Bunyi Bel masuk sekolah berdering. Murid-murid berlarian memasuki ruang kelas masing-masing.
Seorang gadis lugu berjalan perlahan memasuki kelas. Belum sempat ia masuk, salah satu temanya menepuk pundaknya yang membuatnya berhenti melangkah masuk.
"Eh culun, minggir!"
Gadis itu hanya menuruti saja perintah teman-nya, terdiam cukup lama sambil menatap teman-teman lainya di kelas itu dan kembali melangkah menuju tempat duduknya.
"Ih, jijai banget deh sama dia sok lugu"
"Rambutnya itu loh hahaha lepek"
"Bonyok (Bokap - nyokap) nya gak malu apa ya punya anak kaya dia"
"Ihhh kalo gue sih malu parah ya gak.. hahahahaha"
Semua murid di kelas menggunjingnya. Tak terlihat satupun membelanya ataupun bersikap baik padanya.
Dia hanya duduk sendiri. Tak ada yang mau duduk disebelahnya. Entah apa alasanya, ia-pun tak tau pastinya namun hal itu sudah berlangsung lama. Dimulai dari awal iya masuk ke sekolah itu. Setelah orang tuanya bercerai, gadis itu dibawa oleh ibunya yang semula mereka tinggal di rumah ayahnya di sebuah desa M lalu pindah ke kota J dimana ia sekarang tinggal.
Ia meletak-kan kepalanya di meja, menutup matanya berharap waktu segera berlalu.
Namanya Elina Noor. Elin adalah seorang gadis lugu yang tak mengikuti trend kekinian. Baju sekolahnya sengaja ia buat longgar agar tidak menampak-kan bentuk tubuhnya. Rambutnya selalu ia pakaikan minyak rambut agar rapih. Kaca mata tebal menghiasi wajahnya. Namun... Elina merupakan gadis yang pintar. Ia selalu menjadi juara kelas. Di sekolah lamanya ia memiliki banyak teman berbanding terbalik dengan keadaan di sekolahnya yang baru. Disebabkan perceraian orang tuanya, Elina menjadi pendiam dan tak menghiraukan perlakuan murid-murid di sekolah barunya terlebih ia tak mencoba mencari teman yang bisa membantunya beradaptasi di sekolah. Bukan tanpa alasan. Elina cukup terpukul dengan keadaan keluarganya sehingga membuatnya nyaman dengan menyendiri.
"Selamat pagi anak-anak"
"Selamat pagi bu.."
Elina segera membetulkan posisi duduknya dan mengeluarkan buku pelajaran.
"Hari ini kita ulangan ya"
"Yahh bu, kita kan belum persiapan bu. Masaa.. langsung ulangan si bu.."
"Bianca.. kalau kamu tidak mau ibu gak akan paksa. Bisa tunggu di luar.. tapi jangan salahkan ibu ya kalau nilaimu tidak memuaskan. Lagian tugas siswa itu belajar, harusnya kalau kamu belajar kamu bisa menjawab soal-soal ulangan dari ibu"
Bianca hanya terdiam mendengar ceramah dari bu Lusi.
Bu lusi membagikan lembar soal kepada semua murid di kelas tak terkecuali Elina.
"Elina... ini soalnya" Kata bu Lusi sembari tersenyum.
Elina merupakan murid yang disenangi banyak guru meskipun dia baru sebulan berada di kelas itu. Sikapnya yang sopan dan sangat pintar membuatnya disanjung oleh semua guru.
"Okey.. sekarang mulai di kerjakan ya. Waktunya hanya 30 menit. Yang ketahuan mencontek langsung ibu keluarkan dari kelas. Paham anak-anak?"
"Paham bu.." Jawab murid-murid serentak.
"El, El.. sssstt El " Suara Bianca memekik pelan. Bianca duduk tepat di belakang Elina bersama Nanda. Bianca adalah siswi yang memiliki banyak teman, bisa dibilang ia memiliki teman-teman yang selalu patuh padanya. Ia populer, cantik dan banyak yang ingin menjadi pacarnya. Namun Bianca memiliki sifat yang arogan dan sering menindas murid lain yang menurutnya lemah seperti Elina.
