Melvin kembali ke mobil dan saat itu Joey berada di luar mobil sambil membawa paper bag milik Alexa yang tertinggal.
"Ini milik Alexa." Joey menunjukkan paper bag itu.
"Aku akan mengantarnya," ucap Melvin hendak meraih paper bag itu namun Joey menariknya.
"Biar aku yang antar. Kamu cukup beritahu di lantai berapa dan unit nomor berapa tempat tinggalnya," seru Joey.
"Lantai empat unit 225," jawab Melvin dengan tatapan begitu dingin.
Joey menatap Melvin yang tampak tidak santai. "Hey kamu ini kenapa? Aku hanya akan menemuinya ... Kenapa kamu jadi seperti marah padaku?"
"Aku tidak marah." Melvin mendorong Joey supaya segera masuk. "Sana cepat masuk tapi jangan terlalu lama."
"Tidak akan lama. Hanya 15 menit," ucap Joey kemudian berjalan dengan santai memasuki gedung apartemen itu.
Melvin menyandarkan tubuhnya pada body mobil, merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan menghubungi nomor Alexa yang sudah tertera pada ponselnya karena tadi sempat menelpon dirinya sendiri menggunakan ponsel Alexa.
"Cepat angkat!"
Melvin resah. Mondar-mandir sambil terus menghubungi Alexa namun tidak juga mendapat respon. Dia khawatir jika gadis itu akan mengatakan yang sebenarnya bahwa di antara mereka berdua tidak memiliki hubungan apapun.
"Astaga, dia sengaja tidak mau menjawab panggilanku?"
Melvin terus gelisah hingga memutuskan untuk kembali masuk ke apartemen menyusul Joey dengan berlari. 'Mereka tidak boleh tau yang sebenarnya atau mereka akan kecewa dan mengira aku tidak memiliki selera pada wanita. Sejauh ini hanya Joey yang mampu membuat ku jatuh cinta dan Alexa ... mungkin dia bisa karena dia imut,' batinnya.
----
Alexa memasuki kamar dan meletakkan tas nya ke atas ranjang. Dia duduk di tepi ranjang dengan terdiam bingung seolah merasa ada yang kurang.
"Astaga ... peralatan make up mahal itu ...!" Alexa baru ingat bahwa paper bag berisi belanjaan satu set peralatan make up yang dibelikan Gea masih di mobil bersama Joey. Dia pun bergegas keluar kamar menuju pintu utama sambil berlari hingga tiba di pintu dan segera membukanya.
"Hai."
Di depan pintu malah sudah ada Joey yang tersenyum menyapanya. Alexa diam tertegun sedikit mendongak menatap Joey yang tentunya lebih tinggi darinya beberapa cm.
"Barang belanjaan mu tertinggal di mobil," ucap Joey dengan menaikkan alisnya sementara tangannya menenteng paper bag milik Alexa.
"Eh iya ... aku kira kamu sudah pulang dan belanjaan ku akan terbawa," sahut Alexa dengan tersenyum.
Joey menyerahkan paper bag itu kemudian celingukan ke arah dalam apartemen itu. "Apa kamu sendirian?" tanyanya.
"Iya," jawab Alexa kemudian berjalan masuk ke rumah dan langsung diikuti oleh Joey. "Aku hanya menumpang di sini karena ini apartemen temanku," jelasnya.
"Oh ... di mana rumahmu sebenarnya?" tanya Joey.
"Awalnya aku tinggal di kontrakan, dan orangtuaku tinggal di Jogja," jawab Alexa kemudian mengalihkan pembicaraan dengan bertanya, "apa kamu ingin minum atau makan sesuatu?"
"Eh, tidak. Aku harus kembali ke mobil karena Melvin menunggu ku. Aku ingin segera tiba di rumah untuk tidur siang, lalu nanti sore aku akan masak menu spesial untuk makan malam bersama," jawab Joey dengan tersenyum ceria. Dia menatap Alexa seolah penuh rasa syukur. "Aku senang akhirnya Melvin memiliki pacar sepertimu ....karena keluarga kami hampir mengiranya seorang gay karena dia tidak pernah coba cari seorang gadis atau berkencan."
Alexa tersenyum canggung dan merasa tidak enak untuk mengatakan yang sebenarnya karena Joey terlihat begitu menyukainya menjadi pacar Melvin. Namun baginya, berpacaran tanpa rasa cinta dan berdasarkan suatu kebohongan, hanya akan menyakiti hatinya jika suatu hari nanti dia benar-benar menyukai Melvin, apalagi Melvin sosok yang terlihat begitu sempurna sebagai pria idaman.
"Joey, sebenarnya ..," Alexa hendak jujur.
"Sebenarnya apa?" tanya Joey dengan mengerutkan keningnya.
"Aku dan Melvin sebenarnya tidak ..."
"Joey!" panggil seseorang dari arah pintu. Seketika Joey dan Alexa menatap seseorang itu ternyata adalah Melvin yang tampak terengah-engah. Mungkin dia habis berlarian.
"Melvin," sapa Joey sementara Alexa menghembuskan napas kasar karena upayanya untuk jujur telah gagal.
"Aku lupa kalau tuxedo kuasih di sini dan ada sesuatu yang penting di sakunya," ucap Melvin memanfaatkan fakta bahwa tuxedo-nya memang ada pada Alexa. Dia beralih menatap Alexa. "Sayang, tolong ambilkan."
"Aku belum mencucinya," ucap Alexa dengan tatapan tidak suka. Dia tampak kesal karena Melvin seolah memiliki banyak cara untuk membuatnya tidak bisa menghindar. Atau ... memang dia tidak mampu menghindar karena yang mengaku jadi pacarnya itu memang sangat menarik.
"