Ugh, aku benar-benar kesal dibuatnya. Sekarang aku tidak bisa leluasa bergerak. Denyut yang terasa di kakiku ini cukup lumayan. Rasa dingin es di baskom cukup membantu menenangkan, tapi entah sampai berapa lama. Kuharap akan bisa sangat lama. Aku ingin tidur nyenyak tanpa gangguan tengah malam.
Jam dinding di ruang tamu berdentang satu kali, entah menunjukkan jam berapa –aku tidak tahu. Sebab, setiap tiga puluh menit dia akan berbunyi selain ketika jarum pendek berhenti di angka satu. Rasa kebas menjalar ke seluruh kaki, sepertinya sudah cukup rendaman malam ini. Semoga saja besok Shubuh sudah membaik.
Saat kaki terangkat dari dalam air, bunyi gemericik air di baskom menyihir pikiranku yang kacau. Tenang sekali, seperti berada di hutan dengan sungai yang jernih dan tenang yang dkelilingi gunung-gunung tinggi dan hijau. Airnya yang dingin dan disinari matahari yang menembus kedalaman air, pantulan sinar di permukaan air, memberi keindahan yang tiada tara, bukan?
Aku menutup mata seketika –menikmati khayalan itu sebentar. Berangan-angan aku akan liburan di Norwegia atau Finlandia, atau bahkan di Swiss. Tidak masalah dengan kondisi finansialku yang bergaji lumayan, karena aku bisa menabung untuk itu. Tapi, kalau menikmati keindahan itu bersama seorang lelaki yang dicintai, bukankah itu menjadi kenangan indah honeymoon berdua? Aku sangat berharap impianku untuk segera menikah bisa terwujud, jadi uangku tidak akan terpakai untuk liburan.
Aku baru ingat, pesan Noni siang tadi belum kujawab setelah insiden menyebalkan di parkiran. Si duren itu seperti sengaja menghalang-halangiku sejak kejadian tadi pagi. Tapi, sekarang bukan waktunya untuk menghabiskan energi karena hal negatif,sebab aku hanya akan berguling dari malam sampai pagi tanpa bisa lelap semenit pun.
Kelopak mata perlahan kubuka, ponselku tergeletak di atas tumpukan novel klasik berbahasa Inggris yang belum sempat kubaca, padahal aku sudah membelinya dari tahun lalu. Rasanya malas sekali untuk bangun dan mengambilnya, ingin sekali ada sesuatu yang bisa menariknya untuk datang mendekat –semacam batu magnet.
Tiba-tiba ponselku berdering dan kuharap itu hanya telepon basa-basi, dan tidak menyita banyak waktuku. Pukul 10.16 PM, saat kulihat waktu di layarnya ketika panggilan itu sudah berhenti. Nama Noni tertera di layar.
[Sorry , aku baru aja mau balas chat loe. Keburu loe nelpon, tapi gak keangkat, keburu putus.]
Pesan Noni sudah kujawab, sekarang waktunya bermanja di tempat tidur. Untungnya aku sudah salat Isya meski telat lebih dari tiga puluh menit.
Ting!
Baru saja ponsel akan kusetel silent, masuk pesan dari si duren.
[Gimana kondisi kaki kamu? Masih sama?]
singkat, padat, jelas. Kenapa dia mengirim pesan malam-malam begini? Pesannya juga bukan urusan kantor. Aku memandang layar handpone beberapa detik memikirkan kata-kata untuk menjawab.
Kujawab baik-baik saja, mungkin saja besok tidak baik-baik saja. Kujawab sebaliknya, bisa saja besok dia betulan muncul di hadapanku memenuhi ucapannya tadi siang. Masa iya sih, bos menjemput karyawan?
Kuputuskan mematikan ponsel.
Niat untuk tidur harus terhalang lagi karena perut lapar yang menggelora seperti kisah cinta membara dua anak manusia. Aku keluar kamar membawa baskom berisi air tadi, lampu utama yang berwatt besar sudah dimatikan. Penghuni rumahku sudah pada tidur, kecuali aku yang sedang meraba-raba di dapur mencari makanan. Biasanya di dalam lemari tersimpan stok makanan kering, apakah mie instan, biskuit, keripik, atau apa pun itu. Pemiliknya bisa siapa saja, sebab aku juga sering menyimpan makanan di lemari itu. Artinya, bisa dimakan siapa saja.
