Sambil terus mengamati ujung sepatunya, Briella Amora terus menunduk sambil menunggu antrean panjang di sebuah Apotek yang malam ini cukup ramai. Seolah ada sesuatu yang menarik di bawah sana, Briella Amora bahkan sampai tidak menyadari jika kini gilirannya untuk menebus obat yang sudah di beli untuk ibunya.
"Nona," Panggil karyawan Apotek yang jelas ia tujukan kepada Briella Amora yang masih melamun.
"Nona hoodie."
"Ha?"
"Giliran anda,"
"Ah, iyaaa.. Maaf... " Ucap Briella Amora yang langsung beranjak, melangkah menuju kasir untuk menebus obat tersebut.
"Apa Nona tidak sekalian mengobati luka Nona?" Tanya karyawan Apotek tersebut saat melihat luka lebam di wajah Briella Amora yang meski tertutupi tudung dari Hoodie yang di pakainya, namun beberapa luka lebam itu masih jelas terlihat di sudut bibirnya.
"Bagaimana?" Tanya karyawan itu sekali lagi.
"Tidak perlu, ini hanya luka kecil." Jawab Briella Amora menggeleng pelan dengan senyum tipis di bibirnya.
"Tapi, luka Nona kelihatannya cukup parah,"
"Aku bisa mengobatinya sendiri, terimakasih." Balas Briella Amora yang langsung beranjak pergi saat usai menebus obat.
Dengan langkah yang sedikit di percepat, Briella Amora mengayungkan langkahnya melewati trotoar jalan, angin malam yang cukup dingin kembali menyapa tubuhnya yang hanya menggunakan hoodie dan celana jeans, bahkan sesekali Briella Amora terlihat memijat pangkal hidungnya saat ia merasakan kepalanya mulai terasa pening.
Briella Amora menghentikan langkah kakinya, mendudukkan dirinya untuk beberapa menit di pinggir trotoar jalan sambil terus menunduk untuk menghilangkan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya. Dan kembali berdiri saat mengingat jika sang ibu tengah menunggunya sendirian di rumah, rasa panik dan takut seakan menghantuinya saat mulai membayangi jika Ayahnya kembali ke rumah lagi dan mendapati ibunya sendirian.
"Ahhk.. " Dengan keras Briella Amora menjambak rambutnya untuk mengurangi rasa sakit di kepala. Hingga tanpa ia sadari jika langkahnya sudah mendekati tengah aspal jalan yang di sana ada sebuah mobil yang tengah melaju, hingga sedetik kemudian, terdengar suara decitan ban mobil yang beradu dengan baspal, seolah bisa memecahkan gendang telinga, mobil pun berhenti secara tiba-tiba.
"Aarrrgghh... " Briella Amora kembali mengerang, saat merasakan rasa ngilu di tubuhnya yang sempat terpental hingga menghantam kerasnya aspal jalanan. Sebab mobil mewah dengan kecepatan yang cukup tinggi sempat menyambar tubuhnya.
"Ahhkk... nyaris saja," Gumam Briella Amora meringis menahan perih dan ngilu di area sikutnya yang sudah mengeluarkan darah.
Dan dengan tenaga yang masih tersisa, Briella Amora menyeret tubuhnya yang belum bisa berdiri akibat kedua lututnya yang masih bergetar menuju pinggiran trotoar, menggapai tiang halte bis dan memaksa untuk berdiri, meski rasa pusing semakin menyerangnya dan membuatnya semakin hilang keseimbangan.
"Maaf.. "
Suara bariton yang tidak asing di pendengarannya tiba-tiba membuat jantung Briella Amora berdebar cepat, bahkan ia mulai merasakan gugup sebelum balas menatap pria bertubuh tinggi besar yang sudah berdiri tepat di belakangnya.
Tidak.. Apakah dia.. Tidak.. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Aahhkkk... Kenapa harus dia yang menabrakku. Batin Briella Amora semakin pucat karena perasaan takut.
Tanpa ingin membuang waktu, Briella Amora berusaha sekuat tenaga untuk melangkahkan kakinya, agar cepat menjauh dari pria yang masih menatapnya dengan kening menyatu, meski tubuhnya sudah terlihat bergetar karena menahan sakit.
"S-aya... T-idak apa-apa, S-aya baik-baik saja Tuan.." Ucap Briella Amora terbata.
"Nona... Mau kemana, hei... kau terluka parah... Nona... " Seru pria tersebut saat melihat Briella Amora yang terus melangkah pergi, bahkan sedikit berlari untuk menghindari pria tersebut.
