Perihal hati memang bukanlah suatu hal yang bisa dihakimi, karena tidak ada yang tahu, kepada siapa hati itu akan bertahta.
Haha, suatu alasan yang selalu menjadi hujjah untuk membenarkan sebuah perselingkuhan. Jika hati memang buta ketika jatuh cinta, bukankah masih ada akal yang bisa berfikir?
Memang bukan hati yang seharusnya disalahkan, tetapi akal yang seharusnya dipertanyakan?
Bukankah manusia dewasa itu bisa memahami mana hal yang menyakiti maupun sebaliknya?
Ku kira semua manusia sadar bahwa perselingkuhan adalah perbuatan asusila yang tentunya menyakiti pasangan.
Manusia bisa memilih untuk membahagiakan atau menyakiti karena punya akal yang sehat, kan?
Jika ada manusia yang selalu mempunyai alasan untuk membenarkan perselingkuhan, mungkin jawabannya adalah ketidakwarasan pada akalnya yang sudah konslet.
Mungkin!
Ups, ma'af jika penilaianku pada konotasi perselingkungan begitu pahit didengar.
Wisata masa lalu yang ku ulas dalam ingatanku ini akan menjadi plot twis yang tidak akan pernah aku lupakan dalam hidupku.
Tepatnya . . . .
8 Tahun lau
"Ini sudah tidak wajah, Mer," ujarku disela sesenggukanku.
Maryam Larasati, tetapi lebih sering dipanggil "Meri", seorang wanita yang selalu nampak anggun di kedua mataku dengan penampilannya yang mengenakan outfit longgar dan hijab panjang, sungguh pemandangan yang menyuguhkan citra kesholihan dari auranya.
"Udah, Kal! Jangan nangis terus, jadi nggak cantik lagi loh!" ucap sahabatku yang selalu berusaha menghiburku meskipun dengan humornya yang garing.
"Ngga lucu, Mer, hiks," kataku dengan tangis yang semakin keras.
"Hei Kala-ku sayang, kalau jodoh tidak akan kemana kok. Udah tenang ya, kita tunggu aja jawaban Allah, yaqin kalau Allah akan menunjukkan semuanya. Sekarang ambil air wudlu terus sholat istikharah ya," sebuah nasehat yang selalu mampu menrnangkan.
Haha, kenapa aku baru sadar, bahwa percakapan itu adalah sebuah kode bahwa ada sandiwara yang diperankan dengan sangat apik oleh seorang pelaku penghianat berkedok sahabat.
Sahabat yang selalu menjadi tempatku bercerita tentang laki-laki biadab itu, ternyata diam-diam juga memiliki niat untuk menusukku dari belakang.
Kebodohan yang mengenaskan adalah ketika aku selelu menepis kabar miring tentang kedekatan laki-laki biadab itu dengan perempuan yang ku anggap sebagai sahabat baik.
Dan kepercayaanku pada dua manusia penghianat itu baru terpatahkan ketika aku melihat sendiri postingan foto pernikahan mereka.
"Ohh, jadi begini?" pertanyaan yang pertama kali terlintas dalam benakku melihat langsung foto pernikahan itu terpampang nyata di kedua mataku.
"Jadi selama ini mereka menganggapku apa? Apa kesetiaan dan persahabatan hanya sebuah lelucon bagi dua manusia yang sepertinya sudah tidak memiliki nurani itu? Haha lucu sekali," perdebatan batinku seketika membuatku tertawa menyaksikan kenyataan yang sungguh mengenaskan.
Jadi selama ini hanya aku yang tulus pada mereka? dan ketulusanku dibalas seperti ini?
Jika masih ada nurani dalam hati mereka, pastilah ada niatan untuk memperbaiki hubungan meski mereka sendiri yang merusak kepercayaan itu, tapi kenyataannya adalah tidak pernah ada etikat baik dari dua manusia yang sangat serasi dan cocok menjadi pasangan itu.
Jangankan kata ma'af, mengabarkan pernikahan mereka saja nampaknya tidak ada dalam rencana hidup baru sepasang pengantin baru itu.
Jadi begini cara mereka menganggap keberadaanku, seperti orang bodoh yang layak menjadi bahan candaan dua manusia tak berperasaan itu.
Aku selalu meluangkan waktu untuk menginap di rumahnya, berbagi banyak hal cerita hingga detail hubunganku dengan laki-laki biadab itu. Aku tidak sadar bahwa setiap hal yang kuceritakan tentang laki-laki biadab itu menjadi hal yang dia inginkan juga.
