Chereads / REWRITE THE STAR'S / Chapter 3 - Ternyata Tetangga

Chapter 3 - Ternyata Tetangga

Goresan 2 ; Ternyata Tetangga

Jika saat engkau jatuh, dan mulai merasa rapuh. Pundakku siap tersadar, tanganku selalu menggengam.

- Devano Danendra

----

"Bubay fans... Gue mau pulang duluan." Arunika melambai dan memberikan kiss bye nya. Membuat beberapa pasang mata yang masih menetap dikelas karena ada piket, hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah gadis yang suka menguncir kuda rambutnya itu. Namun, meski begitu ia sangat bersyukur memiliki teman seperti Arunika.

Karena ia mau membantu temen-temen sekelasnya tanpa pamrih, buktinya barusan Arunika sigap membantu teman-teman yang sedang melaksanakan piket, meski nama gadis itu tidak tertera dijadwal piket hari ini.

Arunika berjalan zig zag melewati tiap lorong, langkah perempuan itu terus membawanya menjauh dari kelas. Kelas yang lima belas menit yang lalu, menjadi tempatnya menimbah ilmu. Yap! Lima belas menit sudah bel sekolah berbunyi nyaring, keseantero SMA Guardian. Lorong masih terlihat ramai oleh beberapa murid yang memang tidak langsung pulang, karena ada urusan dengan organisasi ataupun ekstrakurikuler yang mereka ikuti.

"Jika saat, engkau jatuh. Dan mulai merasa rapuh, pundak ku siap tersandar, tanganku selalu menggenggam.." Suara pelan gadis itu, membuat langkahnya tidak terlihat hambar.

Suara merdu gadis itu, terkadang membuat ia suka menjadi vokalis dadakan. Atau sekedar penyanyi kelas dadakan disaat temannya yang menjadi biduan kelas tidak bisa melakukan aksinya.

Jika kalian bertanya, mengapa Arunika sebahagia itu? Tentu saja lagi dan lagi karena Sandyakala. Sosok yang tiba-tiba membuat hatinya merasakan hal yang belum ia rasakan pada siapapun. Ah iya, tidak. Sosok misterius tujuh tahun yang lalu juga mampu membuat hatinya mengerti bahwa setidaknya ada satu mahluk baik dibumi. Sudah tiga tahu lamanya, mereka tidak lagi bertukar pesan lewat sebuah kertas berbentuk pesawat. Apa kabar sosok itu?

Arunika bersenandung kecil, melanjutkan sepenggal lagu yang baru saja terhenti karena ia, memikirkan sosok tujuh tahun silam. Langkahnya mendadak terhenti, kala melihat Sandyakala dengan motor Vespa hitam juga helm yang membuat laki-laki itu tambah tampan saja. Jaket bomber berwarna biru tua, menambah kesan misterius untuk sosok laki-laki itu.

Buru-buru ia berlari, menuju gerbang untuk mencegah perginya Vespa Putih yang Sandyakala naiki dari pelataran sekolah.

Tiba-tiba saja sosok perempuan dengan kuncir kuda menghadang jalannya Vespa kesayangan Sandyakala. Membuat laki-laki itu menghentikan Vespanya tiba-tiba dan menatap Arunika dingin, meski awalnya ia kaget tapi laki-laki itu selalu bisa mengendalikan suasana.

"Sandyakala, gue bareng dong. Lo nggak kasihan sama gue? Gue pulangnya jalan nih, mana duit gue tinggal pahlawan Mohammad Hoesni Thamrin satu lembar." Arunika menatap Sandyakala dengan tatapan memelasnya. Bukannya iba Sandyakala malah jijik melihat wajah gadis didepannya itu.

Tanpa membalas kata-kata Arunika, Sandyakala kembali melaju kan motornya dipinggir sebelah kiri Arunika. Gadis itu yang memang selalu siap dengan ancang-ancang nya, mampu kembali menghentikan Vespa putih milik Sandyakala.

"Sandyakala, masa lo nggak kasihan sih sama cewe cantik melebihi Anya Geraldin ini." Sandyakala menatap Arunika dingin, sebelum akhirnya ia memilih menekan klakson. Ternyata tidak sia-sia ia menggunakan cara itu, meski malah membuat banyak pasang mata yang menatap kearah mereka, hal yang paling tidak Sandyakala suka. Menjadi pusat perhatian banyak manusia.

