Meski Aku Seorang Pendosa

1ramegan_
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 19.3k
    Views
Synopsis

Secerca Cahaya

Bahkan Seorang Pendosa pun, Masih Dipersilahkan Tuhan untuk Memperbaiki Diri!

Aku tidak tahu, apakah yang terjadi padaku adalah sebuah hukuman?

Ataukah sebuah kasih sayang Tuhan untuk diriku yang hina ini?

Tuhan.

Hamba hanya manusia lemah yang tidak tahu harus melangkah kemana?

Tidak tahu harus bercerita perihal luka yang tak berdarah ini kepada siapa?

Tidak ada lagi yang bisa ku percaya untuk sekedar mendengar keluh kesahku.

Tuhan, tolong hamba!

💔

Dibawah temaram malam yang redup, ditemani sinar rembulan yang benderangnya masih saja terlihat gulita bagiku.

Ataukah kegelapan datang dari kedua mataku yang masih saja mengalirkan tangis dalam keluku?

Entahlah.

Aku tidak ingin terangnya lampu memperlihatkan sembab dan memerahnya kedua mataku di kamar yang menjadi ruang paling aman, untukku menyembunyikan diri dari semesta yang menjadi saksi atas lukaku.

Ingatan itu . . .

"Aku tidak peduli dengan masa lalu Bara bersamamu, bagiku yang terpenting adalah masa depan bersama Bara yang kini sudah sah menjadi suamiku," katanya dengan sangat lantang.

Haha, hatiku meringis mendengar pernyataan seorang istri yang tak lain dulunya adalah sosok perempuan yang ku kagumi karena ibadahnya yang membuatku iri.

Seseorang yang pernah menempati posisi spesial dan kusayangi selayaknya Kakak perempuan bagiku.

"Semoga pernikahan kalian terbebas dari karma," jawabku seraya melangkahkan kaki untuk meninggalkan wanita mengerikan berwujud mantan sahabat yang dulu sangat dekat denganku.

"Aku yaqin, Allah itu maha pengampun, . . ." Lisannya langsung terdiam ketika melihat kakiku berbalik dan berjalan kearahnya hingga langkahnya semakin mundur.

"Hei Bu Ustadzah, tidak lantas kalian terbebas dari hukuman hanya karena Allah maha pengampun. Ingat! bahwa Allah juga maha adil, mata dibalas mata, hidung dibalas hidung. Keadilan Qishas Allah tidak akan berubah hanya karena suamimu menjadi manusia yang waras," jawabku menyela istri tercinta laki-laki biadab itu.

Perempuan itu seketika diam dengan binar mata yang menatapku nanar. Aku hanya bisa tersenyum kecut untuk membalas tatapan itu.

"Allah yang memilih Bara menjadi jodohku, seharusnya kamu sudah sadar itu. Mau berjuang sekuat apapun, Bara tidak akan bersamamu," ujarnya dengan bibir yang bergetar.

"Silahkan, ambil dan bawa jauh laki-laki biadab itu dari hadapanku dan jangan lagi menampakkan wujud kalian di depan kedua mataku. Kalian adalah bukti bahwa jodoh memang cerminan diri, haha, laki-laki menjijikkan itu sangat cocok dengan perempuan seperti kamu, jadi nikmatilah kebahagiaan kalian saat ini. Sekali lagi selamat atas pernikahan dan kisah cinta kalian yang uwu-uwu itu,"

Perlahan aku menjauhkan langkahku dari hadapan perempuan yang sangat membuatku muak berada didekatnya lebih lama lagi.

Dia masih diam terpaku melihat langkahku yang membelakanginya, dan sejenak langkahku terhenti untuk mendengar omong kosong lanjutan dari pengantin baru yang sangat mengagungkan kisah cinta pendekatan 3 bulan mereka yang langsung nikah.

"Mau sampai kapan kamu membenci kami?" tanyanya dengan suara yang bergetar.

