"Nggak mungkin, 'kan?" desakku pada kak Riki.
Sejak tadi aku terus saja mencoba mengingat-ngingat apa yang sebenarnya terjadi namun satupun itu tak ada yang terjawab. Kak Riki hanya mengatakan bahwa bisa jadi itu adalah kenangan yang tak begitu penting hingga aku melupakannya, akan tetapi mungkinkah itu benar-benar demikian? Kenangan yang seolah membekas dalam benak, mana mungkin di katakan sebagai sesuatu yang mirip angin lalu.
Melintas begitu saja serta tak bisa dianggap penting. Mau berteriak di depan kak Riki, aku tak bisa. Itu jelas akan membuatnya makin kesal karena Dhik berada di tengah-tengah kami saat ini.
"Mas?"
Aku tergelak kala Dhik ikutan-ikutan memanggil papinya dengan sebutan mas. Wah, ini anak memang tahu saja cara untuk membuat keadaan kian memburuk. Diam-diam sambil menatap Dhik aku berharap akan hadir sosok mungil lagi dengan mengusap-ngusap perutku saat ini.
