"Gimana kabar ibunya Bapak? Apa pengobatannya lancar?"
Dia mengangguk. "Alhamdulillah. Nggak ada masalah selama di sana."
"Apa masih di Malaysia, Pak?"
Dia menggeleng. "Udah seminggu lebih pulang. Makanya tadi kamu dipanggil ke rumah, tapi kamunya nggak muncul. Makanya saya susulin ke sini."
Aku melotot tegang, sementara dia meneguk sirup dingin. Kami duduk bersisian saling berhadapan. Matanya kembali liar melihat-lihat.
"Rumah kamu kok sepi? Pada ke mana?"
"Nggak tahu, Pak. Mungkin ke mesjid ngambil daging kurban."
Aku membuka tutup stoples dan mempersilakannya mencicipi kue yang tersedia. Kedatangannya ini membuatku mati kutu duduk menjamunya. Aku meratip dalam hati semoga dia tidak bertanya ketidakhadiranku di rumahnya. Dia manggut-manggut sembari tersenyum –malu-malu? Entahlah.
"Kami nungguin kamu. Bapak saya pengin ketemu kamu. Sejak pergantian sekretaris baru, kan, belum pernah tahu siapa yang bernama Laduree."