Chereads / Kekasih Brondongku / Chapter 4 - Melahirkan putra ke-2

Chapter 4 - Melahirkan putra ke-2

Menerima apa yang sudah terjadi, adalah langkah awal untuk membuat sebuah perubahan. Setidak nya itu adalah hal yang di ajarkan oleh psicolog yang menanganinya dulu. Zoe ingat, saat ia selalu melakukan penyangkalan, dadanya terasa sakit. Bahkan ia pernah tidak tidur selama kurang lebih satu minggu. Sikap nya yang keras kepala dan selalu beurusaha terlihat kuat, malah menjadikan dirinya tumbang. 

Sebenarnya ia tidak marah pada Dave saat itu, ia hanya merasa kecewa pada dirinya sendiri, pada keadaan yang kenapa tiba-tiba menjadikan mimpi buruk nya menjadi kenyataan. Ia baru saja menikah, seharusnya ia bahagia, namun yang terjadi malah sebaliknya. Ia belum siap, mental nya tidak cukup kuat. Semua yang di alaminya seolah begitu mendadak dan langsung menimbulkan trauma mendalam di hatinya. 

Tapi setelah tiga tahun berlalu, semuanya berangsur membaik, Zoe tak lagi ketergantungan obat sejak tahun pertama pengobatannya. Ia lebih kepada mendekat kan diri pada yang maha kuasa meski kadang masih meraba-raba, masih ada rasa tidak trima di titik terkecil dalam hatinya. Namun ia memilih menutupinya, ia tidak suka jika terlihat lemah, jadi biarlah semua orang mengira bahwa dirinya baik-baik saja. 

Karena ganjalan yang masih tersisa itu, ia jadi sering uring-uringan pada Dave, di tambah lagi hormon kehamilan yang semakin membuatnya kian sensitif.

Terkadang ia masih merasa curiga saat Dave pulang larut malam, namun karena gengsi ia tak mau mengutarakan perasaan yang sebenarnya. Keesokan paginya ia malah langsung marah-marah tanpa sebab pada suaminya. 

Pertengkaran-pertengkaran kecil itu kembali tersulut, karena tidak tahan dengan sikap Zoe yang moody dan suka berubah-rubah, Dave malah sengaja pulang malam untuk menghindar, ia lebih memilih menghabiskan waktunya dengan teman-temannya. Namun ia sama sekali tidak pernah lagi mengulangi perbuatannya yang dulu.

"Pokoknya, setelah bayi ini lahir, aku tidak mau tahu, kita cerai!" Zoe tiba-tiba saja kesal hampir setiap waktu. Ia mengatakan itu tiap kali Dave pulang dari bekerja. 

Pria itu sungguh tidak tahu apa mau nya wanita itu, dan tidak tahu apa kesalahannya. 

"Oke, Zoe... Sepertinya kita butuh bicara. Kau itu sebenarnya kenapa? Apa salah ku? Aku sungguh tidak pernah mengulangi perbuatan ku? Apa kau sungguh tidak percaya? Kau ingin aku bagaimana lagi."

Mendengar itu Zoe malah merasa terhina, siapa juga yang sedang merasa cemburu. Dia tidak mencintai pria itu, namun ia hanya tidak suka jika di bohongi, itu saja. "Kau pulang selalu jam segini, harusnya Kau tidak pulang saja sana sekalian." Zoe berkata dengan nada ketus. 

Dave akhirnya tersenyum dan seolah sudah bisa menarik kesimpulan. "Kau curiga pada ku, ya?" Godanya dengan nada manja.

"Jangan GR, terserah kau mau pulang atau pergi kemana, bukan urusan ku." Zoe mengatakan semuanya dengan tenggorokan yang seolah tercekat. Kenapa harus terasa sakit seperti ini? Pikirnya.

Iya... Benar, pikiran negatifnya lah yang sebenarnya menyakitinya, dan ia tak mampu bersikap tenang. 