Aku mohon... jangan mengejarku, biarkan aku pergi... Aku bukanlah orang yang harus anda tolong.. Aku adalah seorang pembunuh, Aku yang sudah membunuh istri....
Tubuh Briella Amora tumbang di pinggiran trotoar, tempat yang cukup sepi dan gelap. Tenaganya benar-benar terkuras habis tidak tersisa, rasa sakit yang teramat sangat membuatnya kehilangan kesadaran dan pingsan.
* * * * *
MANSION CLAUDE CAVERO ORION.
"Bisakah kau menjaganya? Dia masih membutuhkanku, tapi... Aku sudah tidak bisa menemaninya lebih lama lagi... Reynand... Namanya adalah Reynand. Aku mohooon.... "
"Maaf.... Maafkan aku... Aku tidak bisa, aku benar-benar tidak bisa menjaganya... Tidaaaak..... "
Mata Briella Amora terbuka, tubuhnya tersentak kaget dengan keringat yang sudah membasahi tubuhnya, bahkan wajahnya sudah terlihat basah oleh air mata yang menitik tanpa ia sadari, ia sesegukan dengan nafas yang terengah.
"Mimpi itu lagi.. Kenapa.. Kenapa aku selalu memimpikannya terus... " Gumam Briella Amora seraya mengusap wajahnya, dan terdiam untuk beberapa saat.
Dengan perlahan Briella Amora bangkit dari tidurnya sambil melipat kedua lututnya, membenamkan wajah pucatnya di sana dan kembali terisak dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya.
"Maafkan aku... Maafkan aku.. " Gumam Briella Amora terdengar pilu dengan penuh penyesalan saat wajah Arana Richela kembali membayangi hingga membuat dadanya semakin sesak.
Lama ia terlarut dalam isak tangisnya, hingga akhirnya ia kembali mengingat kejadian yang baru saja menimpanya, bahkan ia bisa mengingat saat tubuhnya tersambar sebuah mobil Mewah milik seseorang dan ia terus berlari sebab tidak ingin bertatap muka dengan pria tersebut.
"Oh tidak... "
Dengan cepat Briella Amora mengangkat wajah seraya mengusap air matanya sambil terus mengamati ke sekelilingnya.
"Aku di mana? kamar ini... Aku tidak pernah melihat kamar semewah ini," Gumam Briella Amora yang terus mengamati ke sekelilingnya.
"Tidak.. Jangan bilang jika dia yang menemukanku, ahhkkk.. Tidak... Tidak mungkin, tapi siapa?"
Dengan perasaan yang berkecamuk, Briella Amora beringsut turun dari tempat tidurnya dan mulai melangkahkan kakinya di atas marmer yang dingin, bahkan ia langsung meringis menahan sakit saat kedua kakinya di paksakan melangkah dengan tergesa, hingga langkahnya terhenti tepat di depan pintu. Sambil menarik nafas dalam, Briella Amora meraih gagang pintu tersebut dan di bukanya perlahan.
"Tidak... Tidaak.. Ini... "
Mata Briella Amora terbelalak dengan sempurna saat tatapan matanya langsung tertuju pada sebuah bingkai foto yang berukuran besar yang terpampang rapi di sebuah pilar bercat cream lembut di depannya. Bahkan btanpa sadar tubuhnya bergerak mundur dengan kedua tangan yang menutupi mulutnya yang sedikit terbuka akibat syok, hingga air mata kembali menitik saat itu juga.
Tubuh Briella Amora merosot kebawa, ia yang sudah tidak mampu lagi untuk menahan tubuhnya langsung menjatuhkan dirinya di atas lantai marmer dengan kedua lutut sebagai tumpuan.
Oh Tuhan, aku berharap sudah berada di dunia lain, kenapa aku terdampar di sini, aku takut.... tolong, aku ketakutan... Batin Briella Amora terus terisak.
"Kakak sudah bangun?"
Suara lembut seketika menyapa indra pendengaran Briella Amora yang langsung berhenti menagis, bahkan belum sempat ia membuka kelopak matanya yang sudah sangat sembab, ie kembali merasakan sesuatu yang hangat menyentuh bahunya yang masih bergetar akibat sesegukan.
"Reynand," Gumam Briella Amora.