Semoga . . .
Semoga hanya kebahagiaan yang kamu dapatkan dari laki-laki yang namanya selalu kamu dengar dari setiap curhatanku padamu tidak akan menyakitimu sebagaimana dia menyakitiku.
Laki-laki yang kamu banggakan karena akhirnya bisa menjadi suamimu, tanpa memikirkan sedikitpun tentang keberadaanku sebagai seseorang yang pernah menyandang posisi sebagai sahabatmu dan yang pernah menyayangimu melebihi sahabat bahkan sangat kusayangi seperti saudari perempuanku.
Jadi seperti ini jawaban dari istikharahku. Semoga hanya aku satu-satunya perempuan yang menerima rasa sakit dari kebiadabannya sebagai laki-laki yang menginginkan diriku untuk sekedar dinikmatinya sesaat, lalu di sepah seperti sampah yang tidak diinginkan lagi.
Do'a terbaikku untuk kalian . . .
Yaitu . . .
Semoga karma itu tidak datang kepada anak keturunan dari laki-laki menjijikan itu.
Kamar itu menjadi saksi, betapa manisnya lisan yang selalu mengucapkan kalimat menenangkan itu dari aeorang sahabat yang selalu kupersilahkan untuk mendengar rintihan keluhku, untuk melihat tangisanku, bahkan untuk mengetahui banyak hal tentangku.
Ternyata adalah sosok yang diam-diam sengaja berniat menikamku dari belakang.
Haha, "Jodoh" katanya?????
Se-simple itu menafsirkan sebuah luka dengan bersembunyi dengan dalih "jodoh"
Jadi, jodoh itu adalah kisah cinta yang berakhir di pelaminan?
Seolah tidak akan terjadi lagi perpisahan setelah menikah?
Alasan "Takdir Jodoh" menjadi momok yang membenarkan untuk menyakiti hati sahabatnya sendiri.
Wow!!!!!
Takdir tentang sebuah jodoh memang tidak memiliki pilihan untuk dibantah, dan aku sadar akan hal itu!
Tapi bukankah manusia punya kuasa untuk memperbaiki sebuah kesalahan ketika takdir tentang jodoh itu menyisakan sebuah luka? Hah!!!!
Kenapa harus dia?
Pertanyaan yang membutuhkan waktu lama untuk ku terima alasannya, selain alasan takdir yang menjodohkan mereka.
Di depan cermin yang menampakkan bayangan diriku sedang menatap sosok berwujud aku.
Ya, aku!
Aku yang terus memandangi setiap detail diriku ini sedang mencari letak kesalahan dan kekuranganku.
"Apa aku kurang cantik? Apa aku . . . " tanyaku.
"Tidak, Kal. Istrinya sama kamu ya kalah jauh lah, masih cantikkan kamu," Sahut Pia.
Sahabat yang dari balita sudah membersamaiku, meskipun jarak dan tujuan hidup kami tidak pernah sejalur, lebih sering LDR, tapi selalu ada waktu untuk kami bertemu meskipun hanya beberapa jam dalam setahun.
"Terus kenapa dia lebih milih perempuan itu, Pi? Aku juga bisa masak kok. Aku belajar masak demi nyenengin dia loh? Aku juga bisa nyuci dan nyetrika baju, apalagi mencuci piring,"
"Kal," Panggilnya dengan nada kesal.
"Kamu adalah berlian dimata laki-laki baik yaitu dia yang bisa melihat kecantikan hatimu. Dia yang tidak akan pernah menuntutmu menjadi sempurna hanya untuk membahagiakannya. Seseorang yang mencintaimu karena dia tahu kekuranganmu bisa dilengkapi olehnya. Seseorang yang mencintaimu untuk membahagiakan dan memuliakanmu. Bukan malah menyia-nyiakan perempuan cantik sepertimu. Paham!" kata Si Bijak yang suka ada benernya kalau memberi nasehat.
Tapi bagiku, kata-kata penghibur itu terlalu berlebihan untuk seorang pendosa sepertiku.
Aku masih terdiam meresapi setiap nasehat yang terasa tidak berhak untuk ku rasakan.
Aku masih ragu dan terus saja merasa tidak layak menerima kebahagian sebagaimana orang lain. Mereka yang punya kehidupan normal yaitu dicintai dan mencintai.
