Masa lalu memang bagian yang tidak akan pernah bisa dilupakan. Semakin ingin dilupakan malah menjadikan ingatan itu makin melekat.
Ya, masa lalu seperti buku yang telah usang. Buku yang pernah ku baca dan tentang dia. Seseorang yang punya part pada buku yang belum bisa ku baca hingga halaman terakhirnya.
Ya, tentang dia.
Manusia yang pernah ku cintai dengan tulus dan setia. Yang ku dampingi langkahnya dari dia belum menjadi siapa-siapa, hingga dititik dia menjadi manusia yang memiliki pekerjaan.
Dia adalah luka yang sampai saat ini masih menganga pedih. Luka yang bekas sayatannya masih belum mengering hingga detik ini, padahal sudah berlalu hampir 8 tahun lamanya.
Dia adalah mimpi buruk yang sampai detik ini menjadi teror dan aku tidak tahu, sampai kapankah traumaku akan hilang? Karna luka tentang perbuatannya begitu sulit untuk sembuh.
Dan diusiaku yang sudah memasuki kepala tiga menjadi tema yang sangat menyenangkan untuk bahan ghibahan. Sehingga aku memutuskan untuk tinggal di tempat yang jauh dari pedesaanku.
Karena hanya dengan cara ini, aku bisa berdamai dengan hatiku, tatkala telingaku jauh dari tajamnya lisan tentang julukan "perawan tua" pada diriku yang masih belum menikah.
Alhamdulillahnya, Allah mudahkan jalan rezekiku sehingga bisa hidup dengan tenang di kota yang menjadi titik awalku memperbaiki semuanya. Menjadi seorang pengajar di salah satu Taman Kanak-kanak adalah wujud diriku yang baru.
Mendengar celoteh dan tawa riang dari para muridku sudah cukup membuat hariku seindah pelangi dan hal itu setidaknya bisa menjadi penawar dari pedihnya luka hati yang ku sembunyikan.
"Bu Guru Kala," panggil seorang bidadari kecil dengan binar mata lugunya yang selalu berhasil menenangkan hati.
"Iya sayang, Bidadari Qurrota Ayun ada perlu apa?" tanyaku sembari berlutut untuk mensejajarkan tubuhku dengan gadis kecil yang tak lain adalah murid ku di Taman Kanak-kanak.
"Ma'af mengganggu waktu Bu guru Kala, Ayun boleh minta tolong dianterin pulang? Om Gilang belum datang menjemput Ayun," ujar bidadari mungil nan menggemaskan itu.
"Masyaa Allah, murid siapa sih ini, cantik dan sopan sekali. Emmm, karena Ayun meminta dengan kalimat ma'af dan tolong, Bu guru Kala dengan sangat senang bersedia mengantarkan Ayun pulang. Let's go!" Seruku menggandeng tangan imut bidadari mungil yang masih berusia 6 tahun.
Langkah kecil itu tiba-tiba menghentikanku dan arah pandangannya yang lugu itu tertuju pada seseorang yang tak jauh dari hadapan kami.
"Om Gilang," panggil Ayun dan langsung berlari menghampiri seorang pemuda yang tak asing dengan motor sport merah.
Seulas senyum merekah cantik dari wajah lugu bidadari kecil yang mempunyai nama dengan arti yang indah.
Sebagaimana senyum cantiknya, bidadari kecil itu sungguh memiliki senyuman indah yang menyenangkan hati tatkala menatapnya.
Senyuman yang serasa tidak asing pernah ku lihat, tapi ingatanku terasa masih buram untuk mengingat siapa orang itu, si pemiliki senyuman yang sama seperti Ayun?
Ada sesuatu yang mengganjal dari sorot mata pemuda yang dipanggil Ayun dengan sebutan "Om Gilang" itu.
Aku balas sorot mata yang tertuju padaku itu dengan senyum dan anggukan.
"Terima kasih sudah menemani Ayun, Bu Guru Kala," ucapnya dengan senyum ramah sembari mengulurkan tangan untuk menyalamiku.
Aku tidak bisa membalas uluran tangan yang mungkin ingin menyuguhkan keakraban denganku selaku gurunya Ayun. Seketika dia paham isyarat kedua tanganku yang meminta maaf karena tidak bisa menyambut uluran tangannya.
"Ohh, Ma'af," ujarnya langsung menarik tangannya dan mencairkan suasana dengan mengarahkan uluran tangan itu untuk menggendong tubuh bidadari mungil yang membisikkan sesuatu pada Om gilangnya.
"Bu Guru Kala belum punya pacal, Om," bisikan Ayun yang masih terdengar jelas itu seketika membuatku sedikit malu pada lelaki yang baru pertama kali ku temui.
Dan anehnya, tatapan orang itu seolah sudah mengenalku lama, ahh sudahlah! sepertinya overthinking ku mulai kambuh.
"Sama-sama, dan senang bertemu dengan Om Gilangnya Ayun. Saya pamit pulang dulu, permisi, assalamu'alaikum," kataku dengan kegugupan yang mulai terlihat.
Aku langsung mengambil langkah cepat untuk menghindari situasi yang membuatku sangat kaku.
Ada yang mengganjal dari sorot mata yang membuatku gugup saat kedua mata kami yang tidak sengaja saling bertemu. Dia memiliki binar mata yang sama dengan seseorang yang ku kenal lama di masa laluku.
Seseorang yang tidak ingin ku ingat meski setiap detikku tidak pernah luput dari bayangnya yang terus saja menghantuiku.
Ahh, mungkin hanya perasaanku saja.