"Mau ku temani tidur, aku merindukan mu, boleh kah malam ini kita melakukannya lagi? Anggap saja membuat jalan lahir untuk anak kita?" Memang benar, sejak malam itu, hingga usia kandungan anak keduanya menginjak delapan bulan, mereka belum pernah melakukannya lagi.

"Tidak mau, aku mau tidur saja." Zoe langsung buru-buru ingin berlalu masuk ke dalam kamarnya, namun lengannya keburu di cekal oleh Dave.

Pria itu memandang nya dengan tatapan sayu. "Ayolah,sekali ini saja," mohonnya.

Di dalam hatinya, Zoe terus berpikir, selama ini Dave sudah bersikap baik padanya, dan juga sudah menafkahi dirinya dengan benar. Lagipula sampai saat ini dirinya juga masih istri sah nya. Bukankah ia belajar tentang agama? Jika tidak mau melayani suami, dia akan berdosa.

Dave mendaratkan ciumannya di bibir Zoe yang masih tampak kebingungan, hatinya meronta, namun lagi-lagi tubuhnya menghianati nya, tubuhnya merespon dengan baik setiap sentuhan yang di berikan oleh Dave. Ia pasrah, ia menerima.

Dave kembali berhasil membawanya ke atas ranjang, melewati malam panjang mereka dengan berbagi peluh. Pria itu tidak menyangka, berhubungan dengan wanita hamil membuat nya makin bergairah. Entak sudah beberapa kali dirinya mampu memuas kan Zoe yang sepertinya juga sangat bergairah malam itu.

Karena merasa sangat kelelahan, Dave tidak kembali ke kamar nya. Mereka tertidur di atas ranjang yang sama dan berbagi selimut yang sama.

Selang dua jam berhubungan, tiba-tiba Zoe terbangun, ia merasakan sakit yang sangat hebat di perutnya.

"Augh...." Zoe mencoba bangkit duduk sembari meringis kesakitan.

Dave yang mendengar itu jadi turut terbangun. "Sayang, ada apa?" Ucap nya panik.

"Entahlah, perut ku rasa nya sakit sekali." Zoe mengusap-usap perut nya berulang kali, berharap rasa sakit yang di deritanya bisa berkurang.

"Apa mungkin kau ingin melahirkan, aku tidak menyangka, aku baru menengoknya dan ia langsung ingin keluar ke dunia ini?" 

Dahi Zoe seketika berkerut mendengar pernyataan Dave. "Yang benar saja, usia kandunganku baru delapan bulan," ujarnya ketus. 

Setelahnya ia merasakan rasa sakit itu kembali menyerangnya, lebih sakit dari sebelumnya hingga membuat peluh di dahinya kian bercucuran. Ia mencoba bangkit berdiri, dan tiba-tiba saja cairan bening agan kemerahan meluncur begitu saja dari jalan lahir tanpa bisa ia tahan.

"Sayang, itu apa?" Dave kembali merasa panik.

"Sepertinya itu air ketuban. Kau benar aku sepertinya ingin melahirkan."

"Kalau begitu baik lah, aku akan siapkan mobil, kita ke rumah sakit sekarang juga." Dave langsung bergegas memakai pakaiannya kembali.

"Tunggu, sebaiknya kau hubungi ibu mu, kalau kita ke rumah sakit, siapa yang akan menjaga Tifani." 

"Ah... Ya, kau benar juga, baik lah aku akan telepon ibu ku. Kau yang tenag ya, sayang."

"Cepatlah," ucap Zoe sambil menahan rasa sakit yang kadang muncul kadang hilang karena kontraksi.

Meski begitu, ia masih sempat membereskan perlengkapannya yang hendak dingunakan untuk bersalin di rumah sakit.

Tak lama Nyonya Dila datang bersama adik Dave yang bernama Leni. Leni lah yang akhirnya bertugas menjaga Tifani di rumah, sedang kan Nyonya Dila turut mengantar Zoe ke rumah sakit.

Zoe merasa tidak tahan, di sepanjang perjalanan ia terus mengatur napas agar bayi yang ada di dalam kandungannya tidak lahir di jalan, ia harus menahan diri untuk tidak mengejan, meskipun ia merasakan kepala bayi nya sudah terasa ada di ujung. 