Elina menoleh pada Bianca.
"Kasih tau jawabanya, awas lu sampe gak ngasih"
Elina hanya terdiam dan segera mengisi lembar soal satu demi satu.
Waktu baru berjalan 20 menit namun Elina sudah selesai mengerjakan soal-soal ulangan. Dengan segera ia mengumpulkan kertas jawabanya tanpa menghiraukan Bianca yang sejak tadi meminta jawaban soal darinya.
"Wah, sudah selesai Elina?"
"Iya bu sudah"
"Okey.. kamu bisa kembali duduk sambil menunggu teman-teman yang lain selesai ya"
"Baik bu.."
Elina kembali ke tempat duduk. Bianca menatapnya dengan tatapan penuh emosi.
"Bi, gimana nih bentar lagi kelar. Gue gak bisa ngisi Bi.."
"Jangan berisik deh Nanda, gue aja gak tau harus isi apaan"
"Udah deh Bi, isi asal-asal aja. ini B, ini A ini C gitu"
"Istirahat nanti kumpulin anak-anak"
"Mau ngapain Bi?"
"Banyak tanya lu, udah kumpulin aja. Gue mau bikin peritungan sama si culun"
Suara Bianca dan Nanda yang berbisik terdengar oleh bu Lusi.
Bu Lusi yang sedari tadi duduk menatap mereka berdua kini berdiri dan menghampiri mereka.
Tanpa biacara apapun Bu Lusi menarik lembar jawaban Bianca dan Nanda yang membuat keduanya terkejut.
"Bu.. bu jangan. belum selesai bu" Rengek Bianca dan Nanda bersamaan.
"Kalian bedua ini dari tadi ibu perhatiin diskusi melulu. Ini ulangan bukan kerja kelompok. Sudah kalian bedua keluar"
"Bu.. maaf bu maaf"
"Gak ada maaf maaf, segera keluar sekarang!"
Bianca menatap Elina dengan penuh amarah lalu beranjak keluar kelas diikuti oleh nanda yang mengekor di belakangnya.
"Waktunya sudah selesai anak-anak. Segera kumpulkan"
"Yaaahhh...." Gumam murid-murid yang terdengar kesal dengan permintaan bu Lusi.
"Okey.. kita lanjutkan dengan pelajaran ya. Sekarang buka buku paket halaman 28"
Kegiatan belajar mengajar berjalan dengan tertib. Waktu berjalan cepat hingga sampailah pada waktu jam istirahat.
Bel pertanda istirahat berdering membuat semua murid berhamburan keluar.
El merapihkan buku-bukunya dan hendak pergi ke toilet. Setelah semua buku telah masuk ke dalam tas-nya, ia bergegas pergi ke toilet. Langkahnya terhenti melihat Bianca dan teman-temanya sedang berkumpul di depan pintu toilet. El yang tak berfikiran macam-macam namun sedikit takut tetap memberanikan diri masuk ke dalam toilet.
Terdengar Bianca dan teman-temanya sedang menggunjing El dan mengata-ngatai El dengan kata-kata buruk.
Untuk menghilangkan rasa takutnya Elina mencuci tanganya di wastafel. Saat selesai dan berbalik, Bianca dan kelima temanya sudah berada di belakangnya.
"Heh culun, berani beraninya ya lu abaikan permintaan gue.."
"Kamu kan bisa isi sendiri Bianca, lagian aku gak mau sampe bu Lusi keluarin kita berdua karna aku kasih contekan ke kamu"
Bianca manjambak rambut Elina dengan kuat, membuat wajah putih pucat Elina memerah karna menahan sakit.
"Banyak bacot !, heh anak kampung ! jangan sok pinter lu. Lu gak bosen-bosen ya jadi mainan anak-anak?, otak lu pake buat mikir ! jangan pake buat caper moloo sama guru-guru!"
"Sakit Bi.. tolong lepasin" Pinta Elina dengan suara bergetar karna rasa takutnya.
Dengan kasar Bianca melepaskan tanganya.
