Mentari pagi begitu cerah, cahaya memasuki rumah seperti lentera. Ibu Elina yang sudah terbangun membuka jendela di seluruh ruangan tak terkecuali di kamar Elina.
Kamar yang begitu gelap kini mendadak terang memaksa Elina untuk bangun di pagi ini.
"Ahhh ibu.. silau"
"Bangun sayang.. hari ini kamu masuk sekolah kan?"
"Iya iya.."
Elina bangun dan meraih handuknya lalu pergi ke kamar mandi untuk mandi sedangkan ibu kembali ke dapur membuatkan sarapan pagi.
Elina melepaskan kalung Liontinya dan bergegas mandi.
Tak lama.. Elina kini sudah turun dengan pakaian sekolah yang sudah ia pakai dengan rapih, tak lupa kalung liontin yang akan slalu ia kenakan.
"Ayuk sayang, udah jam setengah 7 loh nanti telat. Nasi gorengnya abisin"
"Iya bu.. ngomong-ngomong nanti ibu pulang kerja jam berapa?" Tanya Elina sembari menyuapi mulutnya dengan sepiring nasi goreng.
"Biasa sayang jam 8 malem. Kenapa memangnya?"
"Ohhh engga... kirain ibu bisa pulang siang gitu jemput Elin ke sekolah"
"Duhh gak bisa sayang, El pulang sendiri dulu ya..."
"Iya.." Jawab Elin sembari cemberut.
Ibu-nya yang melihat Elin bersedih mencoba menghiburnya.
"Kalo gak gini aja deh.. ibu anter kamu ke sekolah mau?"
"Sekarang bu?"
"Iya nak sekarang.. mau?"
"Mau lah.. jarang jarang kan bisa di anter ibu. Kalo dulu ada ayah yang selalu anter aku" Celoteh Elin sembari tersenyum senang. Namun seketika ia sadar ucapanya bisa menyakiti ibunya.
"Ah, bu.. maaf.. Elin gak maksut buat.."
"Iya udah gakpapa.. ibu ngerti. Dah cepet abisin, ibu tunggu di mobil"
Dulu saat keluarga Elin masih utuh. Tugas mengantar Elina ke sekolah adalah tugas Ayahnya. Elina juga begitu dekat dengat ayahnya. Sampai suatu ketika saat ia pulang sekolah mendapati orang tuanya sedang bertengkar. Mulai saat itu ayahnya pergi dari rumah meninggalkan mereka. Hanya ibu yang tersisa. Sembari menangis pilu ibu mengatakan padanya bahwa ayahnya berselingkuh dan lebih memilih hidup bersama selingkuhanya.
Tak ada pilihan lain untuk ibu selain bercerai dari ayah dan tentu hal itu di setujui oleh ayah. Hak asuh Elin jatuh ke tangan ibunya.
Itulah terakhir kali Elin berjumpa dengan ayahnya sebelum akhirnya pindah bersama ibunya.
Setelah selesai sarapan dengan sedikit berlari Elin menuju mobil ibunya yang sudah terparkir di halaman rumah.
"Sudah nak, jalan?"
"Iya bu sudah"
Segera mobil ibu Elin melaju ke sekolah.
Sepanjang perjalanan Elin hanya berdiam saja. Rasanya tak enak sempat membuat ibu-nya kembali mendengar ia menyebut ayahnya.
"Kok sedih nak, kenapa?"
"Gakpapa bu.. Elin cuman sebel aja sama diri Elin yang gak bisa jaga ucapan Elin"
"Ohh.. yang tadi itu. Ibu beneran gakpapa nak.. wajar kamu seperti itu. Memang nyatanya kan dulu ayahmu yang antar kamu ke sekolah sedangkan ibu hanya sekali-kali saja kan. Ibu juga tau kamu kangen kan sama ayah?"
"Ibuuuu..." rengek Elin.
"Udah ah.. malu masa udah gede begitu"
"Masa manja sama ibu sendiri gak boleh"
Ibunya hanya tersenyum mendapati anaknya merajuk. Baginya itu adalah hal yang lucu.
"Dah... dah sampe nih. Cepet kan"
"Ya lah cepet, orang deket. Yaudah Elin masuk sekolah dulu bu. Salim tangan ibu sini" Elin menarik tangan kanan ibunya dan menciumnya.
"Okey.. ibu pulang ya"
"Dah ibu.."
Elin memasuki gerbang sekolah, begitupun mobil ibunya yang sudah berlalu pergi.
