Salsha mengintip dari balik kamarnya dan menemukan Aldi tengah melantunkan lagu batak yang sangat merdu di telinganya dan di iringi dengan petikan gitar.
Salsha melangkah keluar kamar dan menutup pintu kamarnya dengan pelan. Kemudian berjalan mendekati Aldi. Seperti terhipnotis dengan suara indah itu, setelah Aldi selesai bernyanyi Salsha menepuk tangannya.
Aldi tersadar dengan kehadiran Salsha dan meletakkan gitarnya di atas sofa. Aldi menatap Salsha datar.
"Sejak kapan lo disitu?"
Salsha duduk di samping Aldi. "Sejak gue dengar suara bising lo. Suara lo ganggu sama ke kamar gue!"
"Bising-bising tapi bagus, 'kan." Aldi membanggakan dirinya sendiri. "Jelas lah, sampe lo tepuk tangan kayak gitu."
"Gue bukan tepuk tangan buat lo," celah Salsha tak ingin ketahuan jika ia menikmati suara Aldi. "Tapi karena ada nyamuk."
Aldi berdecih. "Gaya banget, lo nggak mau ngaku."
Mata Salsha terfokus kepada gitar yang Aldi mainkan tadi. Gitar ini adalah gitar penuh sejarah. Hanya karena ingin lebih dekat dengan lelaki idamannya semasa Smp dulu, Salsha bahkan rela membeli gitar agar di ajari oleh lelaki itu.
"Lo nemu gitar ini dimana?" tanya Salsha pelan. Tiba-tiba saja bayangan kepada lelaki idamannya dulu kembari menghantuinya.
"Gue nemunya di kamar tamu satunya lagi," kata Aldi. "Punya lo?"
Salsha mengangguk pelan. Gitar itu bahkan belum pernah ia mainkan. "Iya. Punya gue."
"Lo bisa main gitar?" tanya Aldi kepo.
Salsha menggeleng pelan. "Nggak bisa."
"Trus kok punya gitar?" Alis Aldi berkerut.
"Dulu pengen belajar, tapi nggak pernah sempat," jelas Salsha sendu. Tapi sesaat kemudian Salsha tersadar, tak seharusnya ia jadi terbawa perasaan seperti ini. Masalalu adalah masalalu. Tak perlu di ingat apalagi di kenang. "Terus kenapa lo ambil gitar ini tanpa pamit dulu sama gue? Nggak sopan."
"Gue cuma minjam. Kan besok mau nyanyi lagu batak. Biar lebih keren harus pake gitar," kata Aldi menjelaskan.
Salsha mengambil gitarnya dari dekat Aldi. "Tapi tetap aja lo kurang ajar main ambil sembarangan."
"Yaudah gue ijin sama lo buat minjam gitar lo itu besok pas tampil," kata Aldi mengalah. Malas meladeni perdebatan Salsha yang pasti tidak aja ujungnya.
"Nggak boleh!" tolak Salsha keras. "Ini gitar kesayangan gue. Gue nggak mau mainin. Ntar rusak."
"Tapi kan buat nilai kita, Salsha." Aldi mengerang frustasi.
Salsha memeluk gitarnya. "Tetap gue nggak ngizinin. Cari gitar yang lain aja."
"Terserah lo, deh," pasrah Aldi.
Tak ingin berlama-lama di dekat Salsha, Aldi melangkahkan kakinya kamar. Sebisa mungkin Aldi menghindari perdebatan yang tak ada ujungnya itu dengan Salsha.
Sementara Salsha mengusap gitarnya itu. Salsha sendiri hampir lupa jika ia mempunyai gitar yang tak pernah ia mainkan. Salsha sudah kehilangan lelaki itu sebelum Salsha sempat meminta tolong untuk mengajarinya bermain gitar.
"Gue kangen elo, Baal!"
*****
Dinda mondar-mandir di depan kelasnya. Flashdisk yang berisi file makalah untuk mereka persentasikan nanti hilang. Dinda lupa menaruh flashdisk itu dimana. Dinda bingung, ia takut Aldi dan Salsha marah kepadanya.
Aldi yang melihat Dinda mondar-mandir mengernyitkan keningnya. "Lo kenapa?"
Ekspresi wajah Dinda ketakutan. Ia takut jika Aldi marah atau bahkan sampe memakinya. Dinda tahu ini kesalahannya. Dinda terlalu teledor.
"Lo kenapa, Din?" tanya Aldi saat tak ada jawaban dari Salsha. "Makalahnya udah jadi lo print?"