"Iyuuuhhhh bauk bangat tangan gue abis megang rambut si culun"
"Hahahaha, lagian si lu Bi pake acara pegang rambut dia" ujar salah satu temanya.
"Diem lu !, ambilin gue air yang banyak pake ember!"
Mereka segera mengikuti permintaan Bianca.
"Pegangin si culun, suruh dia berlutut !" Perintah Bianca.
2 temanya segera memegangi Elina dan memaksanya berlutut.
"Gue mau cuci tangan di atas kepala dia, hahahaha"
"Bi.. aku mohon jangan Bi.. jangan.."
"Cepet angkat embernya, kucurin airnya.. tepat di depan kepala dia ya!"
teman-temanya yang tersisa melaksanakan perintah Bianca selanjutnya.
Elina merasakan air membasahi rambutnya.. bajunya... secara perlahan kini semua telah basah. Elina tak mampu lagi membendung rasa sedihnya, ia menangis menerima perlakuan Bianca.
"Heh culun !, awas aja lu sampe ngadu ke guru. Gue bisa pastiin lu bakal terima yang lebih parah dari ini. ngerti !?!!.
Elina hanya mengangguk sembari menangis.
Banyak beberapa murid yang menyaksikan penyiksaan itu, namun tak satupun dari mereka yang berani melawan bianca dan membantu Elina. Orang tua bianca adalah penyumbang dana terbesar pada sekolah ini. Itu membuatnya bebas melakukan apa saja di sekolah. Semua murid yang mencoba berurusan denganya selalu berakhir dikeluarkan dari sekolah.
Dengan perlahan Elina berdiri dan menuju kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.
Ketika ia sampai di kelas, semua anak memandangnya dengan tertawa. Entah dimana lucunya melihat seorang gadis yang habis di bully.
Tanpa menghuraukan, Elina segera duduk di tempat duduknya dan tak lama gurupun datang.
"Ada apa ramai-ramai. Ayo duduk semua.." Suara pak Jamali guru matematika membubarkan mereka yang tengah asih mengolok-olok Elina.
"Loh, Elina rambutmu.. bajumu basah begitu nak?" Tanya pak Jamali khawatir.
"Oh, iya pak tadi saya.. gak sengaja ngerusak keran air di toilet pak jadi basah kuyup kena cipratan airnya"
"Hati hati lain kali. Nanti kamu bisa sakit kalo basah basah begini"
"Iya pak.."
"Semua buka buku paket halaman 48 ya.."
"Iya pak.." Jawab murid-murid serempak..
Kegiatan belajar mengajar barjalan dengan lancar sampai akhrinya bel pertanda waktunya pulang berdering.
Semua murid-murid bergegas untuk pulang.
Elina sengaja menunggu semua murid di kelasnya pulang. Setelah dirasa sekolah mulai terasa sepi, Elina beranjak dari kursinya dan pergi untuk pulang.
Beberapa langkah lagi ia sampai di gerbang, Sekelompok siswi menariknya ke arah lorong sekolah yang kosong.
"Kalian mau apa?"
"Mau apa? hahahaha pake tanya tanya lagi. Kepo amat lu!"
Mereka memegangi Elina dengan kuat sembari terus mengata-ngatainya. Terlihat dari jauh Bianca berjalan ke arahnya yang semakin lama semakin dekat.
"Haiii culuuunn..." Sapa Bianca kepada Elina
"Bi.. apa apaan sih ini. Belum cukup yang tadi?"
"Belum, kenapa memangnya? bosen ya.. bosen? jangan dongg hahahahaha"
"Bi.. aku minta maaf kalo aku salah.. aku mohon biarin aku pulang" Elina kembali menangis dan memohon.
"Cengeng banget sih lu, belum juga gue apa-apain udah nangis aja!"
"Buka baju dia!"
"Bi, jangan Bi, jangan. Mau kamu apain aku Bi, jangan Bi"
"Buruan buka !"
Teman-temanya hanya mengikuti permintaan Bianca.
Kini baju Elana telah terlepas. Elena semakin menangis merengek meminta ampun.
Bianca mengambil ponselnya dan memoto Elena beberapa kali.
"Lepasin dia!"