Di lihatnya Dinar yang sedang berjalan dengan Bianca. Sepertinya ia juga baru datang. Hendak menyapa namun rasanya tidak enak karna ada Bianca di sampingnya. Setiap kali melihat Bianca selalu saja teringat masa masa pahit itu terlebih Bianca lah orang yang membulinya dengan sangat sering.
Elin melambatkan berjalanya seolah menjaga jarak dari Dinar dan Bianca. Namun diluar dugaan.. Dinar tiba-tiba dipanggil seseorang yang sedang berjalan di belakang Elin. Hal tersebut membuat Dinar menengok ke belakang dan melihat Elin.
Elin melambaikan tanganya mencoba menyapa Dinar dengan canggung.
Dinar berjalan menghampiri temanya yang memanggil dan lewat begitu saja tanpa menjawab sapaan Elin.
Elin yang bingung hanya diam terpaku menatap Dinar. Bianca yang melihat itu hanya tersenyum senang.
"Ada apa ya.. apa gue.. apa liontin ini sudah gak bereaksi?" fikirnya.
Elin segera berlari mencari toilet. Ia ingin mengetahui apa dirinya kembali menjadi Elin si culun atau tidak.
Nafasnya masih ter-engah enggah saat ia menatap cermin besar yang ada di toilet.
"Haaahh syukur lah. Gue masih cantik. Terus kenapa Dinar begitu tadi ya.. Ah udahlah mungkin perasaan gue aja"
Elin bergegas masuk ke kelasnya untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar yang merupakan tujuan utamanya bersekolah tentunya.
Seperti biasa, ketika Elin sudah di kelas semua teman yang melihatnya langsung menyapanya bahkan memuji Elin yang semakin hari semakin nampak cantik. Hal itu sedikit mengalihkan pikiranya yang sejak tadi keheranan melihat tingkah Dinar.
Kini ia sudah berada di kursinya yang jelas tentu saja Dinar sudah berada di sampingnya.
"Hi di.."
"Hi" Jawab Dinar singkat.
Elin menjadi canggung mendengar jawaban Dinar yang begitu dingin. Mungkin dia sedang ada masalah dan tak ingin di ganggu pikir Elin.
Dinar yang kesal karna Elin kemarin tak menghubunginya sama sekali padahal Elin tak masuk ke sekolah membuat Dinar kesal. Ditambah lagi saat Elin sudah masuk, elin tak mencoba memberitahunya tentang mengapa ia tak masuk. Dinar yakin Elin tak sakit karna sebelumnya Dinar sempat mengantarnya pulang dan melihat dengan jelas Elin tak sakit. Rasanya banyak hal yang Elin sembunyikan darinya. Hal itu membuat Dinar begitu kesal.
Mereka berdua hanya saling diam sampai jam sekolahpun berakhir. Yang satu kesal karna merasa tak dianggap, yang satu berfikir bahwa temanya memang sengaja tak mau berbicara denganya.
Dinar merasa tak tahan lagi dan hendak menanyakan yang ingin ia ketahui. Namun saat ingin mengajak Elin berbicara Bianca datang.
"Di, yuk cepetan pulang. mampir ambil kue ulang taun tante mirna dulu di toko kue"
Elin yang sudah selesai berkemas masih sempat mendengar Bianca berbicara.
"Dinar sedang ada acara tapi kok gak ngajak-ngajak gue" pikirnya.
Elin segera beranjak dari tempat duduknya dan bergegas pulang. Terlihat Bianca dan Dinar masih berbicara.
"Duh Elin.. emang lu siapa sampe harus Dinar ajak ajak ke acaranya?" celotehnya.
"Tapi kan gue sahabatnya.." gumam lirih Elin sedih.
Elin berjalan tertunduk sembari mengingat ingat kejadian tadi pagi saat Dinar tak menghiraukanya. Rasanya sangat sedih.
Elin yang masih sibuk melamun tiba tiba menabrak seseorang di yang sedang berjalan juga di depanya.
"Adu duh. maaf maaf.."
"Maaf.. maaf... jalan pake mata!"
"Ye.. kan gue udah minta maaf"
"Makanya kalo jalan mata ke depan bukan ke bawah. Nyari duit jatoh apa harta karun. Emang ni jalan punya nenek moyang lu!"
"Ihhh.. anda itu gak pernah diajarin buat memaafkan seseorang ya?!. Awas minggir gue mau lewat!"
"Yaudah sana lewat !"
Elin segera pergi meninggalkan pria yang ia tabrak.