"Itu dia, Ald." Dinda berbicara pelan. Ia bahkan tidak berani menatap mata Aldi. "Flashdisknya hilang. Gue lupa taruh dimana. Gue juga belum sempat ngeprintnya."
Aldi membulatkan matanya. Bagaimana bisa flashdisk yang berisi tugas mereka hilang. "Kok bisa, lo taro dimana, sih."
"Gue nggak tau." Mata Dinda berkaca-kaca menahan tangis. "Maafin gue."
Aldi mengacak rambutnya frustasi. Jangan sampai tugas yang sudah ia kerjakan beberapa hari dengan susah payah itu benar-benar hilang. Aldi tidak ingin kelompoknya dihukum dan tidak mendapat nilai. Bagaimana pun Aldi adalah ketuanya.
"Ya trus gimana? Tugasnya bentar lagi di kumpul." Suara Aldi sedikit mengeras.
Dinda menggigit bibir bawahnya dan menatap wajah Aldi takut-takut. "Emang salinannya nggak ada di laptop, Salsha?"
"Harusnya kalo hilang lo kabarin langsung biar kita bisa cepat nyari solusinya," ujar Aldi marah.
"Gue juga nyadarnya baru tadi pagi, pas gue mau nge print tiba-tiba aja flashdisknya nggak ada di tas gue," lirih Dinda.
"Ceroboh!" maki Aldi.
Aldi melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas untuk mencari Salsha. Tidak ada cara lain, Ia harus cepat mengambil salinan filenya di laptop Salsha.
"Sha, salinan makalah kita ada di laptop lo, 'kan?" tanya Aldi dengan cepat.
Salsha mengernyitkan keningnya. Aldi tiba-tiba saja datang dan menanyakan tentang salinan file tugas mereka.
"Ada. Kenapa?"
Aldi memegang tangan Salsha dan menariknya. "Kita harus cepat-cepat ngambil laptop lo terus nge print makalahnya."
Salsha tak mengerti hanya menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Hah gimana maksud lo? Bukannya udah di print sama Dinda?"
"Flashdisknya hilang. Makalahnya belum di print!" Aldi mengerang frustasi. "Kita udah nggak punya banyak waktu. Mending sekarang kita kerumah lo ngambil filenya terus nge print."
Salsha menurut dan mengikuti langkah Aldi keluar kelas. Di luar Salsha berpapasan dengan Dinda yang masih menujukkan wajah ketakutannya.
Salsha berhenti dan menatap tajam Dinda. "Ceroboh banget sih, lo. Kemaren sok-sokan bertanggungjawab. Nyatanya apa, lo malah bikin kita hampir di hukum dan nggak dapat nilai!"
Dinda menundukkan wajahnya. Ia sadar jika ini memang kesalahannya. "Gue minta maaf."
"Minta maaf aja nggak bikin makalahnya langsung ada sekarang!" Suara Salsha mengeras.
Aldi mengusap wajahnya. Sangat tidak tepat sekali jika Salsha marah sekarang. Saat ini yang perlu mereka lakukan adalah buru-buru mengambil salinan file dan memprintnya.
"Marahnya nanti aja, kita nggak punya banyak waktu."
Aldi menarik tangan Salsha untuk buru-buru pergi. Bella yang baru saja datang dan melihat Aldi dan juga Salsha mengernyitkan keningnya bingung. Bella mendekati Dinda dan bertanya. "Mereka kenapa, sih?"
Dinda menghela nafasnya dan mencoba tenang. "Nanti lo juga tau kalo mereka udah balik kesini " kata Dinda pelan dan masuk kedalam kelas.
Dinda belum siap jika harus di omeli oleh Bella. Perkataan Salsha tadi saja sudah cukup menyakiti hatinya. Sedangkan Bella masih berdiri di tempatnya dan tampak kebingungan dengan apa yang terjadi. Tidak biasanya Salsha dan Aldi terlihat panik seperti tadi.
"Ada masalah apa, sih?" lirik Bella.
Tak ingin berlarut-larut dalam penasarannya, Bella melangkahkan kakinya dan masuk ke dalam kelas. Bella merasa mungkin ada sesuatu yang terjadi dengan perjodoha keduanya yang menyebabkan kepanikan di wajah mereka. Bella juga masih belum percaya jika Aldi dan Salsha dijodohkan. Bagaimana bisa dua orang yang sangat bertolak belakang harus di satukan dalam bahtera rumah tangga.