Ayolah, Kal! Kamu sudah menganggap manusia jahat di masa lalumu itu telah mati, dan tidak ada wujud reinkarnasi dari wujudnya meskipun hanya sebatas sorot mata pemuda asing itu.
Tapi . . .
Binar mata itu benar-benar membuatku gugup, seolah aku menyaksikan lagi tatapan dari tokoh mengerikan di masa laluku, meski sorot mata itu nampak menatapku dengan arti yang lain.
Ya . . .
Seperti tatapan manusia jahat yang dulunya pernah mencintaiku.
Walaupun aku tidak tahu benarkah penafsiranku mengartikan sorot mata yang dulu pernah tertuju padaku adalah tatapan seseorang yang mencintaiku dengan tulus?
Entahlah, meskipun hatiku menafsirkan bahwa sorot mata itu adalah benar sebuah cinta yang tulus dari seorang manusia jahat yang mungkin memang PERNAH mencintaiku diawal kisah tentang seorang aku dan dia.
Setulus apapun cinta itu pernah singgah dalam hatinya untuk seorang aku, tidak akan bisa setara untuk menebus satu kesalahannya yang sangat fatal dan sungguh sulit untuk ku ma'afkan.
"Kala An-Najma," sebuah panggilan yang seketika menghentikan langkahku, sekaligus membuatku terkejut, siapa sebenarnya lelaki yang tahu nama lengkapku itu.
Aku membalikkan badan dan si pemilik suara itu adalah lelaki yang belum beranjak dari tempatnya menggendong Ayun.
"Ma'af, apa sebelumnya kita saling kenal?" tanyaku langsung membalikkan badan.
"Aku mengenalmu, Bu Guru Kala! dan kalau diizinkan untuk lebih dekat dengan . . "
"Siapa kamu?" sahutku dengan pertanyaan menelisik.
"Jika Bu guru Kala bersedia berteman denganku, pasti ingat siapa aku," ujarnya dengan sangat santai.
"Ayun mau melamar Bu Guru Kala untuk Om Gilangnya Ayun," sahut Ayun yang langsung mencairkan suasana dengan keluguannya.
Untuk beberapa detik kami langsung tersenyum kecil menahan gelak tawa mendengar kepolosan Ayun.
"Hei, keponakan Om Gilang kok pinter, siapa yang ngajarin?" tanya si Om yang sangat suka menggelitik keponakan cantiknya.
"Ayun emang pinter dari dulu Om," jawab Ayun sembari mencubit pipi Mas Gilangnya.
Semoga yang hari ini terjadi hanya sebuah candaan yang akan kita lupakan di esok hari.
"Pulangnya hati-hati di Jalan ya Bu Guru Kala!" Seru malaikat kecil yang sedang melambaikan tangan padaku dengan senyuman manisnya.
Aku mengangguk dan mempersembahkan senyuman terbaikku pula untuk bidadari cantik yang terlihat girang diatas pundak Om-nya.
Dan siapapun kamu, apapun niatmu menjadi sosok yang seolah mengenalku, semoga kamu bukan salah satu diantara manusia yang menginginkan diriku menjadi tulang rusukmu.
Terdengar kepede-an sih, untuk mengartikan sebuah pertemuan pertama kami meskipun hatiku seolah mencari tahu sosok yang tidak asing. Tapi aku belum menemukan jawabannya dalam ingatanku. Benarkah sebelumnya kami saling mengenal?
ahh sudahlah!
Aku menjadi diriku yang tak lagi sama dengan sosok seorang aku di masa laluku. Seorang Kala yang dulu haus perhatian, sehingga aku menerima pengisi kekosongan sosok Ayah dan Kakak laki-laki dari tokoh yang ternyata juga seorang manusia jahat.
Aku adalah Kala yang tidak lagi membutuhkan sosok laki-laki untuk mengisi kekosongan dalam ruang hatiku pada peran seorang Ayah dan Kakak laki-laki yang menjadikanku pernah dititik takut kehilangan sosok lelaki jahat yang pada akhirnya menghujam belati yang lebih tajam ke hatiku.
Kala yang sekarang adalah perempuan yang mencintai kesendiriannya dengan pintu hati yang telah tertutup lama.
Pintu hati yang sudah rusak itu adalah wujud traumaku dan alasan yang membuatku tidak bisa menerima kaum adam untuk menempati posisi spesial sebagai pasangan.
Aku sudah di titik dimana hatiku telah mati rasa. Entah bagaimana rasa mencintai wujud adam yang lain, aku benar-benar sudah lupa. Setelah sekian tahun aku masih belum mampu mempersilahkan siapapun untuk memasuki relung hatiku yang sudah porak poranda.
Belum ada satupun orang yang mampu membuka dan memenangkan hatiku, meskipun banyak yang datang untuk mengetuk pintu hati dengan niat menyempurnakan separuh iman.
Tapi aku masih saja egois demi ketenangan dari segala hal yang kutakutkan pada setiap niat baik yang dikhitbahkan padaku.
Aku tidak bisa dan aku tidak tahu harus dengan apa? juga dengan cara bagaimana? Untuk menyembuhkan hatiku yang sudah terluka parah.
Aku tidak ingin memberi harapan kepada siapapun yang datang padaku dengan etikad baik, yang katanya bersedia untuk berjuang sampai bisa memenangkan hati yang telah lama mati.
Maaf.
Hati ini bukan ajang percobaan yang bisa dijadikan celah untuk mempersilahkan orang asing mengetuk pintu hatiku, karena aku juga tidak ingin menyakiti siapapun bilamana ikhtiar mereka berakhir tidak sesuai yang mereka harapkan.
Dan inilah aku, Kala yang mencintai kesendirianku.
๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