"Hilal," katanya lirih sekali.
Kuberikan senyuman untuknya. Aku tidak ingin lemah di depannya. "Berbahagialah, Maura!" ucapku, singkat.
"Hilal juga, hiduplah dengan penuh tujuan dan raihlah segala yang diingini," katanya.
Aku menarik napas, "kebahagianmu adalah segalanya untukku. Kebahagiaanmu adalah hidup dan matiku."
Tatapan tajam bukan hanya dilayangkan oleh ayahnya Maura saja, tetapi juga Yosi. Kurasa ia tidak terima bahwa istrinya yang manis ini dicintai berandalan sepertiku. Tapi, aku tidak peduli.
Pada saat aku berpindah kepada pria bermarga Ronivanendra itu, memberinya pelukan selamat, saat itu pula ia berkata, "Menjadi cinta pertama memanglah sangat indah, tetapi lebih indah jika mampu menjadi cinta terakhir dalam hidupnya. Aku akan memperlakukannya seperti kau memperlakukan adikku."