Briella Amora yang berusaha mengatur perasaannya cukup lama, akhirnya berbalik dan menatap wajah Reynand Sky yang kini tengah tersenyum di hadapannya, senyuman tulus dan hangat yang membuat hati Briella Amora semakin teriris dan sakit oleh rasa bersalah karena sudah merenggut nyawa seseorang yang sangat berharga dari kehidupan anak sekecil Reynand Sky.
"R-eynand... " Gumam Briella Amora dengan air mata yang kembali menitik.
"Kakak masih mengingat nama Rey?" Tanya Reynand Sky tersenyum bahagia.
"T-entu saja.. K-akak akan... S-elalu mengingatnya." Balas Briella Amora terbata sambil mengusap pipi dengan punggung tangannya.
"Lalu, kenapa Kakak bisa berada di sini? dan... Kakak baru saja menangis? Apa luka ini menyakiti kakak?" Tanya Reynand Sky sambil menyentuh luka memar pelipis Briella Amora dengan lembut.
"Ahk... M-aaf, ini s-edikit perih," Ucap Briella Amora kembali meringis.
"Benarkah? Tapi, kakak tidak perlu takut, luka kakak sudah di obati, jadi sekarang kakak akan baik-baik saja." Balas Reynand Sky kembali tersenyum.
"Terimakasih Reynand.. " Ucap Briella Amora. "Reynand, bisakah kakak meminta sesuatu dari Reynand?" Tanya Briella Amora.
"Katakanlah.. Kakak boleh minta apa saja." Jawab Reynand Sky.
"Bolekah kakak memeluk Reynand sebentar saja?" Tanya Briella Amora yang nampak terlihat ragu. Meski sorot matanya tergambar permohonan.
"Tentu saja," Jawab Reynand Sky yang langsung berjalan satu langkah mendekati Briella Amora yang bahkan tidak butuh waktu lama langsung meraih tubuh anak itu untuk di peluknya erat.
"Maafkan kakak.... " Gumam Briella Amora dengan suara bergetar.
"Maaf? Bahkan kakak tidak pernah berbuat salah," Balas Reynand Sky sedikit bingung.
Kau salah... Kesalahanku padamu dan keluargamu sangat besar dan fatal Reynand. Aku adalah orang yang sangat bersalah padamu. Aku yang sudah menyebabkan kau kehilangan Ibumu dengan cepat, Maaf. Batin Briella Amora semakin mempererat pelukannya.
"Maaf.. Karena saat di Columbarium, kakak tidak mempedulikanmu. Bukan maksud kakak untuk melakukan itu, kakak hanya..."
"Apa karena Daddy?" Tanya Reynand Sky perlahan.
Dan juga dirimu Reynand. Jawab Briella Amora dalam hati.
"Tidak apa-apa kak, Rey baik-baik saja. Rey juga mengerti." Jawab Reynand Sky yang membuat Briella Amora terkejut dengan kedewasaan seorang Reynand Sky.
Bahkan anak seumuran Reynand Sky bisa mengucapakan sebuah kalimat yang mampu menguatkan hati Briella Amora.
"Rey.... "
"Daddy,"
Dengan perlahan Reynand Sky melangkah ke arah Claude Cavero yang sudah berdiri di depan pintu, tidak jauh dari tempat Briella Amora sekarang.
"Bagaimana keadaanmu Nona?" Tanya Claude Cavero yang masih dalam posisinya. Menatap dingin ke arah Briella Amora yang ketakutan.
"S-aya b-aik-baik saja Tuan," Jawab Briella Amora terbata.
"Apa kau yakin?" Tanya Claude Cavero ragu, dengan satu alis terangkat ke atas.
"S-aya yakin T-uan," Balas Briella Amora mengangguk pelan.
"Sebab yang saya ingat terakhir kali, saat kau mengatakan baik-baik saja, namun semenit kemudian kau jatuh tidak sadarkan diri."
Itu karena aku tidak ingin anda melihatku, tapi sekarang, aku malah tertidur di rumah anda. Batin Briella Amora tertunduk lemah.
"Baiklah.. Di depan sudah ada seorang supir yang akan mengantarkan Nona untuk pulang." Balas Claude Cavero.
"Tapi Daddy... " Sela Reynand Sky sambil meraih tangan ayahnya.
"Ada apa Rey?" Tanya Claude Cavero perlahan.
"Bisakah kakak tidak pulang dulu malam ini?" Pinta Reynand Sky memohon.
"Kenapa?" Tanya Claude Cavero mengernyit.