"Ah, nggak ada apa-apa."
Tudung saji di atas meja kubuka, dan lagi-lagi aku harus kecewa menemukan piring yang hanya berisi sambalado. Ini luar biasa seperti tidak punya uang untuk membeli makanan. Apa nasibku memang tidak beruntung hari ini? Aku kembali ke kamar berganti pakaian dan mengenakan jilbab. Sekarang aku harus ke pergi sebelum warung-warung dekat rumahku tutup.
***
Pagi ini aku aku tiba di parkiran tepat di pukul 7.15 menit. Suasananya terasa berbeda dari kemarin. Matahari seperti bersembunyi di balik awan abu-abu yang menutupi langit biru. Suasana langit seperti ini selalu membuatku uring-uringan, pikiranku tidak segar, mataku terasa sepet –sakit. Benar-benar tidak nyaman. Orang tipikal thinker sepertiku, harus 'bersahabat' dengan sinar matahari pagi dan sore supaya tidak mudah stres. Dan, aku bukan orang yang sanggup duduk dalam ruangan dari pagi sampai sore di bawah pencahayaan lampu listrik.
"Hello, Zeyenk!"
Aku melihat mas Romi duduk di lobi sedang membolak-balikan kertas koran sejak melangkah masuk dari parkiran. Dia salah satu orang yang doyan mencari informasi di koran tapi bukan yang berkaitan dengan pekerjaan atau semacamnya, melainkan gosip. Itu salah satu bahannya bercerita dengan perempuan.
"Eh, tumben, Mas. Angin sebelah mana yang bawa Mas udah sampe di sini sepagi ini?" senyumku meledek.
"Tolak angin," balasnya enteng menutup koran.
"Jammuuu kalee, Massss," jawabku sambil lalu meninggalkan dirinya yang duduk di sofa.
Selama tiga bulan bekerja di sini, aku masih mengandalkan kaki menapaki anak tangga ke lantai dua. Selain karena masih punya banyak waktu, juga memperbanyak gerak kaki yang bagus untuk kekuatan dan kecantikan kaki, otot paha, betis, dan bokong yang menjadi lebih kencang.
Sebab, menurut penelitian yang pernah kubaca sewaktu SMA, ketika naik-turun tangga sepuluh kali sehari, maka kalori yang terbakar sama dengan satu jam aerobik. Artinya, bagus untuk kesehatan jantung. Luar biasa, kan? Karena itu aku lebih suka melakukan itu.
Mataku melirik ke pintu ruang direktur ketika dua anak tangga tersisa untuk ditapaki. Ruangannya belum berlampu dengan pintu yang tertutup –seperti biasanya., karena office boy tidak diizinkan masuk untuk bersih-bersih. Lagipula si duren juga bukan orang yang jorok.
(Ruangan pak Rais emang jarang dibersihkan, Mbak. Beliau orangnya juga suka bersih-bersih sendiri. Cuma, ya, kadang-kadang kalau pulang malam, si Memet yang jadi korban. Gak bisa pulang sebelum bapak pulang, soalnya Memet harus bersihin ruangan bapak dulu).
Begitu kata Fany si mantan sekretaris yang membuatku terpukau akan nilai 'lebih' lainnya dari seorang Rais Darmawan. Aku berdiri di samping meja kerjaku, berpikir apakah hari ini masih harus duduk di dalam bersamanya, atau bisa duduk sendiri di sini dengan komputerku yang masih tidak terlihat di sini. Aku menghela napas jenuh, meletakkan tas berukuran 30x28 cm berwarna hitam dari kulit sintetis.
Tidak lama berselang, gendang telingaku mendengar suara hentakan sepatu yang sedang naik ke lantai dua. Mataku berpaling dari kertas absensi yang baru saja kuparaf, walaupun sebetulnya tidak perlu dilihat karena aku tahu siapa sosok di sana. Hanya saja, perintah dari telinga ke otak hingga ke mata manusia sangatlah cepat. Sungguh Tuhan Maha Pencipta, Dia membuat sebuah koordinasi kerjasama yang solid dan luar biasa.