"Tarik napas, dan baca do'a, nak." Nyonya Dila yang merupakan ibu mertua Zoe tak hentinya berusaha memberinya kekuatan. Wanita itu selalu ada setiap kali ia hendak melahirkan. Ia sudah menganggap wanita itu seperti ibu kandung nya sendiri.

Meski pun di awal-awal, hubungan Zoe juga kurang harmonis dengan wanita paruh baya itu. Namun lambat laun, Zoe bisa merasakan kasih sayang yang di berikan nyonya Dila. 

Sesampainya tiba di rumah sakit, Zoe langsung di larikan ke unit gawat darurat, karena dokter sedang sibuk mempersiapkan ruang tindakan tempat nya bersalin nanti.

Zoe merasa sangat tidak tahan, belum sempat ia di bawa ke ruang bersalin, diam-diam ia mengejan dan bayi berjenis kelamin laki-laki itu pun lahir.

Di ruang IGD tersebut hanya terdapat perawat pria dan wanita dan juga seorang bidan wanita, yang langsung menangani bayi nya, sedangkan Zoe segera di pasang infus di tangannya, karena ia sudah terlihat sangat lemas, banyak darah yang keluar. Hingga dokter juga menyarankan agar wanita itu mendapatkan transfusi darah.

Zoe sudah tampak di pindahkan di ruang perawatan saat Dave datang dengan dua kantung darah di tangannya. Seorang dokter dan seorang perawat turut masuk bersamanya dan segera memeriksa Zoe.

"Apa istri saya baik-baik saja, dokter?" Tanya Dave khawatir, ia melihat wajah Zoe begitu pucat.

"Tenang saja, setelah mendapatkan transfusi darah, keadaanya pasti akan kembali membaik," jelas sang dokter yang membuat Dave akhirnya bisa menghembuskan napas lega. 

Suster juga sudah tampak selesai memasang selang transfusi darah di lengan sebelah kiri Zoe, setelah nya dokter dan perawat tersebut mohon pamit untuk undur diri setelah sempat berbasa-basi sebentar dengan Dave.

"Bagaimana keadaan anak kita? Dimana dia?" Tanya Zoe pada Dave yang kini tengah duduk di sisi brankar nya. 

Dave tak langsung menjawab, ia mencoba meraih tangan kanan Zoe yang terlihat pucat dan mendaratkan ciuman hangat di punggung tangannya tersebut. 

"Tenang, dia aman, ibu ku sedang menemaninya di ruang bayi, nanti setelah keadaan mu pulih, perawat juga akan membawanya kemari dan kau bisa melihat nya." Dave tersenyum sembari tangan satunya terjulur mengusap pucuk kepala Zoe dengan lembut.

Dada nya seolah bergetar hebat. Ia berpikir kenapa pria ini masih saja baik padanya padahal ia selalu berbuat sebaliknya. Selaku ingin menyakitinya dengan kata-kata dan perbuatannya.

"Hei... Kenapa? Kenapa kau menatapku seperti itu?" Tangan Dave berpindah mengelus pipi Zoe lembut. 

Zoe hanya menggeleng lemah. "Aku lapar, apa aku sudah boleh makan?" Ia mencari alasan untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya.

"Tentu saja, kau mau makan? Mau aku suapi?" Zoe mengangguk. "Kebetulan tadi aku sengaja membeli roti di luar, sebentar, biar ku ambil kan untuk mu." Tangan Dave beralih mengambil bungkusan roti bantal yang terletak di meja kecil samping brankar.

"Nah... Aaa... Buka mulut mu, biar aku yang menyuapimu." Dave memberi aba-aba sambil bersiap memasukkan potongan roti ke dalam mulut istrinya.

Ada haru serta perasan campur aduk yang kini kembali menyusup masuk memenuhi rongga dada Zoe. Perasan apa ini? Bagaimana jika dirinya hanyut dalam rasa nyaman ini dan melupakan niat nya untuk bercerai? 

BERSAMBUNG.