Setibanya di rumah tepatnya di halaman Melvin menghentikan mobilnya. Dia segera turun dan membukakan pintu untuk Alexa.
"Jangan sampai terpeleset lagi," seru Melvin saat sudah membukakan pintu untuk Alexa dan perlahan Alexa melangkah turun.
"Tidak. Aku sudah terbiasa sekarang," sahut Alexa dengan tatapan meyakinkan. Dia segera turun hingga Melvin kembali menutup pintu mobil sport itu.
Alexa termangu, menatap kemegahan rumah Melvin yang begitu mewah bak rumah sultan. Atau mungkin pria itu adalah anak sultan?
"Ini sungguh rumahmu?" tanya Alexa dengan tatapan kagum pada bagian lantai atas di mana terdapat balkon-balkon dengan pagar pembatas berwarna kuning keemasan.
"Bukan, ini rumah orang tuaku," jawab Melvin kemudian meraih tangan kanan Alexa dan menggenggamnya dengan tangan kirinya.
"Pasti saat maid membersihkan rumah ini, akan sangat kelelahan," gumam Alexa.
Melvin tersenyum tipis melirik Alexa yang sedang terkagum-kagum kemudian berkata, "sekarang ayo masuk ... Mungkin keluargaku sudah menunggumu."
Alexa kembali fokus pada Marvin dan menyadari tangan kanannya sudah digenggam lagi kemudian dia mengangkat tangan itu bersamaan dengan tangan Melvin. "Apa harus berpegangan tangan seperti ini?" tanyanya.
Bukannya menjawab, Melvin malah melirik Alexa dengan ketus. "Jangan sok jual mahal. Banyak gadis yang ingin sekedar aku pegang seperti ini. Dan kamu harus bersyukur karena aku memegang tanganmu tanpa kamu harus meminta."
Alexa memutar bola matanya melirik Melvin dengan sinis. "Ishh ... aku juga tidak akan meminta!"
"Sekarang kita masuk dan bersikaplah dengan sopan. Karena mamaku sangat galak dan papa berwajah sangar," seru Melvin kemudian menarik Alexa berjalan menuju masuk ke rumah dengan melewati teras megah berlantai marmer putih.
Setibanya di dekat pintu masuk, Alexa memaksa Melvin untuk berhenti dan menatapnya dengan tatapan tidak nyaman. "Melvin ... aku .. aku takut."
"Kenapa?" tanya Melvin.
"Aku .. aku belum siap. Aku belum pernah bertemu orangtua pacar sebelumnya," jawab Alexa dengan hatinya juga berkata, 'bahkan aku tidak pernah berpacaran sebelumnya. Dan sekarang, aku langsung berpacaran dan bertemu dengan orangtua pacar yang galak dan sangar. Sepertinya aku akan mati berdiri."
Melvin tersenyum tipis melihat Alexa yang tampak tidak nyaman bahkan sangat ketakutan. "Apa kamu takut bertemu dengan orang tuaku?" tanyanya.
Alexa menganggukkan kepalanya kemudian berkata, "ayo kita pulang saja atau ke manapun kamu mau."
Melvin menghela napas kemudian kembali menarik Alexa untuk lanjut berjalan memasuki rumahnya sambil berkata, "aku tadi hanya bercanda ... Mama orangnya sangat humble dan friendly. Papa juga tidak sangar .. mereka seperti Joey."
"Kamu selalu seperti ini. Membuatku takut dan tidak nyaman," gumam Alexa bersungut-sungut melirik Melvin. Dia beralih melirik suasana ruang tamu yang begitu megah bertema putih keemasan dengan furnitur modern dan mewah yang pastinya berharga fantastis. Terdapat tangga menuju lantai atas, dan adapula pintu luas menuju pada ruang tengah dan mungkin masih banyak ruangan lagi.
"Ah, akhirnya kalian datang," sapa Joey saat Melvin dan Alexa tiba di ruang tengah. Di sana sudah ada Elena, Jordy dan juga Dante. Pandangan mereka langsung tertuju pada Alexa.
"Eh .. selamat malam," sapa Alexa dengan tersenyum canggung dan sedikit mencondongkan tubuhnya.
Elena berdiri dan berjalan menghampiri Alexa dengan tatapan datarnya,bahkan sangat serius hingga keningnya berkerut. "Kamu ... pacar Melvin?"
Alexa tampak sangat gugup akan tatapan Elena yang begitu dingin. Style yang glamor dalam balutan terusan dress dan rambut yang digelung rapi, mengenakan serangkaian perhiasan dan make up yang agak tebal, membuatnya berpikir bahwa wanita paruh baya itu memang galak.