"Luka kakak masih belum pulih sepenuhnya." Jawab Reynand Sky yang jelas terlihat khawatir.
"Baiklah.. Dia bisa menginap di sini malam ini." Putus Claude Cavero.
"T-api T-uan s-aya baik-baik saja, saya bisa.."
"Ini permintaan Rey, dan Nona bisa berdiskusi dengan Rey, bukan dengan saya." Sela Claude Cavero datar.
"Maaf... "
"Bisakah kakak tidak pulang dulu malam ini?" Tanya Reynand Sky kembali memalingkan pandangannya ke arah Briella Amora yang masih terlihat gugup dengan tatapan dingin Claude Cavero.
Kenapa aku lebih nyaman berbicara dengan anak ini di banding pria dewasa berwajah datar sepertinya. Batin Briella Amora.
"Baiklah... " Jawab Briella Amora tertunduk pasrah. Sedang Reynand Sky yang mendengar jawaban itu langsung tersenyum berbinar.
"Rey, ajak Nona itu untuk makan malam, Daddy tidak ingin melihat orang pingsan lagi di sini." Ucap Claude Cavero yang langsung beranjak pergi meninggalkan Briella Amora yang masih melongo.
"Kakak, kita bisa makan malam bersama, silahkan, Rey juga akan memperkenalkan kakak dengan Uncle Kenzo." Ucap Reynand Sky bersemangat.
"Ha? S-iapa?" Tanya Briella Amora terhenyak saat mendengar nama 'Kenzo' yang keluar dari mulut Reynand Sky.
"Uncle Kenzo. Dia Unclenya Rey yang paling baik." Jawab Reynand Sky dengan senyum lebarnya.
Kenzo... Baik.. Yah tentu saja bukan si brengsek itu, Mana mungkin anak sebaik Reynand memiliki Paman sebrengsek dia, Cih.. Nama bisa saja sama, tapi sikap belum tentu sama. Batin Briella Amora menghibur diri dengan senyum remehnya yang masih mengikuti langkah Reynand Sky menuju ruang makan. Ruangan yang terlihat sangat luas, nyaman dan mewah. Dan tentu saja membuat gadis dengan kehidupan sederhana seperti Briella Amora jadi terperanjat kagum. Hingga pandangannya kembali tertuju kepada punggung pria yang tengah duduk di salah satu kursi dengan makan malamnya.
Lihatlah.. Bahkan cara duduknya saja sangat terlihat sopan dan terpelajar, dia memang Paman Reynand, sungguh pria yang... Tunggu... muka tengil itu...
Seketika wajah Briella Amora berubah menjadi pucat pasi, saat melihat wajah Kenzo Aristide yang kini tengah duduk di hadapannya.
Bisakah aku menghajarnya sekali saja? Aku mohon. Batin Briella Amora tiba-tiba merasa kesal.
"Jadi dia, yang kakak pungut saat tertidur di pinggir jalan?" Tanya Kenzo Aristide dengan senyum miringnya yang membuat Briella Amora tersedak dan langsung menepuk dadanya perlahan.
Apa.. P-ungut? Aku tidak tidur, aku mohon, buat dia tersedak garpu itu, aku sudah tidak sanggup. Batin Briella Amora semakin jengah.
"S-elamat malam.. " Sapa Briella Amora seramah dan selembut mungkin.
"Berhentilah berakting, mana suara teriakanmu yang selalu kau keluarkan seperti tarzan," Balas Kenzo Aristide.
"Ken, jaga sikapmu." Tegur Claude Cavero.
"Apa Uncle Ken mengenal kakak?" Tanya Reynand Sky terheran.
"Kakak? Rey memanggilnya dengan sebutan kakak?" Hahahaha... Uhuk.. Uhuk... Uhuk...
"Ken.. " Seru Claude Cavero dengan tatapan tajamnya.
"Baiklah aku diam." Balas Kenzo Aristide mengatup bibirnya.
Apakah terbatuk saat tertawa tidak membuat nafas berhenti? Batin Briella Amora dengan kesal sambil mulai menyantap makannya.
Perut lapar membuatnya tidak menghiraukan tatapan tajam dari Kenzo Aristide yang sangat jelas tidak menyukainya, meskipun ia kembali memperlambat kunyahannya saat melirik wajah Claude Cavero yang terlihat dingin dan datar. Bahkan orang seperti Kenzo Aristide saja bisa langsung terdiam dan menurut saat pria dingin itu mengeluarkan perintah.
* * * * *
Bersambung...