"Jadi kalian merasa tidak layak untuk ku benci? Wahhh! kalian memang pasangan yang sangat serasi. Yang aku benci adalah perbuatan kalian padaku, yang sungguh menakjubkan hingga sukses membekaskan trauma. Dan jika kalian tidak merasa menyakitiku, ya sudah, lanjutkan hidup kalian. Mema'afkan itu mudah, tapi melupakan sakit dari luka yang sudah kalian berikan padaku tidak semudah saat kalian jatuh cinta dibelakangku."

"Apa yang kamu inginkan dari kami? minta ma'af? berlutut atau harus mengemis pengampunan padamu biar kamu puas."

"Haha, malah ngelawak nih orang. Heh nyonya Bara! Aku tidak butuh kepura-puraan kalian. Apa kamu bilang? Ma'af? Mengemis pengampunan? bahkan berlutut pun tidak akan bisa mengembalikan kaca yang sudah pecah hingga menjadi serpihan. Jadi begini cara kamu menunjukkan sebuah ketulusan? Amazing sekali! Tidak perlu melakukan apapun, Kala yang sekarang bukan perempuan bodoh, bukan Kala yang dengan sangat mudah mempercayai kata-kata manis dari manusia berwujud kalian, No, Thanks. Kala yang dulu sudah mati sejak melihat postingan foto pernikahan kalian, Paham!"

Ingatan itu masih saja menjadi perih, setiap kali terlintas tanpa pernah ku minta.

Tuhan

Bolehkah aku bertanya tentang segala hal yang saat ini terjadi padaku?

Nuraniku selalu berusaha meyaqinkanku bahwa Engkau adalah dzat yang maha baik, tapi fikiranku selalu saja ingin meruntuhkan sisa kekuatanku hingga aku menjadi rapuh lagi.

"Apakah yang terjadi adalah cara-Mu mencintaiku?"

Ataukah . . .

"Semua yang terjadi adalah hukuman untuk diriku yang pendosa ini?"

"Tapi apakah hanya aku yang harus menebus dosa ini sendiri?"

Engkau maha melihat apa yang kami sembunyikan, bukankah dia juga harus bertanggung jawab atas dosa yang kami lakukan bersama?

Dosa yang menjadikan kami hina, karena dengan sadar kami melakukannya di hadapanMu tanpa rasa malu.

Aku mengangkat kepalaku perlahan dan berusaha mencari secerca cahaya dalam kegelapan yang saat ini menyelimuti kesedihanku.

Secerca cahaya itu nampak menyelinap dari kaca jendela kamar.

Perlahan . . .

Rintik gerimis memberikan kabar pada semesta, bahwa langit malam juga selalu datang untuk sejenak menyembunyikan kehadiran bintang.

Sinar bintang yang selalu menjadi penghias gulitanya malam seolah menyapaku bahwa indahnya langit malam akan hadir kembali, setelah turunnya hujan yang dingin.

"Masih adakah secerca kebahagiaan untukku yang pendosa ini, wahai Tuhanku?" pertanyaan hatiku setiap kali aku mengingat dosa itu.

"Masih bolehkah hamba bahagia dan memiliki kehidupan normal?"

"Mencintai dan dicintai dengan kesetiaan yang tulus?"

"Tapi masih layakkah hamba dicintai seindah itu?"

"Dan masihkan ada laki-laki baik yang bersedia menerimaku, setelah mengetahui masa laluku tentang diriku yang menjijikkan ini?"

Sekelebat pertanyaan yang selalu membuatku ingin berhenti bernafas.

Hamba tidak punya apa-apa Yaa Allah! Hanya Engkau yang tersisa dalam secerca cahaya

Disaat hamba berada dalam kegelapan yang membuatku tersesat, hingga hamba ingin menyerah pada kehidupan, yang sejujurnya masih terasa belum adil bagiku.

Ma'afkan hamba yang masih saja mengeluhkan kehadiraN-Mu.

Tuhan, hamba tidak pernah sendirian kan?