Di kampus, Yoona bertemu dengan satu-satunya teman yang ia miliki di sana. Bernama Tae Hee Young. Hanya Tae yang mengetahui status Yoona saat ini.
"Kau terlihat pucat sekali. Apa kau sakit?" tanya Tae menyentuh kening Yoona.
"Ah tidak. Aku hanya sedikit pusing saja. Aku baik-baik saja, kok," jawab Yoona berbohong lagi.
"T-tapi--" belum juga Tae menyelesaikan keraguannya, seorang pria datang
"Halo girls, boleh gabung?" sahut Arnold.
"Boleh saja, wah kamu bawa apa?" tanya Tae gembira.
"Untuk gadis berwajah merona ini. Kamu pasti belum sarapan, 'kan?" Arnold tahu betul jika Yoona belum makan apapun pagi itu. Ia membuka mie cup yang sudah di seduh.
Belum juga mie itu siap dimakan, Yoona sudah pingsan. Tae menjadi panik, ia segera mencari ponsel Yoona dan menelpon suaminya. Namun, dalam sedetik saja otaknya sudah bisa bekerja. Ia berpikir jika Naufal yang ia panggil, akan melibatkan Yoona dalam masalah besar jika statusnya diketahui oleh mahasiswa lainnya.
Tae meminta Arnold untuk membawanya ke ruang kesehatan kampus. Meski sudah di rahasiakan oleh Tae, tetap saja pihak kampus menghubungi Naufal sebagai walinya.
Mendengar istrinya pingsan di kampus, Naufal langsung bergegas pergi. Padahal, waktu menerima telfon, ia sedang meracik bumbu-bumbu untuk memasak di resto.
Nampak kepanikan di wajah Naufal, meskipun sikapnya dingin. Akan tetapi, hatinya tetap khawatir jika terjadi sesuatu terhadap istri kecilnya itu.
Sesampainya di kampus, ia langsung menuju ke ruang kesehatan. Naufal juga terus bertanya tentang mahasiswa lain di sana. Sebab, dirinya belum mahir dalam berbahasa Korea. Jadi, ia kesulitan berkomunikasi dengan beberapa mahasiswa di sana.
Sampai pada akhirnya ia menemukan ruang kesehatan itu. Tak sengaja Naufal mendengar percakapan antara Yoona dan Tae.
"Yoona, mengapa kamu sampai belum sarapan?" tanya Tae khawatir.
"Aku harus cepat menyusulkan sarapan ke suamiku. Dia tidak bisa melakukan aktivitas sebelum sarapan. Jadi aku takut dia kenapa-napa, dan aku sendiri malah lupa sarapan, hehe. Aku sungguh ceroboh!" jawab Yoona dengan cengengesan.
"Tapi, bukannya kamu mengantar sarapan untuknya? Lalu, mengapa dia tidak sarapan bersamamu?" lanjut Tae penasaran.
"Dia terburu-buru pagi ini, aku kesiangan menyiapkan sarapan, jadi dia berangkat duluan," lagi-lagi Yoona berbohong.
"Dan sampai pingsan seperti ini? Lututmu ini juga berdarah, apakah kamu terjatuh?" Tae sangat bawel, ia tak berhenti bertanya jika sudah menyangkut kesehatan.
"Aku tersandung karena berlari, hehe. Jangan beritahu dia ya kalau aku pingsan. Suamiku itu … sibuk banget. Takutnya malah mengganggu pekerjaannya." celetuk Yoona.
Setelah itu, Arnold melewati Naufal masuk dengan membawa bubur yang dibelinya dari luar kampus untuk Yoona. Ia juga melihat keakraban Arnold bersama dengan istri kecilnya itu.
Tentu saja hal itu membuat Naufal tidak suka melihat kedekatan mereka. Tak dapat menahan rasa cemburu, ia masuk dan berkata bahwa ia akan membawa Yoona pulang saat itu juga.
"Ayo pulang!" serunya menggunakan bahasa Indonesia.
"Kak Naufal? Kamu di--"
Tae tersenyum kepada Yoona. Meski dirinya yang tidak menghubungi Naufal, tapi Tae senang melihat Naufal peduli kepada sahabatnya itu.
"Maaf, anda siapa?" tanya Arnold.
"Kak Arnold dia ini …a h jangan menggunakan bahasa Korea, dia belum lancar berbahasa sepeti kita," kawan Yoona terburu-buru.
"Aku adalah walinya, aku akan membawa dia pulang sekarang juga. Ayo, Yoona!" Naufal menarik tangan Yoona dengan sedikit kasar.
