Chereads / Lelaki Bayaran dari Saudara Ku / Chapter 11 - Perasaan

Chapter 11 - Perasaan

Malam itu, Ryou mengompres wajahnya yang lebam-lebam akibat tinjuan keras Alyosha. Sudah tak terhitung berapa kali ia dipukul oleh wanita itu.

Ryou akui tinjuan wanita itu lebih keras daripada tinjuan seorang lelaki.

Tentu saja, karena tubuh Alyosha sudah terlatih untuk bertarung. Memiliki tinju yang keras dan begitu menyakitkan adalah salah satu senjata alami miliknya.

"Tuan, biar saya yang mengobati memar anda," ucap salah satu lelaki berpakaian pelayan lengkap.

"Tidak apa-apa, saya bisa melakukannya sendiri. Terima kasih," tolak Ryou dengan halus.

Kriiinggg

Bunyi dering panggilan mengejutkan Ryou, segera pelayan itu mengambilkan telepon itu untuknya.

"Halo," jawab Ryou.

"Bagaimana?"

Ryou menyipitkan matanya, ia kenal dengan suara itu. Suara dari sosok lelaki yang membuat ia terjebak dalam situasi canggung bersama Alyosha. Siapa lagi kalau bukan Elisio?

Dari sekian banyak kata yang seharusnya diucapkan Elisio lebih dulu, kenapa harus kata bagaimana?

Apanya yang bagaimana?

Memangnya ia cenayang yang bisa menebak isi hati dan pikiran Elisio?

Sungguh, dua bersaudara itu sama saja. Mereka sama-sama menyulitkan hidup Ryou dengan cara pikir dan kehidupan mereka yang rumit.

"Err... bagaimana... apa ya?" tanya Ryou balik. Ia tidak mau salah memastikan, lebih baik bertanya lebih dulu.

'Kau tidak mengerti?' balas Elisio di seberang panggilan sana. 'Yang kutanyakan adalah perkembangan kalian berdua.'

Ryou menghela nafas pelan. Ia tak tahu harus menjawab apa. Apa sopan kalau dia menjawab seperti ini.

Aku menciumnya, lalu kami bergulat di pasir pantai yang putih dengan sentuhan-sentuhan yang seduktif. Dan bla bila bla.

Lalu nanti Elisio mengirimkan pembunuh bayaran untuk menghabisi nyawa Ryou.

Oke, itu berlebihan. Sebenarnya kekhawatirannya itu tidaklah benar. Malah Elisio akan senang mendengar kalau mereka berdua sudah sampai ke tahap itu, walau sedikit dengan bumbu-bumbu jebakan dari Ryou. Pasti Elisio akan tertawa bila mengetahui wajah Ryou sudah babak belur akibat pukulan dari Alyosha.

Dan sebenarnya ia sudah tahu. Salah satu pengunjung resort yang ada di sana merupakan orang suruhan Elisio untuk mengikuti mereka berdua. Dan kabar tentang wajah Ryou sudah sampai ke telinga Elisio sebelum ia meneleponnya tadi.

"K-kami... sudah saling mengobrol. Hanya percakapan singkat saja, belum ada sesuatu yang istimewa," balas Ryou. Ia menatap kompres yang ada di tangannya itu. "Dan yeah, kami jadi canggung kembali."

Hening sejenak, Ryou menunggu reaksi dan jawaban dari calon iparnya tersebut.

Tunggu! calon ipar? memangnya kapan Ryou dan Alyosha akan menikah?

'Hahahahahaha!!! bagus, buat hubungan kalian semakin dekat. Kakak ku itu memang orang yang keras, tapi bila kau tahu cara melunakkan perasaannya kau akan menjadi orang yang tak terpisahkan darinya,' balas Elisio. Tak ada rasa bersalah sedikitpun dari nada bicaranya tersebut. Malah dia tertawa semakin lama dan mulai kesulitan menghentikan tawanya.

Ryou adalah orang yang sabar, tapi mengetahui reaksi Elisio demikian membuat ia cukup kesal. Tapi ia berusaha untuk tetap menahan emosinya.

Padahal tanpa diketahui oleh Ryou, Elisio yang sedang meneleponnya itu berada di meja kerjanya dengan laptop yang menayangkan sebuah rekaman yang sedari tadi membuatnya tertawa.

Iya, rupanya bukan penjelasan Ryou yang membuat gelak tawa Elisio pecah. Melainkan rekaman tentang bagaimana bersemangatnya kakaknya itu menghajar Ryou sampai babak belur. Untung Ryou tidak mengalami pergeseran tulang leher akibat pukulan tanpa henti itu.