"Sandyakala Lazuardi!" Teriakan nyaring milik Arunika tidak Sandyakala gubris, laki-laki itu malah semakin melaju cepat menjauh dari sekolah, meninggalkan asap kendaraannya. Sedangkan ditempatnya, Arunika hanya tersenyum dan kembali menyenandungkan lagu.

Kelakuan gadis itu yang memang tidak sengaja tertangkap oleh penghuni sekolah, hanya bisa membuat mereka menggeleng-ggelengkan kepala, bahkan ada juga yang menatap Arunika ngeri, karena senyum Devil yang tiba-tiba saja gadis itu lontarkan untuk sosok pengguna Vespa putih yang baru saja meninggalkan pelataran sekolah.

***

Arunika duduk di Halte Bus dekat sekolahnya dengan susu rasa pisang ditangannya. Netra hitam gadis itu tak henti menatap manusia-manusia yang berlalu-lalang, entah dengan kendaraan mereka atau berjalan.

Helaan nafas terdengar keluar, kala sudah tiga Bus terlewatkan dan gadis itu belum juga beranjak dari tempatnya. Musik yang bahkan terdengar keluar dari headphone berwarna putih miliknya tak membuat pikirannya diam disatu tempat, malah membuat pikiran itu melayang jauh entah kemana bersama pertanyaan demi pertanyaan yang riuh.

Dua jam lamanya, ia setia duduk disana. Hingga, matahari yang tadinya begitu terik diatas sana sudah turun perlahan. Meski begitu, pedagang yang hilir mudik melewati Halte sama sekali tidak kehilangan semangatnya demi sesuap nasi. Atau bahkan, anak-anak kecil yang mengandalkan gitar tuanya untuk bernyanyi di lampu merah, menunggu kendaraan besi itu berhasil berhenti sempurna disana, mencoba peruntungan dari satu persatu pengendara. Bahkan penolakan atau bahkan cacian sudah mereka rasakan.

"Kak Arunika?" Suara milik anak kecil dengan ukulele tua yang sudah tertempel banyak stiker semangat disana, duduk disamping gadis ber kuncir kuda itu.

"Loh, Ardan? Kamu masih disini? Biasanya udah di lampu merah Senayan." Arunika menatap sosok bernama Ardan itu, dengan tatapan bingungnya.

"Iya kak harusnya, tapi Ibu sakit jadi aku harus bantu Ibu dulu. Untung aku punya sisa uang buat makan sama beli obat buat Ibu." Arunika diam, ia menatap anak laki-laki disampingnya itu.

"Maaf ya, aku nggak bisa bantu kamu kalau masalah uang. Gimana kalau kita ngamen bareng, biar cepet ke kumpul uangnya?" Arunika menatap Ardan dengan tatapan berbinar nya, merasa jika idenya sangat berlian.

"Kakak udah banyak bantu aku, makasih banyak kak." Arunika mengangguk antusias.

"Ayo kita ke lampu merah Senayan, tapi kita jalan ya nggak papa kan? Uang kakak udah habis buat beli susu rasa pisang." Arunika tertawa pelan, membuat Ardan ikut tertawa.

"Nggak papa kak, aku udah bisa kok jalan. Lagian jalan bisa bikin sehatz ngurusin badan juga." Arunika mengangguk setuju.

Butuh waktu satu jam lamanya, dari sekolah Rinai menuju lampu merah disalah satu daerah di Senayan. Dewi keberuntungan ternyata berpihak kepada keduanya. Karena, saat mereka sampai disana, lampu lalu lintas itu sudah berubah berwarna merah.

°°°

Gadis dengan tas biru yang merekat dipunggung nya berjalan melewati mansion megah berwarna putih gading itu.

Netra hitamnya, membulat sempurna kala melihat sosok yang sedang membuang kantong plastik hitam besar yang Arunika yakini adalah sampah.

"Halo Sandyakala, kita ketemu lagi." Arunika tersenyum begitu manis, tapi tidak untuk Sandyakala.

"Kita memang jodoh ya, buktinya ternyata kita tetangga." Arunika kembali berucap, tapi Sandyakala masih diam. Menganggap jika Arunika hanyalah radio berisik.

Sandyakala memilih kembali melangkahkan kakinya masuk. Meski Arunika tak hentinya berkata. Hingga, sebuah kata membuat Sandyakala memutar bola matanya.

"Selamat malam, Sandyakala!" Arunika berucap nyaring, membuat satpam penjaga rumah Sandyakala menatap gadis remaja itu bingung.

••••