Teman-temanya sembari tertawa melepaskan Elena.
"Nih baju lu yang kusut !" Kata Bianca sembari melempar baju Elena ke arah wajah Elena.
Elena dengan segera memakai bajunya, raut wajahnya begitu membuatnya terlihat begitu lelah. Sembari menangis ia memberanikan bicara.
"Kenapa aku, kenapa gue Bi..? kenapa?"
"Masih tanya kenapa? karna lu itu culun. C U L U N.. culun !. Lu gak pantes sekolah di sekolah elit ini ngerti!"
"Dah yuk guys, kita pulang. Ngabisin waktu doang disini !"
Bianca dan teman-temanya meninggalkan Elena yang masih menangis meratapi nasibnya.
Ia terduduk lemas memikirkan hidupnya yang begitu berat. Ia tak mampu bercerita kepada ibunya yang masih terlihat sedih atas perpisahanya. Andaikan ada satu orang saja yang bisa melindunginya mungkin hatinya tak akan sehancur ini. Ayahnya yang sibuk dengan kehidupanya sampai lupa pada Elina, tak pernah iya mengirim pesan sekedar menanyakan kabar, hal itu membuatnya begitu merasa sendiri.
Setelah beberapa lama ia berdiam dan tangisnya mereda, dengan sekuat tenaga ia mencoba bangkit berdiri dan berjalan pulang.
Saat ia berjalan, tak sengaja ia menendang sebuah benda yang terlihat seperti liontin. Dia amati sejenak lalu memungutnya. Benar saja.. itu sebuah liontin yang indah.
"Mungkin tuhan sedang menghiburku" gumamnya.
Dibawanyalah liontin itu pulang.
Setibanya dirumah, ibunya menyambutnya dengan senyum. Menanyakan bagaimana harinya di sekolah dan menyuruhnya makan siang.
Ibunya tak mengamati keadaan Elina yang lusuh dengan mata yang bengkak akibat menangis terlalu lama. Ibunya sibuk menatap Lap top dan bekerja. Ibu Elina adalah seorang sekertaris di sebuah perusahaan. Tak jarang saat dirumahpun ia masih sibuk dengan tugas kantornya. Hal itu membuat hari seorang Elina kian bertambah buruk.
Elina merebahkan tubuhnya di kamar. Ia mengeluarkan liontin yang ia temukan tadi dari saku bajunya lalu meletakanya di meja belajarnya.
Kembali teringat perlakuan orang-orang di sekolah terhadapnya terlebih perlakuan Bianca dan teman-temanya.
Rasanya.. Elena tak mau lagi untuk ke sekolah. Namun rasa tak enak pada ibunya lebih kuat daripada rasa takutnya. Iya tak mau melihat ibunya semakin sedih jika tau anaknya diperlakukan dengan buruk di sekolah. Dan lagi.. Elena menahan rasa takut dan sedihnya kesekian kalinya.
Keesokan harinya, Elina berangkat kembali ke sekolah.
Dengan rasa sakit dihatinya ia tetep melangkahkan kakinya ke sekolah.
"El, kamu kuat El, kamu bisa El" Gumamnya.
Elina melangkah memasuki sekolah. Semua murid disekitarnya memangdangnya dengan tatapan yang sangat menggagu.
"Ada apa lagi ini?" pikirnya
Dia percepat langkahnya menuju kelas. Hingga saat dia sampai di tempat duduknya. Ponselnya berbunyi tanda sebuah notifikasi dari twitter masuk.
Betapa terkejutnya ia mendapati fotonya yang tak memakai baju muncul di twitter. Tak lain tak bukan Bianca yang meng-upload nya dan menandainya.
Elena segera menghampiri Bianca yang sedang duduk bersama teman-temanya membicarakan Elena tentunya.
"Bi, apus Bi apus aku mohon!"
"Oh tidak bisaaa hahahaha" Suara Bianca meledek
Elena menatap semua murid yang ada di hadapanya. Jelas sekali saat ini mereka sedang melihat foto Elena.
Dengan kesedihan dan rasa malu Elena berlari pulang.