Yang pantas kuterima adalah sebuah hukuman.
"Lho kok malah tambah murung, Kal?" Tanya Pia langsung beranjak dari kasur dan menghampiriku yang duduk termangu.
Aku tidak tahu mengapa airmataku seketika mengalir tanpa pernah ku minta.
Selama ini aku sangat pandai dalam menyembunyikan kelemahanku disaat aku ingin menangis.
Tapi entah mengapa di detik ini, aku ingin berteriak pada semesta dan langsung bertanya, masih bolehkah aku bahagia?
Tuhan.
Engkau membiarkan dia hidup normal dengan menikahi wanita yang membuatnya mengingkari janjinya padaku.
Engkau maha mendengar semua janji manis yang dia ucapkan dengan menyebutkan asma-Mu.
Begitu ringannya dia mengingkari janji yang menyertakan nama-Mu, apakah hal itu bukan sebuah dosa yang tetap harus dibayar?
Bagaimana bisa dia masih boleh tertawa, ketika lisan yang mengucapkan janji itu tidak mampu bertanggung jawab pada janjinya?
#Flashback
"Kamu akan bertanggung jawab kan, Bar?" tanyaku dengan bibir gemetar.
"Demi Allah, hanya Kala yang akan menjadi istriku. Kamu tahu kan sayang, aku sangat mencintaimu," kata-kata menjijikkan itu seketika teringat dan terus mengiang di telingaku.
"Aaaaaaa," teriakku yang langsung menutup telinga dengan kedua tanganku.
"Kala kamu kenapa?" tanya Pia yang kaget dan langsung memelukku dengan erat.
"Aku, aku, aku . . . " kataku begitu terbata-bata untuk mengungkap kenangan buruk yang terus saja menghantuiku.
"Tidak apa-apa jika kamu belum siap bercerita, Kal. Jangan seperti ini, ku mohon kuatlah," ujar Pia sembari menyeka airmata di kedua pipiku.
"Aku ini pendosa, Pi!" tangisku semakin tersedu.
"Semua orang pendosa, Kal. Tidak ada manusia tanpa dosa," jawab Pia yang nampak bingung mendengar pernyataanku.
"Apa aku masih pantas bahagia, Pi? Dosa yang ku perbuat sangat fatal." isakku yang tak kunjung mereda.
Seketika Pia terdiam dan langsung memegang tanganku yang bergetar, ditatapnya kedua mataku dengan lekat seolah dia bisa membaca dosa yang kusembunyikan dari binar mataku yang memerah.
Genangan airmata yang siap terjatuh itu seakan sudah bisa terbaca dan Pia langsung memelukku tanpa sepatah katapun, pelukannya semakin erat bersama sebuah isak tangis yang perlahan ku dengar.
"Pia," panggilku yang membuatnya melepaskan pelukan.
Aku hanya tertunduk dengan tangis yang berusaha kuhentikan.
"Aku akan menjelaskan maksutku," kataku perlahan mengangkat kepalaku dengan seulas senyuman yang ingin ku persembahkan dihadapan sahabatku yang akhirnya menyaksikan ketidakmampuanku menghadapi keadaan ini.
"Jangan terpuruk lagi! Bagiku kamu tetap Kala yang berhati baik. Manusia pasti pernah melakukan kesalahan fatal yang akan menjadi penyesalan seumur hidupnya, dan Allah tahu hatimu menyesalinya, Kal."
"Diri ini sangat menjijikkan, Pi" tangisku kembali pecah hingga mampu membuat pertahanan Pia untuk menguatkanku juga ikut runtuh.
"Allah lebih mencintai pendosa yang memperbaiki diri, Kal!" serunya dengan tatapan yang mengisyaratkan padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Masih bolehkah aku merasakan kebahagiaan itu, Pi? Masih adakah laki-laki baik yang bersedia menerima keadaanku yang menjijikkan ini? Masih pantaskah aku merasakan cinta yang tulus dan dicintai dengan setia?" pertanyaan yang membuatku semakin lemah.
"Pasti, Kal. Yang kamu ikhlaskan pasti Allah ganti dengan lebih banyak kebahagiaan. Laki-laki biadab itu tidak pantas menerima ketulusan dan kesetiaanmu. Kamu terlalu berharga untuk laki-laki tidak bermoral seperti dia. Kamu hanya korban yang berhasil dikelabui manusia lucknut itu," ujarnya dengan penekanan yang sangat tinggi pada nada di kata "Lucknut".