"Iya, Ma ... Dia pacarku." Melvin yang menjawab kemudian melirik Alexa. "Dia gadis yang baik. Seperti yang mama harapkan sebagai calon menantu."
"Benarkah begitu?" Elena masih menatap Alexa dengan tatapan menyelidik.
Alexa hanya mengangguk pelan dan tidak bisa menutupi kegugupan dan ketakutannya.
Elena menyunggingkan senyum di bibirnya kemudian merangkul Alexa sejenak dan tersenyum padanya. "Akhirnya aku memiliki calon menantu idaman."
Alexa hanya mengangguk dengan senyum canggungnya.
"Maaf atas sikap saya tadi. Saya hanya ingin tau bagaimana sikapmu pada keluarga ini. Ternyata kamu gadis yang lugu. Tidak seperti gadis lain yang pernah ke sini mengaku sebagai pacar Melvin, bahkan adapula yang mengaku dihamili," ucapnya memegang pundak Alexa. Tatapannya begitu intens, membuat yang ditatap makin grogi. Semoga aja gak pingsan.
"Eh ... mungkin mereka suka pada Melvin," sahut Alexa.
"Dan Melvin paling tidak suka tipikal gadis seperti itu," sahut Elena kemudian melirik Melvin yang masih saja menggenggam tangan Alexa. "Tapi saya memang tidak pernah tau dia memiliki pacar. Dan ternyata, pilihannya adalah kamu."
Dante dan Jordy hanya tersenyum simpul melirik interaksi mereka pada Alexa yang masih sangat lugu, sementara Melvin malah gelisah akan keluguan Alexa.
"Aku lebih suka Alexa yang lugu dan sederhana daripada gadis lain yang sok kecantikan," sahut Joey mendekati Alexa dan tersenyum kepadanya. "Selamat datang di rumah kami."
Alexa hanya mengangguk dengan tersenyum canggung melirik Joey yang begitu menawan dalam balutan terusan dress sebatas lutut berwarna putih polos dengan lengan terbuka terdapat manik-manik pada permukaannya.
"Jadi, namamu Alexa?" tanya Elena.
"Iya ..." Alexa menjawab sekaligus bingung harus memanggil ibu Melvin dengan sebutan apa. Dia kelewat grogi dan tidak tau harus berkata apa.
"Saya Elena, dan sebaiknya kamu panggil saya ...'Mama' karena saya berharap kamu jadi mantu saya," seru Elena dengan tersenyum ramah. Baginya, lebih baik memiliki menantu yang lugu akan mudah diajari dan menyesuaikan diri dengan keluarganya ketimbang menantu yang banyak bergaya dan tidak bisa menyesuaikan diri ataupun diajari untuk menjadi menantu yang baik.
"Eh ... Iya, Ma .." Alexa sungguh gugup.
"Sekarang aku lapar dan kamu bilang kamu sudah masak spesial untuk pacarku," timpal Melvin menyadari Alexa masih belum nyaman diajak ngobrol bersama ibu dan adiknya. 'Apa ini. Mama ingin dia jadi menantu? Apa mungkin aku bisa mencintainya?' batinnya resah
"Baiklah, kita makan bersama sekarang," sahut Joey kemudian mengajak Alexa berjalan lebih dulu bersamanya menuju meja makan.
Alexa menghela napas lega karena Melvin tak menggenggamnya lagi dan lolos dari pandangan Elena dan lainnya. Dia merasa benar-benar sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja, karena perlakuan yang dia dapatkan sungguh baik, hingga membayangkan bagaimana jika mereka tau bahwa dirinya dan Melvin berpacaran dengan tujuan yang masih abstrak.
"Silakan duduk," seru Joey menarik kursi untuk Alexa.
"Kamu yang memasak semua ini sendirian?" Alexa segera duduk dan menatap jajaran makanan kekinian khas Eropa tertata begitu rapi di atas meja makan berwarna putih kekuningan sepadan dengan warna kursinya.
"Aku dibantu oleh ibu dan maid," ucap Joey kemudian melirik Dante dan yang lain mulai memasuki ruang makan itu dan segera duduk pada kursi pilihan mereka masing-masing.
Melvin segera duduk di samping kanan Alexa, kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Alexa dan berkata, "jangan gugup. Kita hanya akan makan sebentar karena setelah ini aku akan mengajakmu ke suatu tempat."
"Ke mana?" lirih Alexa.
"Nanti kamu juga akan tau," sahut Melvin kemudian mengambilkan makanan untuk Alexa yang malah melamun.
'Ke mana dia akan membawaku? Kenapa semua diatur olehnya? Ini tidak adil. Sebagai gadis yang menerimanya sebagai pacar, aku juga berharap mengaturnya, menolaknya,' batinnya sambil melirik Melvin dengan heran.