Dia segera berlari pulang. Jarak rumah Elena tak begitu jauh dari sekolah. Ia berlari sembari menangis menahan rasa malu. Bagaimana tidak, foto tak berpakaianya dipertontonkan dan semua murid di sekolah melihatnya.
Sesampainya dirumah ia segera berlari ke kamar dan mengunci pintu kamar. Ibunya yang sedang sibuk di dapur tak menyadari Elena telah pulang, hingga akhirnya ia mendengar Elena berteriak. Terkejut mendapati kamar Elena terkuci dan Elena tak mau membukanya, pintu itupun akhirnya di dobrak. Ibunya begitu terkejut mendapati Elena yang sudah dalam keadaan menangis dengan tangan yang berdarah dan kaca cermin yang berserakan. Siapapun akan tau bahwa Elina telah menghancurman cermin di depanya dengan tanganya sendiri.
"Kenapa harus gue kenapa.. kenapa!!!!" Teriaknya histeris
"Sayang.. sayang.. cerita nak sama ibu ada apa ini ya tuhan" Suara ibu Elina yang sedih sembari memeluk anaknya.
"Bu.. ibu... Elina gak mau sekolah lagi ma.. gak mau ma.."
Air mata Ibu Elina tak sanggup lagi ia bendung, kini mengalir deras dipipinya seolah tau anaknya tak diperlakukan dengan baik di sekolah.
"Siapa nak.. bilang ibu siapa yang jahat sama Elin.."
Elina hanya menangis tanpa menjawab pertanyaan ibunya.
Digendongnya Elina dan direbahkan di tempat tidur.
Perlahan tangis Elina mereda dan ia-pun tertidur.
Dengan penuh Emosi Ibu Elina menelepon kepala sekolah Elina.
"Hallo selamat siang Pak"
"Iya siang bu Rosita.. ada yang bisa kami bantu bu?"
"Anak saya pulang dalam keadaan menangis. Saya tidak terima anak saya diperlakukan seperti ini ya!" Suara ibu Elina yang bergetar karna rasa marahnya.
"Maaf bu, sebenarnya ada apa bu..? Saya tidak paham maksut ibu apa"
"Ada apa ada apa. Anak saya itu di bully di sekolah pak !, bapak tidak bisa menjaga anak saya dengan baik. Apabila pihak sekolah masih membiarkan hal ini terjadi saya akan bawa masalah ini ke meja hukum!"
"Sabar bu.. sabar.. nanti kami cari tau dulu ya bu sumber masalahnya dan akan kami tidak lanjuti. Maaf ya bu atas masalah ini"
"Pokoknya saya tidak mau lagi liat anak saya seperti ini!"
Ibu Elina menutup teleponya dan kembali melihat kondisi Elina.
Elina masih tertidur lelap.
"Maafin ibu nak.. gara-gara ibu kamu jadi seperti ini. maafin ibu sama ayah nak.. " gumam ibunya, suaranya lirih hampir tak terdengar. Ibu Elin membersihkan luka ditangan Elin.. mengobatinya dan membalutkan perban.
Hari ini Elina tak mampu lagi menahanya hingga dia menyerah. Perlakuan yang ia terima tak mampu lagi ia diamkan seperti biasa dan membuatnya begitu terpuruk.
Seteleh tidur cukup lama Elina terbangun. Ia menatap jam dinding di kamarnya yang menunjukan pukul 2 pagi hari. Terlihat di sampingnya ibu yang sangat menyayanginya tertudur dalam posisi duduk dan memegang tanganya.
Rasanya begitu sedih mendapati ibunya seperti itu, rasanya ia telah bersalah membuat ibunya khawatir.
"Bu.. ibu.."
Ibunya yang terkejut mendapati Elina terbangun segera memeluknya..
"Ya ampun nak.. maafin ibu ya nak.. maafin ibu"
"Ibu gak salah kok bu... Elin haus bu"
"Haus nak, sebentar ibu ambil minum"
Elina bangkit dan duduk terdiam. Entah bagaimana besok dia harus menghadapi wajah orang-orang di sekolah. Rasanya menakutkan untuk kembali kesana.
"Ini nak.. diminum"
"Sudah legaan?"