"Woy bro! Dia seorang muslim, bisakah kau menghormatinya dengan tidak menyentuhnya?" sulut Arnold menepis tangan Naufal.
Naufal yang dikuasai dengan rasa kesal, akhirnya mendorong pelan Arnold, lalu menggendong istrinya dari ruang kesehatan sampai kedalam mobil. Saat mereka berjalan, banyak mahasiswa yang memperhatikannya, mereka juga sangat iri kepada Yoona yang di gendong oleh Naufal.
"Kak, em bisakah kau menurunkan aku? Lihatlah, kita menjadi pusat perhatian," bisik Yoona mulai menutupi wajahnya.
"Mata juga mata mereka. Kenapa kita menghiraukannya!" sulut Naufal dengan wajah mendongak.
Sesegera mungkin Naufal membawa sangat istri pulang dengan menggendongnya dari mobil sampai ke apartemennya. Tak peduli orang lain melihatnya bagaimana. Perlahan, Yoona didudukkan dengan lembut di ujung ranjang. Kemudian, Naufal mengambil kotak obat untuk mengobati luka sangat istri.
"Buka celananya!" Naufal mengatakan itu dengan nada kesal.
Tentu saja hal itu membuat Yoona melongo. Ia tak tahu maksud suaminya, dan membuatnya travelling otaknya.
"Astaghfirullah hal'adzim, haduh …," Naufal mengetuk kening Yoona karena istrinya itu yang masih bingung dengan ucapannya.
Kembali Yoona bertanya dengan gugup, "Kak, kenapa aku harus membuka … celana? Dan di sini, sekarang juga?" tanyanya.
"Ck, lama!" Naufal beranjak, dari sisi Yoona. Ia mengambil handuk di kamar mandi.
Setelah itu, Naufal membantu Yoona berdiri. Lalu, melilitkan handuk di pinggangnya, ia membuka celana yang ada di balik handuk itu dengan pelan.
Ketika tangan Naufal menyentuh pusarnya, jantung Yoona berdesir. Baru kali itu, ia di sentuh secara langsung oleh suaminya. Jantungnya berdebar hebat ketika suaminya kembali tak sengaja menyentuh bagian sensitifnya.
"Maaf, aku tak sengaja--" ucapan Naufal terputus karena ragu. "Tapi apa yang aku sentuh dengan Ibu jariku? Sepertinya … ada rambutnya gitu deh, pahamu ada rambutnya?" imbuhnya.
"Aaaaa ... Kak Naufal apaan, sih? Kok, jadi mesum?" teriak Yoona menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya.
Mendengar ungkapan istrinya, membuat Naufal melepas tangannya. Lalu, celana Yoona turun begitu saja dengan sendirinya. Suasana menjadi sangat canggung. Yoona mulai menangis, membalikkan badannya dengan cepat, karena terlalu cepat memutar badan, lututnya tersodok kayu ujung ranjangnya.
"Aduh, sakit!" rintihnya.
Naufal panik. Dia menghampiri dan ingin melihat dimana luka yang membuat istrinya kesakitan. Kemudian, memintanya untuk duduk dengan hati-hati. Yoona terus saja menutupi wajahnya sambil menangis manja.
"Kak Naufal keluar dulu. Aku malu huaa …," Yoona masih saja merasa malu.
"Hufft, aku akan buatkan kamu makanan dulu. Tutupi badanmu menggunakan selimut, tapi buka sampai atas lutut saja. Nanti akan aku obati lukamu itu," Naufal menghela nafas panjang.
"Nggak mau!" tolak Yoona masih menutupi wajahnya. "Kak Naufal keluar dulu sana! Cepat!" imbuhnya dengan membalikkan badannya lagi.
Tak kuasa ingin tertawa, Naufal pun akhirnya keluar dan menutup pintu dan segera ke dapur memasak makanan untuknya. Naufal tidak pernah membencinya, tetapi entah mengapa ia selalu teringat akan janjinya dengan istri pertamanya ketika ia mengingat pernikahannya dengan Yoona.
"Ya Allah, kenapa aku selalu teringat akan Laila. Aku belum mencintainya, tapi--" Naufal mengingat kisah masa sekolahnya bersama dengan Laila dulu.
Laila bukanlah cinta pertamanya. Namun, Laila memiliki kesan bagus dalam hati Naufal. Mereka juga menikah karena perjodohan yang dilakukan orang tuanya.
Meski sempat menolak, melihat Laila yang sedang berjuang melawan penyakitnya membuat Naufal menjadi tersentuh hatinya. Ia pun akhirnya menerima perjodohan itu dan menyetujui pernikahan yang hanya berusia beberapa menit. Setelah itu, Laila pergi untuk selama-lamanya.