Sebuah senyuman sedikit menarik lekung bibir kami dengan tawa kecil setelah mendengar sindiran Pia yang me-labeli laki-laki penghianat itu dengan banyak sebutan.
Ahh pia-ku yang sangat dewasa dan keibuan.
Terimakasih telah memahami posisiku disaat aku tidak sanggup menjelaskan kehinaan yang terus saja menjadi mimpi buruk bagiku.
Terimakasih karena selalu ada untuk sekedar memapah dan merangkulku dalam setiap keadaanku yang masih saja mengenaskan.
Terimakasih telah menerimaku dalam segala keadaanku yang menjijikkan ini.
Semoga kamu adalah wujud hadiah yang Allah kirimkan untukku, setelah apa yang aku coba ikhlaskan.
Aku tidak boleh terus terpuruk seperti ini. Aku bukan Si bodoh Kala yang dulu.
Entah apa hikmah dari keadaan yang telah terjadi, apakah berwujud tanda cinta Allah untuk melindungiku dari laki-laki tidak bertanggung jawab itu?
Ataukah sebuah hukuman karena aku telah berbuat kebodohan yang menjerumuskanku pada dosa yang fatal.
Aku harus tetap menerima keadaan diriku meski aku adalah pendosa yang hina, setidaknya aku masih bernafas, dan pasti Allah punya tujuan baik dengan masih mengizinkanku bernafas hingga detik ini.
Tuhan.
Jikalau memang hamba tidak layak menerima kebahagiaan melainkan sebuah hukuman, maka hamba akan ikhlas menjalaninya, yang terpenting adalah, ku mohon, tetaplah membersamai hamba.
Karena hanya Engkau yang kini menjadi tujuan hamba bernafas, setidaknya berikan hamba kesempatan untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi sekitar hamba, dimanapun hamba melangkahkan kaki.
Tolong izinkah nafas hamba memiliki kesempatan menjadi kebahagiaan untuk lebih banyak orang.
Tolong gantikan orang-orang yang berniat buruk pada hamba dengan lebih banyak kasih sayang dari-Mu dan dari siapapun yang hamba temui.
Dan tolong, jangan pernah pertemukan hamba dengan manusia yang sama seperti Meri dan Bara.
Cukuplah mereka menjadi lembaran kelam dalam masa laluku, dan luka yang masih menyisakan sayatan dari perbuatan mereka pada hamba.
Semoga yang telah terjadi adalah penguat untuk hamba menjadi manusia yang lebih baik dari hari ini.
Menjadi hambaMu yang lebih kuat dari pedih yang tak terperikan di esok hari yang masih tersisa.
Semoga ngilu yang kini menjadi temanku disetiap detikku bernafas akan selalu mengingatkanku bahwa, disakiti itu tidak enak, hingga hamba tidak akan pernah melakukan hal yang sama sebagaimana penghianatan dua manusia jahat itu.
Kini hamba menemukan salah satu jawaban dari alasan mengapa Engkau membiarkan hamba terluka.
Karena Engkau ingin menjagaku agar tidak menyakiti orang lain dengan perbuatan yang sama.
Dengan mengetahui rasa sakit ini, hamba belajar untuk sadar, bahwa Engkau sedang mengajariku untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Jawaban yang lain ialah ketika hamba harus menerima rasanya kehilangan, yang Engkau ambil pastilah untuk kebaikanku, agar hamba tidak menjadi manusia yang semakin rusak jika terus bersama laki-laki jahat itu.
Terimakasih sudah sebaik ini pada seorang pendosa seperti hamba.
Terimakasih Robbii, sudah memberikan hamba kesempatan untuk memperbaiki diri. Semoga disetiap detik nafas yang berhembus ini, menjadikan hamba semakin mengingat kebaikanMu.
Sebagaimana cinta-Mu kepada Nabi Adam, ketika beliau berbuat dosa dengan melanggar larangan-Mu untuk tidak memakan buah Khuldi.
Tolong kasihanilah hamba seindah cinta-Mu untuk Nabi Adam. Dan do'a ini selalu menjadi ketentraman dalam hatiku.
Do'a Nabi Adam untuk memohon pengampunan yang kini membersamaiku dalam penyesalan atas perbuatan bodohku yang menjadikanku pendosa.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi (Q.S Al A'raf, 8:23)