Lama mereka berbicara lewat telepon, sampai pada akhirnya Elisio yang memutuskan untuk mengakhiri percakapan tersebut.

"Aku akan menyusul ke sana tak lama lagi. Semoga harimu menyenangkan di Swiss. Jangan ragu untuk membeli apapun, buatlah dirimu terlihat menggoda dan menarik di mata kakak ku," ucap Elisio berpesan pada Ryou.

"Terima kasih banyak, tapi sampai sekarang semuanya sudah cukup di sini. Kau mengirimkan banyak barang, dan aku belum menggunakan seluruhnya," balas Ryou. "Semoga harimu menyenangkan, selamat malam."

"Selamat malam Ryou."

Sambungan panggilan terputus, Ryou meminta agar pelayan itu meninggalkan dirinya sendiri. Ia ingin istirahat sekarang.

Ryou merebahkan tubuhnya di kasur empuk hotel tersebut. Ia suka pemandangan luar, tapi ia tetap memilih ruangan tertutup seperti ini. Berada dalam ruangan yang terbuka tidak selalu mengenakkan bagi Ryou.

Bicara soal ruangan terbuka, ia jadi teringat dengan ciuman yang ia lakukan bersama dengan Alyosha tadi sore. Semuanya masih membekas di ingatannya, bahkan Ryou merasa ciuman itu masih membekas di bibir tipis miliknya.

Ryou meraba bibirnya, bibir yang sudah menyentuh bibir Alyosha tanpa permisi. Bibir yang sudah menyesali manisnya bibir Alyosha yang sangat jarang dijamah oleh orang lain itu. Terakhir kali Alyosha berciuman adalah ketika bersama mantan kekasihnya dulu, dan sekarang Ryou lah yang menjadi salah satu orang beruntung untuk mendapatkan kesempatan mencium bibir seksi dan menggoda tersebut.

"Astaga, banyak sekali dosa yang telah aku lakukan," ucapnya bermonolog. Ia memejamkan matanya perlahan. Awalnya dia berniat untuk tetap terjaga, tapi rasa kantuk datang tiba-tiba dan membuatnya pergi ke alam mimpi lebih cepat pada malam itu.

.

.

.

.

.

"Sialan!"

Alyosha tidak sedang marah pada bawahannya atau salah satu karyawan yang bekerja di resort mewah miliknya itu. Ia juga tidak sedang memaki Elisio. Ryou juga tidak sedang bersama dengannya.

Lalu kenapa dia marah?

Alasannya sama dengan alasan yang membuat Ryou tersipu malu sambil memegangi bibirnya.

Ya, ciuman itu.

Ciuman yang awalnya hanya ide dadakan di otak Ryou. Namun membekas sangat lama di pikiran Ryou dan Alyosha.

"Bodoh! kenapa aku biarkan dia melakukannya?!"

BRAK

Pintu lemari yang terbuat dari bahan mahal dan kuat di ruangannya berlubang seketika ketika tinju wanita itu melayang ke arah pintu tersebut.

Persetan dengan barang-barangnya yang rusak karena ia hancurkan, yang ia pikirkan sekarang hanyalah cara untuk melampiaskan rasa kesalnya.

Tapi apa benar itu rasa kesal? jangan-jangan itu adalah rasa malu?

"Astaga, Tuan. Tangan anda terluka," ucap salah satu pelayan yang ada di situ. "Tunggu sebentar Tuan, saya akan memanggilkan dokter untuk anda."

"Tidak! tidak perlu!" cegah Alyosha. Dia tidak peduli dengan keadaan tangannya yang terluka sekarang. Ia ingin memuaskan perasaannya dengan lebih banyak memukul dan menghancurkan.

"T-tapi tangan anda---"

"Sudah aku bilang kalau aku tidak ingin diobati! Kau mau membantahku?! pergi sana! aku sedang ingin sendiri!" seru Alyosha mengusir pelayan itu dari ruangannya.

"B-baik Tuan. Saya akan pergi," balas pelayannya dengan patuh.

Cklek

Oke, sekarang sudah tenang. Tak ada lagi yang mengganggunya. Dan sekarang ia bisa lebih fokus menghempas lebih banyak barang dan mengeluarkan umpatan di dalam ruangannya itu. Ia benar-benar menjadi seekor singa sekarang.

Kriiinggg

Alyosha mengumpat lagi. Ia ingin menghancurkan telepon itu, tapi kalau itu telepon dari ibunya bisa gawat kalau ia tidak mengangkatnya.

"Halo?"