Apocallypto berdenting keras. Memilukan telinga dan bergerak sendiri. Ia seperti ingin datang ke sumber cahaya dengan seluruh tenaga nya.

Apocallypto yang berusaha mengendalikan tongkat yang bukan milik Sah nya itu, akhirnya mengalah dan melepaskan nya.

Tongkat itu mengeluarkan kelap-kelip putih dan ungun. Memutar-mutari portal yang sudah terbentuk sempurna.

Ravenous yang mengamati tongkat sabit itu semakin tegang. Ia kenal betul aura yang dikeluarkan Si portal.

Sebuah tangan kecil muncul dari portal