"lumayan bu..."
"Alhamdulillah.."
"Bu.. sekolah El.."
"Sudah ya nak... besok Elin dirumah aja gakpapa. Nanti kalo Elin sudah mau sekolah lagi baru Elin berangkat. Ibu gakpapa nak. Kita belum bisa pindah sekolah lagi sayang.. ibu.. belum pegang uangnya. Sabar ya nak.."
Mendengar itu, Elina mengangguk mengerti.
"Gakpapa bu.. Besok Elin tetep berangkat sekolah"
"Kamu yakin El?"
"Yakin bu.. Elin kan anak ibu, Elin pasti kuat kaya ibu"
"Makasih sayang makasih sudah jadi anak ibu yang kuat. Sekarang Elin makan ya sedikit aja gakpapa.. nanti lanjut tidur lagi"
Elin mengangguk tanda setuju.
"Sebentar ya, ibu ambil makananya dulu"
Sembari menunggu ibunya membawakan makanan, Elina mengingat Liontin yang ia simpan di laci meja belajarnya. Ia ambil dan melihat-lihatnya.
"Wah, kalung siapa itu. bagus banget...oh ya, ibu suapin mau ya"
"Iya.. ini tu Elin nemu dijalan pas elin pulang kemaren kemaren bu"
"Nemu?, sayang banget kalung bagus dibuang ya lin.. Aaa sayang yang lebar biar nasinya masuk banyak"
Sambil mengunyah Elin menjelaskan.
"Kayaya bukan deh mah, mungkin punya orang jatuh kali ya. Masa kalung liontin cantik gini dibuang sih. Kayanya gak mungkin deh"
"Bisa jadi sih. Yuk abisin dulu makananya, setelah itu tidur"
"Iya bu iya.."
Setelah makanan habis, Ibu Elena segera keluar kamar dan mematikan lampu kamar Elina supaya Elina bisa tertidur.
Sembari terlentang Elina melihat lihat liontin itu. Ada yang aneh, rasanya liontin itu meminta El untuk memakainya.
Elina hanya melihat-lihat saja hingga ia mengantuk dan akhirnya tertidur.
Saat ia terbangun di esok hari betapa terkejutnya mendapati kalung Liontin itu sudah berada di lehernya.
"Kapan gue make ni kalung ya? ah mungkin ibu yang make-in"
Elina bergegas ke kamar mandi. Namun saat iya memakai kaca matanya, pandanganya menjadi kabur. Mungkin kaca matanya kotor. Ia bersihkan kaca mata itu lalu memakainya kembali, tetap kabur. ia lepas dan pakai kembali tetap kabur. Ia menyadari satu hal, saat ia tak memakai kaca mata, pandanganya menjadi jelas.
"Ibu.. ibu !!! El udah gak minus lagi bu. Mata El udah normal bu!!"
Elina berlari mencari ibunya dan mendapati ibunya sedang menyiapkan sarapan.
"Ibu.. ibu.. liat bu, El udah gak pake kacamata lagi"
"Ya tuhan, Elin... alhamdulillah nak.. keajaiban dari yang maha kuasa sayang. Ibu senang lihat mata Elin sudah normal lagi"
"Iya bu.. Elin udah gak perlu kaca mata bu.. Elin seneng banget bu"
Pagi itu suana hati Elin menjadi ceria. Rasanya seperti sudah lama tak melihat Elin sebahagia itu.
Mereka belum sadar bahwa Liontin itu membawa perubahan dalam hidup Elin..
Kini Elin sudah tak memakai kaca mata lagi, dia juga merubah gaya rambutnya yang kini ia biarkan terurai dan tak lagi klimis. Rambutnya ia biarnya terurai panjang dan dipermanis dengan jepitan pita pink kecil menghiasi rabutnya. Ia mencari seragam yang pernah ibunya belikan namun tak ia pakai karna pas dibadanya, awalnya ia tak percaya diri memakai pakaian yang menunjukan bentuk tubuhnya. Kini ia mau memakainya. Entah darimana datangnya rasa percaya diri itu. Rasanya Elin seperti hidup kembali..